Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Teror Tak Kasatmata

Sosok tak kasatmata membawa teror ke dalam kehidupan seorang perempuan yang berhasil meloloskan diri dari suaminya yang penuh kekerasan. Tak ada yang percaya kepadanya, dia harus melawan sendirian. 

7 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
The Invisible Man/imdb

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Invisible Man

Sutradara: Leigh Whannell
Skenario: Leigh Whannell
Produksi: Universal & Blumhouse Production
Pemain: Elisabeth Moss, Harriet Dyer, Aldis Hodge, Storm Reid
SEWAKTU Universal mencetuskan ide Dark Universe alias sebuah jagat seperti Marvel dan DC tapi dengan karakter-karakter horor pada 2014, Invisible Man dijanjikan menjadi bagian dengan aktor pemeran tak kurang dari Johnny Depp. Namun kegagalan The Mummy, yang turut menjadi penghuni jagat kelam ini, tiga tahun kemudian membuat Universal menimbang ulang ide waralaba horor tersebut. Kita tampaknya tak akan mendapatkan Johnny Depp sebagai pria tak terlihat. Universal justru “meminjamkan” karakter Invisible Man kepada Blumhouse Production, yang mengolahnya dengan brilian menjadi thriller psikologis berperspektif kekerasan terhadap perempuan.
 
The Invisible Man dimulai dengan adegan panjang dan mencekam pelarian Cecilia (Elisabeth Moss) dari sebuah rumah megah berdinding kaca-kaca lebar di atas tebing pinggir laut. Pelarian itu tampak sudah direncanakan dengan matang, bahkan barangkali telah disimulasikan berulang-ulang, terlihat dari efektifnya Cecilia membuat suaminya tertidur pulas, berjingkat mengumpulkan barang keperluan, hingga menggeser kamera pengawas. Sedikit suara saja membuat jantung berdebam. Ketika pelarian Cecilia nyaris digagalkan oleh suaminya, Adrian (Oliver Jackson-Cohen), lewat sebuah adegan brutal, kita segera tahu dari apa Cecilia sedang berusaha membebaskan dirinya.
 
Beberapa pekan kemudian, Cecilia terlihat sudah aman di rumah sahabatnya, James Lanier (Aldis Hodge), yang memiliki putri, Sydney (Storm Reid). Namun tubuhnya masih mengingat trauma bertahun-tahun kekerasan dari Adrian. Cecilia tak bisa memaksa dirinya berjalan sekadar beberapa langkah ke luar rumah. Lalu sebuah berita tak terduga muncul: Adrian tewas bunuh diri dan Cecilia mendapat warisan besar.
Luka tampaknya sedikit terangkat tatkala Cecilia sudah bisa merayakan kebebasannya bersama James dan Sydney. Perayaan yang nyatanya tak bertahan lama. Bersama Cecilia, mata kita melihat sebuah pisau melayang tanpa terlihat siapa yang memegang atau mendengar jejak langkah tanpa mengetahui si pemilik kaki. Dia yakin betul sosok tak terlihat itu adalah mendiang Adrian yang entah bagaimana datang kembali untuk meneror. Kita, penonton, belum yakin. Sama tak yakinnya dengan orang-orang terdekat Cecilia yang hanya bisa memandangnya dengan tatapan penuh keraguan setiap kali perempuan itu berusaha menyampaikan bahwa ada sesuatu tak terlihat yang terus mengikutinya. Cecilia sendirian dalam upaya melawan balik teror tak kasatmata itu. Perlawanannya keras dan cerdas, meski matanya penuh air mata dan tubuhnya gemetar hebat.
 
Penampilan Elisabeth Moss adalah segalanya dalam film ini. Dalam bingkai demi bingkai adegan, dia menampilkan sosok rapuh sekaligus penuh determinasi yang tak bisa tidak membuat kita bersimpati. Ekspresinya menjangkau unsur paling mikro, seperti pupil mata yang melebar dalam kengerian. Karakter-karakter lain mendukung, tapi nyaris tak bermakna karena Moss menarik seluruh perhatian kita pada apa yang ia dilihat—atau tidak dilihatnya.
 
Peralihan fokus utama perspektif Invisible Man pada sisi protagonis perempuan yang menjadi korban kemampuan seorang pria membuat dirinya tak kasatmata itu adalah kebaruan riwayat panjang karakter ini. Diciptakan H. G. Wells pada 1897 dalam novel sains fiksinya yang berjudul sama, Invisible Man orisinal adalah seorang ilmuwan bernama Griffin yang menemukan cara memanipulasi optik untuk membuat wujudnya tak terlihat menggunakan serangkaian perangkat yang merefleksikan cahaya. Sialnya, dia belum menemukan bagaimana membuat dirinya terlihat kembali. Griffin terjebak dalam sosok nirkonkret dan rasa putus asa mengarahkannya pada tindakan kriminal, termasuk pembunuhan.
 
Invisible Man pertama kali diangkat menjadi film pada 1933 oleh Universal, yang sepenuhnya setia kepada narasi Wells. Seiring dengan waktu, sosok Invisible Man menjadi begitu populer dan yang tak mengetahui cerita aslinya pun barangkali akan akrab dengan citra pria bersetelan jas yang seluruh tubuhnya, termasuk wajahnya, dibalut perban putih, bertopi, dan berkacamata hitam itu. Charlie (Adam Driver) dalam film populer Marriage Story tahun lalu mengenakan kostum ini dalam adegan hari Halloween.
 
Invisible Man versi Leigh Whannel tak mengadaptasi apa pun dari cerita aslinya selain karakter pria tak terlihat itu. Tapi dia menawarkan perspektif betapa ngerinya keberadaan sosok tak terlihat yang dikombinasikan dengan niat jahat, terutama bagi seorang perempuan.
 
Secara langsung dan analogi, Whannel mengambil sisi para perempuan korban kekerasan yang sering kali tak dipercaya saat melaporkan kekerasan yang dialami dan dipaksa memberikan bukti senyata mungkin. Pada banyak kasus, malah bukti sebanyak apa pun tetap tak cukup. Fenomena gaslighting atau manipulasi psikologis yang digunakan seseorang untuk membuat korban mempertanyakan penilaian dan meragukan kewarasan masih menjadi pilihan umum dalam menyikapi kasus kekerasan dalam hubungan yang sering kali merugikan perempuan. “Aku tak langsung berpikir bahwa film ini dapat bercerita tentang gaslighting, kata Whannel dalam wawancaranya dengan Buzfeed News. “Tapi, saat menulis draf pertama, aku merasa film ini dapat diarahkan untuk menyampaikan gaslighting, kekerasan domestik, dan fenomena perempuan di bawah ancaman yang kesulitan mendapat kepercayaan dari orang-orang.”
 
Whannel patut mendapat pujian atas pesan moral itu, juga atas kemulusannya membangun horor dari apa yang tak terlihat sama sekali oleh mata. Berpengalaman menulis Saw dan kemudian menjadi sutradara Insidious, Whannel dapat menggerakkan kamera secara mendadak ke sudut-sudut kosong dan membuat jantung bertalu-talu saat yang sebenarnya tidak ada apa-apa itu disorot lamat-lamat. Lalu, phew, sedikit detail menggoda seperti uap napas yang muncul begitu saja dapat membuat kita terlonjak beberapa sentimeter dari atas kursi.
 
Pada akhirnya, Cecilia harus mengurus sendiri urusannya. Spoiler: dia melakukannya dengan baik dan memuaskan. Namun akhir bahagia itu justru menjadi refleksi mengecewakan bahwa sering kali perempuan sama sekali tak mendapat pertolongan sehingga satu-satunya yang bisa diandalkan untuk keluar dari masalah hanyalah diri sendiri. 

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus