Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Burhan

Menciptakan sesuatu yang baru harus kreatif, berani bereksperimen. bertahan terhadap cemoohan mengantarkan kesuksesan. mulanya orang terkejut dan bingung, tapi perlahan-lahan akan menerimanya.

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALKISAH, adalah seorang barbir bernama Burhan. Ia hidup di Jakarta di tahun 1950-an, di wilayah Senen. Di sudut Jakarta yang kini telah ditongkrongi sebuah pusat pertokoan itu dulu ada sudut-sudut remang, kedai-kedai sesak. Juga gelandangan-gelandangan yang cemerlang. Mereka inilah yang disebut "seniman Senen". Barbir Burhan diam-diam mengagumi mereka ini, yang pintar berdebat, berbicara yang tak mudah dipahami, memetik angan-angan dan pengalaman dari dunia yang lain, mengentak sekitar. Mereka memang "seniman", suatu kelompok yang tak tergolong manusia biasa. Burhan, karena itu, ingin bergabung. Pucuk dicinta, ulam tiba. Burhan berhasil masuk ke kalangan ini, terutama setelah ia mau menerima tawaran untuk ikut main drama. Dia berperan sebagai figuran yang kepalanya dibotaki sebelah - rupanya para seniman itu sulit menemukan orang lain yang mau untuk itu, dan Burhan - kenapa tidak? Maka, jadilah Burhan seorang seniman. Tapi ia kemudian tetap bekerja sebagai tukang cukur. Hanya tentu saja ia kini harus kreatif dan berani bereksperimen. Demikianlah, suatu ketika ia mencoba kejutan baru di bidang percukuran, di kepala seorang soplr truk. Akibatnya: dia diudak-udak sang sopir, yang marah, karena potongan rambut yang baru .... Kisah barbir Burhan saya kira tak pernah terjadi benar-benar. Saya membacanya dalam buku karya Misbach Jusa Biran yang penuh cemooh kocak, yang terbit 15 tahun yang lalu, Keajaiban di Pasar Senen. Di sana, suatu kehidupan yang lain dari yang lain suatu "keajaiban" - dijejerkan di sebelah dunia yang dihuni oleh "orang kebanyakan". Yang tersirat dari cerita Burhan ialah bahwa garis demarkasi antara kedua kehidupan itu sebaiknya secara hati-hati dilewati. Sekali si Burhan, seorang kebanyakan, memasuki dunia yang ajaib di sebelah, ia tak boleh kembali - kecuali bila jadi dirinya yang lama. Kalau tidak, ia tak akan dipahami. Apalagi oleh seorang sopir truk. Memang ada rupanya dunia-dunia, dan antara keduanya, terasa sebuah ketegangan tertentu. Bahkan kesenian modern, di mana pun, hidup gairah justru dalam ketegangan itu. Yang satu adalah, dalam kata-kata Chairil Anwar, "binatang jalang", yang "terbuang". Yang lain adalah "kumpulannya", komunitasnya, yang dulu melingkunginya. Yang satu adalah, dalam kata-kata Rendra, "orang urakan". Yang lain adalah orang yang hidup dengan aturan dan tata yang ada sejak mula. "Kamilah, para seniman, yang akan melayani kalian sebagai pasukan baris depan." Kata-kata itu berasal dari Henri de SaintSimon di abad ke-18 Prancis, mungkin awal pertama istilah avant-garde beredar. Yang menarik ialah bahwa Saint-Simon terkenal sebagai orang yang mencita-citakan sebuah masyarakat yang dipimpin secara teknokratis. Toh tampaknya ia ingin - dalam masyarakat yang diatur oleh para ahli mesin sekalipun - masih ada inspirasi, ada getaran, imajinasi, gairah, bahkan sedikit kegilaan dan nonsens. Sebab, dengan bentrokan, juga dialog, di antara kedua dunia itulah sejarah berkembang. Ketika Picasso melukis dengan cara baru yang disebut "Kubisme" - sebuah coret-moret yang ganjil - orang terkejut. Tapi kebingungan, kemudian, perlahan-lahan berubah jadi penerimaan. Satu kemungkinan ekspresi baru terbuka, satu babak bertambah, dan manusia merasa lebih bebas. Tapi dalam penerimaan itulah justru letak soalnya. Ketika orang mengakui pentingnya kejutan, maka kejutan pun berkembang mempunyai pasarnya sendiri. Picasso diminati, dan avant-garde lain pun dibeli. Maka, di manakah ketegangan itu lagi? Di manakah garis perbatasan itu kini? Dan bila bentrokan tak lagi terasa, untuk memercikkan tenaga, bagaimana sejarah bisa tergerak, dengan ide dan sikap keindahan baru yang terasa segar? "Kini modernisme telah kehabisan tenaga. Tak ada ketegangan. Dorongan kreatif telah jadi lembek." Itu adalah kesimpulan Daniel Bell, dalam The Cultural Contradiction of Capitalism, tentang sebuah gejala sosial yang dicatatnya di Amerika Serikat, sepuluh tahun yang lalu. Saya kira banyak hal berbeda antara yang ia catat di sana dan kita saksikan di sini. Tapi beberapa hal bisa disoroti dengan lampu yang sama: Burhan, si barbir modernis, kini sudah tak diudak-udak. Barangkali eksperimennya sudah diterima oleh sang sopir truk yang tak kaget dan marah lagi. Sopir itu mungkin sudah mengikuti mode dan jadi trendy. Atau setidaknya ia tak lagi tahu, seperti banyak peminat kesenian kini tak lagi tahu, mana lagi ukuran yang bisa diikuti. Pertunjukan Guruh Sukarno Putra? Atau koreografi Sardono W. Kusumo? Lukisan Srihadi? Atau Sry Hadi? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus