GUBUK papan dan bambu berukuran sekitar 8 x 4 meter itu tampak rapuh. Di sana-sini lubang. Letaknya tepat di depan kampus Universitas Indonesia yang pekan lalu diresmikan, di tengah bundaran jalan Pasar Minggu-Depok dan jalan tembus Pondok Cina-Cimanggis. Di sekitarnya, tak ada rumah lain. Namun, di gubuk yang menyendiri di tanah seluas 1.834 m2 itu kini tinggal satu keluarga yang sedang meradang. Mereka mencoba mempertahankan tanah mereka. "Saya hanya mau pindah bila mendapat ganti rugi satu milyar," kata Henry M. Ali, sang kepala keluarga, Senin pagi pekan ini. Henry berapi-api. Istri dan empat anaknya mendampinginya. Mereka duduk di lantai yang beralaskan tanah. Di ruang tamu itu terlihat ranjang kecil dari papan, tanpa tikar, tanpa bantal. Siapa dia? Henry, 43 tahun, Betawi asli. Dulu ia tinggal di Senayan. Pada awal 1960-an dibangun kompleks olah raga Senayan, dan ia harus pindah ke Tebet. Pria yang pendidikannya cuma sampai kelas III SD ini kemudian hidup dari jual-beli rumah. Pada 1978, rumahnya di Tebet juga kena gusur. Ia pun mencari tempat baru. Dibelinya tanah di Kelurahan Srengseng Sawah, seluas 1.834 m2, seharga Rp 10 juta. Ia berhati-hati. Sebelumnya, katanya, ia sudah menghubungi Dinas Tata Kota Jakarta Selatan, yang menjelaskan bahwa tanah itu tak akan terkena proyek pemerintah. Tanah itu pun dibelinya. Ia memperoleh girik nomor C. 2339 tahun 1979. Ia pun membuka bengkel las. Mendadak, September 1985, sejumlah petugas Bina Marga mematok tanahnya. Terjadi debat sengit. Kata Henry, berdasar SK Gubernur KDKI Nomor 1708/1985, serta SK Wali Kota Jakarta Selatan Nomor 122/1985 tentang pelebaran jalan Pasar Minggu-Depok, ditetapkan bahwa sejauh 18 - 20 meter dari jalan tidak boleh didirikan bangunan. Ternyata, dalam pelaksanaan, batas itu menjangkau 100 meter. Berarti tanah dan rumahnya kena. Dan segera, di depan dan di samping rumah Henry, dibangun jalan sejajar dengan rel kereta api Pasar Minggu-Depok, untuk yang mau pergi ke UI. Di tanah Henry menurut rencana, akan dibangun taman dan jalan layang. Atas dasar keterangan pemerintah daerah dulu, Henry menolak pergi. Ia mengatakan berkali-kali ia diintimidasi agar pindah. Namun, lelaki kurus berkaca mata itu tetap keras kepala. Sewaktu sejumlah petugas menyarankannya agar ia mengajukan tuntutan harga penggantian, pada 9 Desember 1986 ia mengirimkan surat ke Wali Kota Jakarta Selatan. Tuntutannya: ganti rugi 1 milyar. Tuntutan itu, tentu saja, terlalu besar. Menurut ketentuan, tanah yang berstatus adat-girik yang kena gusur cuma dapat ganti rugi Rp 27.225/m2. Henry sendiri tahu itu. "Tuntutan satu milyar itu hanya untuk menunjukkan bahwa saya tidak mau pindah dari sini," katanya. Ia juga tahu ia mungkin akan dipaksa. Bila demikian, "Saya serahkan pada Tuhan. Saya tidak tahu harus melakukan apa lagi," jawabnya. Kini ia menganggur. Hidupnya bergantung pada dua anak lelakinya yang bekerja sebagai kernet truk. Tampaknya, ia akan kalah. Kepala Dinas Tata Kota DKI Jaya, Kandar Tisnawinata mengatakan, Henry akan dicoba dibujuk lagi secara baik-baik agar mau pindah. "Untuk itu, tentu ada batas waktunya. Saya sendiri tidak tahu kapan batas waktu itu," katanya. Menurut Tisna, pemerintah masih punya alat ampuh, yakni Pajak Bumi dan Bangunan. Kalau Henry minta satu milyar, kata Tisna, pajaknya akan dihitung tiap tahun. Jumlah yang harus dibayarnya, dihitung sejak dulu, pasti besar sekali. Dan Tisna mengisyaratkan, "Kami juga bisa keras kalau dia juga bersikeras." Dan Henry, untuk kesekian kali, akan tergusur lagi, kali ini demi UI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini