Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kampus Merdeka Nadiem Makarim gagah dalam konsep, keliru dalam implementasi.
Kampus harus diberi kebebasan akademik sebenarnya.
Kritik intelektual adalah obat bagi peradaban.
Robertus Robet
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan dengan tajuk luar biasa: Kampus Merdeka. Kebijakan yang terdengar bagus ini, sayangnya, tersia-sia karena berhenti pada tujuan teknis-ekonomis semata-mata. Kebijakan tersebut rupanya hanya ingin menggantikan tiga semester di ruang-ruang kuliah dengan program magang di pelbagai dunia usaha. Mahasiswa didorong mengambil mata kuliah secara lintas program studi. Dengan begitu, diharapkan lulusan universitas lebih cepat beradaptasi dengan dunia kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Nadiem semestinya lebih berani menafsirkan kata “merdeka” untuk menemukan pengertian dan kebutuhan yang lebih esensial untuk dunia pendidikan kita. Universitas saat ini memang sangat memerlukan kemerdekaan, tapi tidak sekadar merdeka dari ruang kuliah. Universitas-universitas kita perlu merdeka dari rasa takut terhadap kritik, terhadap pengetahuan dan kebenaran; merdeka dari birokratisasi, dari instrumentalisasi ekonomi.
Pada 1998, Human Rights Watch menerbitkan sebuah laporan yang meringkas serangan terhadap kebebasan akademik sepanjang sejarah Orde Baru: sensor, pelarangan diskusi, pemenjaraan, dan teror. Kini, lebih dari dua dasawarsa setelah laporan klasik itu, serangan terhadap kemerdekaan akademik kembali bermunculan (Lokataru 2019; Herlambang 2016; The Conversation 2019).
Serangan terhadap kemerdekaan akademik terjadi seiring dengan makin mengkeretnya kebebasan sipil dan kemerosotan demokrasi di Indonesia. Riset-riset itu menyimpulkan, kemerdekaan akademik makin ditekan bila menyuarakan sejumlah hal. Pertama, tuntutan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk soal pelanggaran hak asasi manusia masa lalu serta hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Kedua, kritik terhadap politik ideologi dan doktrin agama. Ketiga, kritik terhadap kebijakan politik hukum negara. Keempat, kritik terhadap praktik kekuasaan birokrasi kampus.
Di luar keempat hal itu, kemerdekaan akademik mengalami kemerosotan yang lebih besar yang disebabkan oleh instrumentalisasi universitas di bawah kepentingan pasar (Rakhmani dan Sakhiyya, Theconversation.com, 7 November 2019).
Mengapa kampus memerlukan kemerdekaan akademik? Sebab, ia jantung universitas. Ia bukan sekadar norma yang ditujukan untuk melindungi akademikus mengajar, meneliti, mempublikasikan pikiran, dan terlibat sebagai warga negara. Lebih jauh dari itu, ia adalah syarat agar belajar itu mungkin. Kemerdekaan akademik merupakan generator bagi terselenggaranya pengetahuan dan pencarian kebenaran, yang merupakan fundamen dan tujuan dasar pendirian universitas. Thomas Jefferson, dalam pidato pendirian University of Virginia pada 1819, mengatakan universitas dibangun di atas illimitable freedom of human mind yang mendorong semangat bagi setiap orang untuk berani mengejar kebenaran.
Kita tentu menyadari bahwa universitas bukan tempat yang steril dari politik dan kepentingan. Universitas-universitas di Indonesia, sejak era Sukarno hingga kini, adalah arena persaingan ideologi dan penaklukan politik. Universitas-universitas besar tidak bisa dilepaskan dari politik karena telanjur memainkan peran yang penting dalam tiap pergolakan dan perubahan sosial di Indonesia. Konteks ini menancapkan ambivalensi yang inheren di dalam universitas: di satu sisi, ia mesti mengemban tugas mengembangkan pengetahuan dan kebenaran dengan sifat-sifat universal dan otonom, sementara di sisi lain ia mesti berelasi dengan lingkungan ekonomi-politik tempat ia hidup.
Intrusi politik dan ekonomi tidak mungkin dihindari mengingat banyak kampus negeri, termasuk kampus besar sekalipun, hidup bergantung pada negara dan perusahaan-perusahaan yang menjadi sponsor serta penyandang dana untuk pelbagai proyek di kampus. Ketergantungan ini sering mendorong banyak pemimpin universitas membangun hubungan unik dengan para pejabat, pengusaha, dan politikus. Ketergantungan ini pula yang barangkali mendorong makin luasnya praktik obral murah gelar doctor honoris causa di kampus-kampus kita.
Ambivalensi ini juga merembes ke peran akademikus di dalamnya—terutama di universitas-universitas negeri, tempat kaum akademikus selaku aparat sipil negara diharuskan loyal kepada pemerintah, tapi, di sisi lain, sebagai civitas academia, ia secara otonom mesti setia kepada ilmu, kebenaran, dan rasionalitas publik.
Pada masa Orde Baru, para akademikus di kampus-kampus negeri dibelenggu oleh doktrin monoloyalitas. Pada era demokrasi, selain tidak masuk akal, doktrin seperti itu sudah ketinggalan zaman. Lebih jauh lagi, sejauh diakui secara konsisten, kemerdekaan akademik sebenarnya juga telah mampu menyelesaikan ambivalensi ini.
Noam Chomsky mendefinisikan kemerdekaan akademik sebagai privilege yang diberikan kepada akademikus untuk menyerukan apa yang benar dan mengungkap apa yang salah. Dengan itu, terlepas dari posisinya sebagai aparatur sipil negara, akademikus memiliki keleluasaan untuk menyampaikan kritik dan terlibat dalam pelbagai percakapan di ruang publik. Makna ini persis sebangun dengan kesadaran bahwa negara harus mengakui kritik dan pikiran adalah tanda masyarakat yang sehat. Di sinilah kemerdekaan akademik diperlukan dan sengaja dianugerahkan sebagai batas pertahanan dan martabat suatu universitas. Ia ada untuk membedakan universitas dengan penjara dan pabrik.
Dosen terbaik adalah mereka yang mampu mengajarkan dan menunjukkan keburukan serta kegagalan sebuah bangsa sambil tetap mengajarkan cara mencintainya. Di titik ini, kritik kaum akademikus tidak boleh dihantam karena, seberapa pun pahitnya, ia sepadan dengan tujuan-tujuan nasional suatu bangsa. Pada saat yang sama, meski kerja akademik adalah kerja individual, nasib kemerdekaan akademik mesti diperjuangkan secara kolektif. Seperti guru, akademikus semestinya mulai mengorganisasi diri tidak hanya dalam asosiasi-asosiasi keilmuan, tapi juga dalam organisasi yang berbasis profesi untuk mempertahankan dan memperluas kemerdekaan akademik.
Lebih dari itu, meski tidak dengan serta-merta, perluasan kemerdekaan akademik jelas berhubungan dengan pertumbuhan kaum intelektual di suatu masyarakat. Tanggung jawab etik kaum akademik bersifat individual dan teknikal, yakni mengajar, meneliti, menulis jurnal. Universitas yang baik mungkin memiliki dosen yang memiliki tanggung jawab akademik kokoh, tapi tidak dengan serta-merta melahirkan kaum intelektual. Jaminan yang sungguh-sungguh atas kemerdekaan akademiklah yang merangsang tanggung jawab akademik yang bersifat domestik dan individual itu merekah, bertransformasi menjadi tanggung jawab intelektual di ranah publik yang lebih luas.
Di sini, kita tiba pada persinggungan yang krusial antara kebebasan akademik dan identitas suatu bangsa. Identitas nasional tidak ditumbuhkan melalui doktrin, disiplin, dan gelora propaganda, melainkan lewat keberagaman kehidupan intelektualnya. Richard Rorty mengatakan bahwa fungsi universitas adalah membantu siswa menantang dan mengubah struktur sosial yang mereka alami dan pelajari di masa-masa pendidikan primer dan sekundernya.
Dosen terbaik adalah mereka yang mampu mengajarkan dan menunjukkan keburukan serta kegagalan sebuah bangsa sambil tetap mengajarkan cara mencintainya. Di titik ini, kritik kaum akademikus tidak boleh dihantam karena, seberapa pun pahitnya, ia sepadan dengan tujuan-tujuan nasional suatu bangsa. Pada saat yang sama, meski kerja akademik adalah kerja individual, nasib kemerdekaan akademik mesti diperjuangkan secara kolektif. Seperti guru, akademikus semestinya mulai mengorganisasi diri tidak hanya dalam asosiasi-asosiasi keilmuan, tapi juga dalam organisasi yang berbasis profesi untuk mempertahankan dan memperluas kemerdekaan akademik.
Konstitusi menegaskan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan pendirian negara Indonesia. Dengan itu, pendidikan dan universitas tidak boleh diposisikan sebagai alat atau instrumen untuk kepentingan lain, termasuk tujuan pembangunan ekonomi sekalipun. Universitas tentu harus menghasilkan orang-orang yang paham akan ekonomi, bisnis, dan industri, tapi tujuan-tujuan universitas tidak boleh diletakkan di bawah bidang-bidang itu.
Sejak era Orde Baru, dunia pendidikan kita telah direndahkan dengan pandangan yang keliru bahwa universitas mesti menghasilkan orang-orang yang berguna secara instrumental di bawah pembangunan dan kepentingan dunia usaha. Pandangan ini telah meletakkan universitas sebagai hamba di bawah tujuan-tujuan pasar. Perhambaan ini makin diperberat dengan ditimpakannya urusan-urusan moral di atas pundak universitas. Inilah pandangan salah yang menghasilkan erosi besar-besaran pada fungsi universitas yang semestinya bekerja untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menteri Nadiem sudah berjasa karena membawa kembali istilah “merdeka” yang maha penting ke dalam diskursus pendidikan kita. Namun ia mesti mengubah secara paradigmatik esensi kata itu, menanggalkan tujuan-tujuan instrumentalnya untuk kemudian meletakannya sebagai postulat dasar pendidikan Indonesia. Meski ia berlatar belakang pengusaha, dengan mendirikan bisnis Go-Jek, soal lapangan pekerjaan bukan tugas utamanya, melainkan tugas Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Perindustrian, atau Menteri Pariwisata.
Sebagai Menteri Pendidikan, tugas Nadiem akan berhasil apabila saat pulang dari kantornya di kawasan Senayan, suatu sore, ia menemukan para pengojek aplikasi Jakarta duduk khusyuk di atas sadel sepeda motor sambil membaca Sartre, Sjahrir, atau Kafka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo