Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Sepi di bale peni, sayu di girilayu

Kgpaa mangkunagoro viii meninggal dunia di jakarta keberangkatan sampai pemakaman berlangsung dalam upacara kemiliteran. almarhum seorang modernisator, meninggalkan seorang selir & 7 putra-putri.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMADAN lalu, Gusti Pangeran menziarahi makam ayahnya di Girilayu. Padahal, menurut kepercayaan, itu dipantangkan untuk seorang raja. Tapi ia memang sudah tak lagi berkantor di Bale Peni. Kiai Kanyut Mesem juga berhenti berbunyi. Gamelan yang diboyong dari Demak akhir abad ke-18 itu diam, di pendopo joglo sebelah barat. Sedangkan istana yang berdiri dua abad lalu di jantung Kota Solo itu, 50 meter sebelah utara Jalan Slamet Riyadi, dirangkul sepi. Para sentono (kerabat) dan abdi dalem (karyawan), seperti merasa ada firasat. Lalu, sejak Rabu malam itu mereka sepakat untuk tuguran, bergadang, dan tirakatan -- karena dua hari sebelumnya Sri Paduka sudah dirawat di ruang Intensive Care Unit RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pagi 3 September telepon berdering ke Istana. Ternyata, berita duka. Dan itu disambut dengan sedu-sedan, tertahan. Ketika duka jadi beku, pada Kamis pukul 10.05 itu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunagoro VIII, alias Sampeyan Dalem Ingkang Jumeneng Mangkunagoro VIII, 67 tahun, yang nama kecilnya Bandoro Raden Mas Saroso, memang sudah menghadap Ilahi. Kesehatannya menyusut, dimulai sejak G.P.H. Radityo Probokusumo -- putra makota yang sempat menikah dengan Aktris Erna Santoso dan membuahkan seorang putri -- meninggal (1977) dalam kecelakaan lalu lintas di Solo. Putusnya jalur kasih atau prastowo pegat sih itu memperberat jantungnya, setelah setahun kemudian Gusti Putri Mangkunagoro VIII, garwo padmi (permaisuri), yang juga kakak sepupunya, berpulang. Musibah itu seminggu setelah ia menziarahi pusara anandanya. Setahun berikutnya, meninggal pula menantunya, Peragawan Rahadian Yamin, karena kecelakaan lalu lintas di Lampung. Duka pun kian panjang. Setelah lima tahun berlalu, Dewan Iradat, lembaga pembantu dalam pemerintahan keraton, membubarkan diri, dan keenam anggotanya mundur. Gelombang yang beruntun ini agaknya semakin bebas memukul-mukul jantungnya. Dan ia terpaksa beberapa kali dirawat di rumah sakit Solo dan Jakarta. Terakhir ia berobat ke Taiwan. Lalu muncul badai lain -- yang entah membikin batinnya tambah terpukul. Bulan lalu Gubernur Jawa Tengah Ismail melarang Wali Kota Surakarta Hartomo, Bupati Karanganyar Hartono, dan Bupati Wonogiri Oemarsono menerima gelar kehormatan kebangsawanan dari Istana Mangkunegaran. Karanganyar dan Wonogiri sebelumnya memang bekas wilayah Mangkunegaran. Jumat siang 21 Agustus, Sri Paduka, yang pucat dan kurus itu, sempat menjelaskan soal anugerah gelar itu kepada pers. Ia bercelana krem, berkemeja putih. Di balik suaranya yang serak dan tersendat, ia bicara berhati-hati. Tapi mungkin ia kecewa. Kemudian Sri Paduka terbang ke Jakarta. Ia agaknya seperti tak memperkirakan akan memimpin lagi upacara tradisional -- menyambut tahun baru Caka 1 Suro 1920, 24 Agustus. Tapi setelah di Jakarta, ia kembali ke Solo untuk meninggalkan Istana buat selama-lamanya. Innalillahi wa innailaihi roji'un. Jumat pukul 07.50 pekan lalu, jenazahnya tiba di Bandara Adisumarmo, Solo, dari Jakarta. Lalu disemayamkan di Dalem Pringgitan, ruang tengah. Sekitar pukul dua siang, langit Solo saat itu disaput mega tipis. Keranda jenazah diberangkatkan, berselimutkan Merah Putih -- bukan Pare Anom, bendera Mangkunegaran yang hijau kuning itu. Pukul 14.35 jenazah tiba di Astono Girilayu. Kompleks makam itu di lereng barat Gunung Lawu, Kecamatan Matesih, Karanganyar, sekitar 30 kilometer sebelah timur laut Kota Solo. Makam Sri Paduka berada di sebelah barat, berdampingan dengan pusara permaisuri dan putra makota. Kompleks pekuburan itu bersih terawat, berlantai marmar kuning muda, teduh dengan cemara, pinus, kamboja. Keberangkatan sampai pemakaman berlangsung dalam upacara kemiliteran, dengan inspektur upacara Pangdam IV Diponegoro, Mayjen Setiyana. Di masa hayatnya, Sri Paduka berpangkat mayor jenderal kehormatan. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunagoro VIII meninggalkan seorang garwo ampil (selir) dan tujuh putra-putri. Enam dari almarhumah permaisuri: G.R. Ayu Retno Satuti Rahadian Yamin, G.R. Ayu Retno Rosati Hoedhiono Kadarisman, G.R.M. Sujiwo (belakangan bergelar G.P.H. setelah Radityo meninggal), G.R.M. Saktiyo, G.R.M. Herwasto, G.R. Ajeng Retno Astrini. Seorang lagi: B.R.M. Kumiyakto, yang lahir dari garwo ampil Nyi Mas Ayu Umiyarsi. Sujiwo, bekas suami Sukmawati Sukarno, sudah menduda empat tahun bukan 13 tahun (lihat juga Selingan). Penduduk Solo menyemut di sepanjang jalan utama dari Istana sampai Girilayu. Upacara pemberangkatan cukup sederhana tapi khidmat. Tak terkesan kesedihan berlebih. Gamelan Kiai Kanyut Mesem malah melantunkan gending kebesaran Kodok Ngorek, Corobalen. Juga gending klasik Monggang, yang konon sudah diperdengarkan sejak zaman Majapahit. Ada suasana Islami, dengan ditiadakan upacara brobosan. Di kalangan masyarakat Jawa, brobosan masih dilakukan: "menghormat" jenazah, memohon berkah dengan membungkuk beriringan menerobos kolong keranda yang siap berangkat diusung. Meski Mangkunegaran memegang tradisi, upacara yang dipandang syirik menurut Islam itu ditiadakan. Barangkali lantaran Almarhum juga aktif di Muhammadiyah. Ia tamat dari AMS Jakarta, 1940, lantas masuk Akademi Militer Koninklijke Opleiding voor Reserve Opsieren di Bandung. Hanya setahun, keburu Jepang menyerbu. Di zaman Saudara Tua itu, ia sempat jadi perwira Peta (Pembela Tanah Air) dengan pangkat tsudanco di Solo. Ketika Tentara Keamanan Rakyat berdiri menyertai kelahiran Republik, ia menyandang mayor jenderal kehormatan. Ia juga salah seorang penasihat delegasi RI dalam Konperensi Meja Bundar, 1948. Di saat senggangnya, menurut permaisurinya (TEMPO, 17 Mei 1975), Sri Paduka suka melukis atau bermain gitar. Ia sering mengemudikan mobil sendiri dan membeli koran atau majalah. Tak jarang ia menemani permaisuri keluar-masuk toko, sekadar memilihkan selendang. Ia juga gemar berkeliling kota mengendarai Vespa atau naik becak. Olah raanya tenis, dan tiap pagi jalan kaki. Ia menyukai mi goreng. Dan sebagai layaknya bangsawan Jawa, ia juga piawai sebagai penari. Pamor Istana ini utuh lantaran sikap para penguasanya yang mengikuti bahkan mendorong perkembangan zaman. Mangkunagoro I, misalnya, menyatakan, Istana adalah milik rakyat, sementara Mangkunagoro VI mengizinkan pernikahan "darah biru" dan "darah putih". Ayahandanya, Mangkunagoro VII (1916-1930), sempat 15 tahun duduk sebagai pengurus Boedi Oetomo dan pelindung Jong Java. Ia juga memberantas buta huruf sejak 1934, mendirikan sekolah desa dan sekolah khusus gadis, HIS dan MULO. Beberapa kali menulis artikel di harian Dharmo Kondho, ia juga anggota Volksraad. dan biasa berkeliling naik kuda mengawasi pembangunan. Dialah pula pencipta patokan koreografi tari Jawa gaya Mangkunegaran (lihat Buku). Dialah pendiri SRV (Solosche Radio Vereniging), salah satu cikal-bakal RRI. Semangat membaur itu dilanjutkan penggantinya, ya, Sri Paduka yang baru almarhum itu. Almarhum, misalnya, mengurus Palang Merah Indonesia dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Sejak 1968, Sri Paduka membuka Istana untuk umum. Pendopo Istana sering digunakan untuk resepsi atau peragaan busana, guna mengumpulkan dana Yayasan Penderita Anak-Anak Cacat. Dan dalam kampanye pemilu lalu, ia jadi jurkam Golkar. Ia juga dikenal "ekstrem" mendorong warganya mengikuti perkembangan zaman, dan mewajibkan para sentono melaksanakan KB. Bahkan abdi dalem yang jebol KB-nya dipecat. Ia hanya berkenan atas seorang selir -- bukan seperti para raja Jawa yang menikahi lebih dari tiga garwo ampil. Kenapa? "Ya, karena mengikuti perkembangan zaman itulah," katanya pada TEMPO bulan lalu. Mangkunegaran bermula pada 1741, ketika Raden Mas Said keluar dari Istana Kartasura. Bersama 40 orang pengikutnya -- kebanyakan bukan bangsawan -- pemuda 16 tahun yang dijuluki Pangeran Samber Nyowo itu bergerilya melawan VOC selama 16 tahun. Ketika ia bertakhta, gelarnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mengkunagoro, Senopati Ngayudo Lelono Joyomiseno, Satriyotomo Mentaram Prawirohadiningrat, alias Sri Mangkunagoro I. Semula merupakan vazal atau kadipaten, bagian dari Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, sejak Mangkunagoro II (1796-1835) Mangkunegaran berdiri sendiri. Tapi sampai sekarang secara resmi Mangkunegaran tak menggunakan istilah puro, sementara keraton atau istana dlpergunakan untuk Kasunanan. Yang bertakhta di Kasunanan adalah Paku Buwono (kini ke-12). Terpecahnya Kerajaan Kartasura (kemudian pindah ke Surakarta, di sebelah timur), merupakan keputusan Perjanjian Giyanti di abad ke-18, sebagai upaya politik pecah-belah VOC. Taktik itu juga diterapkan di Yogyakarta. Di sana ada Kasultanan -- kini dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwono IX -- dan Pakualaman, kini dengan Paku Alam VIII. Bahkan Kerajaan Cirebon terbagi empat: Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan. Mangkunegaran menempati posisi istimewa dalam sastra, bahkan kepribadian, orang Jawa. Hal itu lantaran karya puisi Mangkunagoro IV (1853-1881), Wedhotomo dan Tripomo, yang populer dalam khazanah sastra Jawa. Sampai kini masih banyak orang menembangkannya. Tak kurang dari Presiden Soeharto mengagumi keteladanan dan laku utomo alias budi luhur di dalamnya. Di Astono Girilayu pula, Mangkunagoro IV dimakamkan dalam bangunan dari kuningan ukuran 4 x 12 m2, sumbangan raja Prancis saat itu. Ajaran Mangkunegaran yang kini terkenal kembali ialah, antara lain, melu handarbeni, melu hangrungkebi, yang artinya ikut memiliki, ikut bertanggungjawab. Ajaran lain: Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake (tanpa pamrih, bersifat kesatria, berwatak unggul tanpa menyinggung perasaan orang lain). Kini, adakah Almarhum Mangkunagoro VIII berwasiat, mengenai takhta? "Di hari-hari terakhir, sebelum beliau ke Jakarta, saya menerima nasihat dan pesan beliau. Tapi semuanya akan kami bicarakan dulu dalam musyawarah para keraba Mangkunegaran," kata G.P.H. Sujiwo. Berbeda dari kerajaan lain, pewari takhta Mangkunegaran memang tak selalu keturunan langsung sang raji (lihat Kolom: Takhta dan Suksesi) Dan sebagaimana Mangkunagoro bertakhta setahu VOC, Mangkuna goro VIII berkuasa sejak 7 Juli 194 seizin Jepang. Apa kelak, bila Mangkunagoro IX memegang kendali, perlu persetujuan Menteri Dalam Negeri? Apalagi sejak 1946, swapraja atau kerajaan hapus sudah. "Yang jelas Mangkunegaran ingin maju sesuatu dengan perkembangan zaman, tapi jangan rusak oleh kemajuan zaman,' ujar G.R. Ayu Retno Satuti. Sementara pamor istana di Jawa (kecuali Kasultanan dan Pakualaman Yogyakarta) menyurut, Mangkunegaran bertahan. Ini mungkin berka kelihaian bisnisnya. Di masa pemerintahan Sri Paduka-lah dibentuk Dana Milik Mangkunegaran, yang aslinya disebut Fonds van Eigendomme van het Mangkunegaransche Rijk. Dana Milik itu mengelola pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu, perumahan di Banjarsari, dan hotel Dan (Solo), perumahan di Pendrikan (Semarang), pabrik obat-obatan di Tawangmangu, dividen dan efek-efek di luar negeri. Sejak 1952, sejalan dengan upaya nasionalisasi, Dana Milik Mangkunegaran dibekukan Mendagri (ketika itu) Iskaq Tjokrohadisurjo. Selanjutnya, harta benda kerator ini diurus oleh Wali Kota Solo. Pada 1974 Mendagri Amirmachmud membentuk sebuah dewan pengurus, dan dua orang Mangkunegaran duduk di dalamnya. Itu tak berarti bisnis berhenti. Beberapa tahun kemudian, didirikanlah PT Astrin untuk mengurus pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu, konsesi kayu di Kalimantan dan rotan di Riau. Dan awal tahun ini PT Astrini mengekspor 500 ton rotan setengah jadi ke Taiwan. Didirikan pula PT Retno Puri buat mengelola Mangkunegaran Palace Hotel, yang megah di kanan alun-alun kecil depan Istana. Bisnis itu masih jalan. Di malam Jumat puisi Sekar Wedhotomo masih didendangkan. Tapi gitar tua itu tak lagi dipetik. Kini tergantung di kediaman resmi, Bale Peni. Sepi. Laporan Kastoyo Ramelan, Aries Margono, Syahril Chili (Biro Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus