Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Ja’far
Akhirnya Palestina mencatat sejarah besar itu. Hamas, organisasi yang selama 19 tahun—berdiri 1987—memilih jalur gerakan militan dalam melawan pemerintah Israel, naik ke panggung politik. Dia masuk ke gelanggang pemilu Palestina pada pekan lalu dan… menang mutlak. Metamorfosis visi perjuangan Hamas ditandai dengan masuknya organisasi ini ke dalam politik konstitusional berbasis parlemen. Hamas akan ”belajar” terikat oleh prosedur dan mekanisme politik formal. Ruang geraknya akan terbatasi. Sisi positifnya, dengan garis perjuangan di parlemen, setiap langkah politik Hamas akan memiliki kekuatan legitimasi. Ini berbeda dengan gerakan sebelumnya yang dinilai inkonstitusional.
Diperlukan sejumlah penyesuaian untuk melewati proses metamorfosis. Antara lain, banyak elemen organisasi harus diubah. Secara historis, basis dukungan politik kelompok ini terbangun dari misi sosial dan ekonomi yang berhasil memikat hati warga Palestina, terutama golongan kelas menengah ke bawah. Konsistensi Hamas melawan kebijakan militeristik Israel sembari mengedepankan visi keagamaan juga menuai simpati kalangan garis keras. Ada proses panjang yang ia lalui untuk mencapai semua itu.
Pada saat yang sama, faksi Fatah—yang kalah dalam pemilu ini—menunjukkan kinerja politik dan integritas kepemimpinan yang kurang baik, mulai dari kasus korupsi hingga friksi internal antara sesama kader. Di samping itu, citra elitisme kian melekat di Partai Fatah, yang didirikan mantan Presiden Palestina Yasser Arafat. Akibatnya, basis dukungan politik Fatah melemah. Rakyat Palestina merindukan wajah dan kekuatan baru. Dan Hamas merespons kerinduan itu dengan mengubah jalurnya ke arah politik formal.
Kondisi dalam negeri Palestina menuntut Hamas untuk keluar dari balik tembok militansinya dan bertarung di arena politik formal. Jika tidak, segenap problematika yang diidap faksi Fatah saat ini bisa melemahkan legitimasi pemerintah Palestina sendiri—terutama di hadapan Israel. Dalam kondisi seperti ini, gerakan militansi tak lagi menjadi efektif.
Dengan ”baju” barunya, tantangan utama yang dihadapi Hamas adalah mengubah misi militannya ke dalam visi politik. Pola perjuangan bersenjata yang mereka anut selama ini akan beralih menjadi agenda-agenda politik. Parlemen menjadi panggung laga baru bagi Hamas. Kelihaian menjalin negosiasi guna meloloskan kebijakan dari jaring parlemen akan amat mereka perlukan.
Di panggung politik, konsistensi perjuangan mereka akan diuji. Komitmen Hamas pada agenda perbaikan taraf kehidupan ekonomi dan sosial serta pemerintahan bersih bakal ditunggu oleh semua kawan, bahkan lawannya. Kancah politik juga akan menguji soliditas internal Hamas, terutama dalam hal visi. Ketakmampuan mengapresiasi aspirasi kader bisa membuahkan friksi. Jika ”pemerintahan” Hamas gagal, mungkin sebagian dari kadernya akan kembali ke jalur militansi dan memisahkan diri.
Di atas semua itu, masuknya Hamas ke arus utama politik akan menciptakan sejumlah realitas baru dalam politik Palestina. Pertama, parlemen Palestina tak lagi didominasi kekuatan tunggal faksi Fatah. Pengambilan keputusan serta kebijakan kelak akan melalui proses tarik-menarik yang ketat. Salah satunya menyangkut pengisian pos-pos kementerian yang strategis. Hamas akan melakukan tawaran politik untuk menduduki sejumlah jabatan.
Kedua, komitmen Hamas untuk berjuang melalui mekanisme politik konstitusional secara signifikan akan menurunkan aksi militan garis keras Palestina terhadap Israel. Pemerintah Israel tentu akan sangat diuntungkan oleh hal ini. Tapi, pada saat yang sama, pemerintah Israel juga memikul komitmen untuk meminimalkan pendekatan militeristik dan lebih mengedepankan pendekatan diplomatis. Jika tidak, tabiat lama Hamas—berupa gerakan-gerakan militan—bisa marak kembali.
Ketiga, hadirnya Hamas di parlemen secara signifikan akan mengubah arah kebijakan dalam negeri Palestina. Penekanan pada aspek pembangunan ekonomi dan sosial, yang selama ini cenderung terabaikan, akan kuat disuarakan Hamas. Kehadiran Hamas juga bisa mengendurkan citra elitis pemerintahan Palestina.
Keempat, masuknya Hamas ke parlemen Palestina akan memanaskan mekanisme pengambilan keputusan kebijakan luar negeri Palestina, terutama yang menyangkut agenda perdamaian dengan Israel. Hamas akan berupaya mengubah sikap pemerintah Palestina agar tak terlalu moderat dalam proses diplomasi dengan pemerintah Israel. Namun, tidak tertutup kemungkinan munculnya sikap kompromistis dan kooperatif Hamas. Dengan catatan, pemerintah Israel menunjukkan itikad politik yang sama.
Proses perdamaian Palestina-Israel selama ini secara de facto melibatkan komitmen Hamas berikut aksi-aksi militannya. Kemenangannya dalam pemilu membuat Hamas akan segera menjadi bagian dari parlemen. Dalam posisi ini, mau tidak mau dia harus belajar untuk menggunakan parlemen—dan bukan lagi senjata—sebagai media dalam tawar-menawar dengan Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo