Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni lukis metafisik amang

Pelukis amang rahman berpameran tunggal di tim, jakarta. pameran retrospektif ini menampilkan 51 karyanya yang memperlihatkan perjalanan seni lukis amang, yang diwarnai rasa liris.

15 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelukis Amang Rahman menampilkan 51 lukisan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pameran tunggal yang memperlihatkan perjalanan berkarya yang kuat diwarnai rasa liris Seorang sastrawan pada tahun 1950-an me~nye~butnya seniman tan~pa portofolio. Kare~na Amang Rahman, seniman itu, terlibat macam-macam kesenian. Ia meng~gubah puisi, ia menulis nas~kah teater, dan me~lukis. Ia bergaul de~ngan pemusik, penari, pema~tung, dan penya~nyi. Tak seorang pun sang~si ia seorang seniman, tapi dari bidang kesenian mana? Tahun 1950-an, pengkotakan seni memang se~bu~ah kemutlakan. Baru tahun 1964, Amang Rahman Jubair mengambil keputusan menjadi pelukis. Sejak itu ia melukis dan dikenal sebagai pelukis Surabaya. Pada tahun 1967, ia ikut mendirikan Akademi Seni Rupa Surabaya, dan tahun 1971 Amang dikenal sebagai salah seorang tokoh yang memprakarsai berdirinya Dewan Kesenian Surabaya. Pekan lalu, Amang Rahman tampil di Taman Ismail Marzuki. Kali ini de~ngan portofolio: 51 lukisan bertarikh 1964 sampai 1992. Kendati hanya beberapa lukisan yang mewakili periode 1960-an sampai 1980-an, dalam pamer~an tunggal itu terlihat perjalanan se~ni lukis Amang Rahman. Pameran ini memang disebut pamer~an retrospektif (renungan ke masa lalu) kendati dengan ragu-ragu. Penyelenggara -- Yayasan Kesenian Jakarta dan Ami Priyono -- sadar bahwa jumlah lukisan yang mewakili periode masa lalu terlampau sedikit. Tapi retrospeksi Amang barangkali bukan renungan yang terlalu memerlukan sak~si-saksi karya masa lalu. Ungkapan rupa (idi~om) yang terlihat pada lukisannya di masa kini sama dengan ungkapannya di masa awal ia melukis. Pada lukisan Rembulan dan Matahari, yang dibuat tahun 1964, sudah terlihat hampir se~mua idi~om Amang yang tam~pil di masa ki~ni. Ada ruang alam yang re~dup, ada gerak (ku~da melayang) yang meng~ikuti alun angi~n se~poi, dan suasana puitis (rumah-rumah yang ter~lihat dari kejauh~an di ma~lam hari). Maka, tidak ada loncatan pada perjalanan ber~karya Amang. De~ngan demikian, periodisa~si kecenderung~an (tek~nik, tema, gaya, warna) bukan hal terlalu penting pada seni lukis seniman senior Suraba~ya ini. Dan kesimpulan retro~speksi Amang menjadi sederhana: justru kon~sistensi itu (perkembangan tanpa perubah~an-perubahan rupa). Ia sendiri menyadarinya. "Barangkali, karena sebelum sa~ya memutuskan untuk melukis, saya sudah memas~ti~kan pilihan," ka~ta~nya. "Pergaulan saya de~ngan berbagai kesenian memung~kinkan saya mengonsep~kan seni lukis saya lebih dulu." Dan perjalanan selama 30 tahun membuktikan ka~ta-katanya itu. Ia tidak pernah men~je~lajahi dunia rupa seni lukis untuk men~cari ungkapan yang sesuai. Se~ni lu~kis~nya, seni lukis metafisik. As~pek ru~pa (fisik) dalam karyanya, ken~dati pen~ting, tidak utama dalam pro~ses seni Amang. Perkembangan tek~nik, warna, komposisi, sapuan kuas, ada~lah konsekuensi logis (makin la~ma makin terampil). Yang utama dalam proses pencipta~an Amang adalah rasa liris. Para sas~trawan -- kawan-kawannya -- mengenali kepekaan ini sebagai rasa puisi. Karena itu, mereka menyebut lukisan Amang karya sastra rupa. Seperti pada penyair, rasa liris itu adalah bagian dari kehidupan Amang sehari-hari. Fenomena alam, peng~alam~an, pesona, kenangan, kecemasan, rasa takjub, embusan angin sepoi, dan musik dengan tetap berinteraksi de~ngan kepekaan ini. Melalui proses yang sepenuhnya tidak bisa diuraikan, membangkitkan gagasan, dan acuan dasar bagi sebuah proses pembentukan lukis~an. Rasa liris Amang bukan kepekaan yang bisa diekspresikan dengan kata-kata (yang selalu berkaitan dengan makna yang asosiatif). Kepekaan ini hampir selalu berhubungan dengan citra ruang -- hal dominan pada lukisan Amang. Irama bunyi yang bernuansa (memiliki intensitas berbeda seperti pada gaung) adalah salah satu fenomena yang sering berinteraksi dengan kepekaan ruang ini. Amang memberi contoh, bunyi kentongan yang bersinambung. Atau nya~nyian dalam permainan anak-anak yang bersahut-sahutan. "Biasanya dimainkan di malam hari ketika rembulan purnama." Lukisannya Impressi Sebuah Lagu contoh ekspresi yang lahir dari interaksi itu. Seorang wanita bersandar di pohon gersang, berulang secara perspektif. Tiupan angin pada rambut, gelombang tanah dengan irama sama, me~nyarankan bunyi yang menghilang di ho~ri~son. Warna kuning dan cokelat tanah yang melingkupi seluruh bidang, bahkan langit, jauh dari citra nyaman. Irama bertalu yang membentuk ruang, bagi Amang, bukannya indah. "Mula-mula depresif waktu mendengarnya. Tapi sesudah itu muncul semacam suasana magis," katanya. Amang, yang percaya pada kodrat, sangat yakin, kehidupan mengikuti garis takdir yang tak bisa ditawar. Memahaminya adalah merasakan keindahannya. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus