Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Java Jazz Festival memberikan banyak ruang kepada musikus muda yang baru melejit.
Panggung Ardhito Pramono dan Omar Apollo memanaskan panggung Java Jazz.
BNI Hall yang luasnya tiga kali lipat hall pertunjukan lain dalam Java Jazz Festival biasanya diperuntukkan bagi penampil istimewa. Tahun-tahun sebelumnya, panggung itu antara lain diisi Goo Goo Dolls, Toto, Chick Corea, dan Dionne Warwick. Akhir pekan lalu, panggung BNI Hall menjadi milik seorang penyanyi berusia 25 tahun, Ardhito Pramono. Selain ribuan kursi terisi penuh, lorong di antara kursi dan bagian belakang hall dipadati penonton yang berdiri berdesak-desakan. Dan Ardhito memang menguasai panggung luas itu, sekaligus menguasai penonton yang menjerit histeris untuk apa pun yang dilakukan Ardhito di atas pentas. “Ganteng bangeeet! Ardhitooo....”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ardhito begitu bebas mengekspresikan kemudaannya. “I don't give a shit about your fucking tweets,” dia menjerit di tengah lagu pembuka Trash Talking. Pada lain waktu, dia mendiskusikan kebiasaannya minum dan membeli wiski, yang tertuang dalam lagu seperti Cigarettes of Ours dan Plaza Avenue. Banyak lagu bercerita tentang cinta, baik menemukan maupun kehilangan. Lagu-lagu itulah yang paling membuat penonton kelojotan. Puncaknya saat Fine Today yang lembut dan membuai bergema. Though we'll be fine today/have a drink for the ol’ time/perfect time to say you are my happiness/and you always going to be the one for me. Ini soundtrack film Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (NKCTHI), yang juga dibintangi Ardhito dan membuat peringkatnya naik tinggi dalam daftar idola gadis muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu, Ardhito bernyanyi sambil bergantian memetik gitar listrik atau memainkan keyboard. Dia diiringi band dan seksi tiup dari kelompok Ron King Big Band yang setia mengisi Java Jazz Festival dari tahun ke tahun. “Lima tahun lalu, saya bermimpi bisa main di festival ini. Hari ini saya di atas panggung, bermain bersama Ron King Horn Section,” kata Ardhito dalam bahasa Inggris sambil mengakui bahwa dia sangat gugup.
Sebenarnya, ini bukan panggung pertama Ardhito dalam Java Jazz. Tahun lalu, dia juga masuk jajaran musikus pengisi festival. Ardhito tampil di hall reguler A1 dan berhasil menarik penonton sekitar setengah dari kapasitas ruangan tersebut. “Ardhito memang menarik. Tahun lalu dia belum begitu besar, tapi sudah mengisi hall. Tahun ini, dia yang paling ramai bersama Reza (Artamevia) dan Tulus. Showmanship-nya ada banget,” ucap Direktur Program Java Jazz Festival Nikita Dompas.
Nikita mengatakan tim program sendiri yang mencetuskan ide Ardhito tampil lagi dalam Java Jazz dengan diiringi Ron King Big Band. Ardhito menyambut baik. Hanya, dia menawar agar band-nya tetap tampil di panggung dan meminta hanya seksi tiup Ron King yang mengiringi mereka. “Ardhito ingin tidak hanya dia, tapi juga anak band-nya turut berkesempatan untuk level up lewat kolaborasi ini,” ujar Nikita.
Penampilan Ardhito Pramono di hari kedua pagelaran musik Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2020 di JIEXPO, 29 Februari lalu./ TEMPO/Nurdiansah
Nama Ardhito melejit setelah ia berperan sebagai Kale dalam film NKCTHI arahan sutradara Angga Dwimas Sasongko. Kale adalah manajer band yang terlibat plot romantis dengan Awan (Rachel Amanda), tokoh utama film ini. Dengan rambut ikal, kacamata, dan senyum bergingsulnya, Kale segera dijuluki jagat media sosial sebagai “softboi” alias pemuda lembut yang bikin klepek-klepek. Namun karier musik Ardhito sesungguhnya dimulai jauh sebelum NKCTHI.
Seperti banyak musikus muda saat ini, Ardhito memulai eksperimen musiknya lewat unggahan karya di kanal seperti YouTube, SoundCloud, dan Spotify. Dia banyak membuat lirik dalam bahasa Inggris. Menyukai musik—terutama jazz 1940-an—sejak kecil, Ardhito mulai memperkenalkan lagu-lagunya pada 2013 saat belajar di jurusan film JMC Academy, Australia. Penampilan pertamanya di YouTube adalah cover lagu What Are You Doing New Year's Eve? dari Ella Fitzgerald.
Selanjutnya, Ardhito merilis lagu ciptaannya sendiri, seperti Bitterlove dan What Do You Feel About Me, yang ditonton jutaan kali oleh pengguna YouTube. Label rekaman Sony Music mengetahui bakat Ardhito dan mengajaknya bergabung pada 2017. Di bawah payung Sony, Ardhito menulis lagu Bila, yang menjadi soundtrack film Susah Sinyal oleh Ernest Prakasa, dan single debutnya, Fake Optics. Awal tahun lalu, Ardhito merilis album pertama berjudul a letter to my 17 year old.
Deretan special performances Java Jazz Festival tahun ini juga diisi musikus muda berdarah Meksiko, Omar Apollo. Apollo, 22 tahun, menjadi tamu unggulan Java Jazz bersama The Jacksons. “Setiap tahun kami memang mencoba memberi spotlight pada up and coming artist global. Tahun ini, kami memilih Omar Apollo, yang sudah punya audiens cukup besar juga,” tutur Nikita.
Penampilan Omar Apollo di BNI Hall pada Ahad malam juga dipenuhi penonton muda meski tak sepadat audiens Ardhito. Ia membuka aksinya dengan membawakan lagu Ashamed dan langsung menyambungnya dengan lagu hitnya, Kickback. Apollo menunjukkan rentang atraksi yang beragam. Kadang dia melompat-lompat lincah sambil menari, pada lain waktu dia unjuk kemampuan gitar solo. Dia mampu membuat penonton turut serta berjoget. “Apakah kalian ingin menari? Ya, aku juga ingin menari,’ kata Apollo, lalu melantunkan lagu Ignorin dengan penuh energi.
Terlahir dengan nama Omar Velasco, Apollo adalah generasi pertama pasangan imigran Meksiko yang lahir di Amerika Serikat. Orang tuanya menyeberangi perbatasan dan memulai hidup di Amerika lima tahun sebelum Apollo lahir dengan bekerja keras membuka restoran The Super Taco di South Haven, Indiana, sekitar empat jam dari Chicago. “Aku dari Indiana. Apakah kalian pernah mendengar Indiana?” Apollo bertanya kepada penonton Jakarta malam itu.
Musik Omar Apollo banyak dipengaruhi penyanyi Meksiko-Amerika, seperti Pedro Infante, Vicente Fernández, and Estela Núñez. Kekuatannya berada pada lirik dan penampilan yang kaya emosi mendalam. Apollo mengakui sisi dramatisnya itu sangat khas Meksiko.
Apollo adalah orang yang paling tak menyangka bahwa pada usia mudanya dia sudah menjadi begitu populer lewat musik serta sanggup menafkahi orang tua dan saudaranya. “Keberuntungan yang gila,” ucap pria kelahiran 20 Mei 1997 itu.
Jalan Apollo menuju popularitas mirip-mirip dengan Ardhito. Dia memulainya dari sebuah loteng tempat dia tinggal bersama enam temannya pada usia 19 tahun. Dia belajar sendiri cara bernyanyi dan bermain gitar lewat video tutorial di YouTube, juga mengotak-atik laptop untuk merekam lagu. Dia membuat banyak lagu selama tinggal di kamar loteng. Tiga tahun lalu, Apollo mulai mengunggah lagunya ke SoundCloud. Seorang teman menyarankan ia juga mengunggah lagunya ke Spotify. Ugotme menjadi lagu pertama yang ia rilis di Spotify dan dalam satu malam langsung mendapat 50 ribu pendengar.
Dalam sesi wawancara media di belakang panggung, Omar Apollo menjawab pertanyaan Tempo tentang apa yang membuatnya dapat viral dalam sekejap. “Tentu saja musik. Sangat penting membuat musik yang baik dulu, atau orang-orang tak akan tertarik,” tuturnya.
Apollo ingat banyak orang menganggapnya remeh saat ia mulai membuat musik. “Saat aku bekerja di toko musik, ada yang bilang aku tak mengerti musik sama sekali. Aku sudah membuktikan mereka salah,” ujarnya.
Di Kemayoran, ribuan kilometer dari Indiana, banyak yang sepakat dengan Apollo sambil mengangguk-anggukan kepala dan bernyanyi bersama: Say you wanna make the scene?/Oh you wanna rock the beat?/Say you wanna make a scene?/Oh you wanna rock the beat?.
MOYANG KASIH, M. RYAN H.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo