FILM yang menyajikan otot lelaki tidak harus berarti film sampah. Terutama jika otot lelaki itu sudah kendur. Clint Eastwood, yang baru saja menikmati beberapa piala Oscar dalam film Unforgiven tahun silam, telah membuktikan di luar dan di dalam film bahwa seseorang yang mencapai usia 63 tahun bukan hanya sudah ''tua'', tapi ''matang''. Dan kematangan semacam itulah yang ditunjukkan karakter Frank Horrigan (Clint Eastwood). Memang, Horrigan, seorang agen rahasia, usianya sudah tinggi dan wajahnya mulai berkeriput. Tapi kehadiran Horrigan di tengah rekan-rekannya yang masih muda bagaikan munculnya seekor dinosaurus pada abad ke-20. Ia dianggap begitu kuno, memiliki siasat purba tapi, apa boleh buat, masih diperlukan. Masalah dalam film ini, presiden Amerika diancaman ditembak mati. Maka, seperti koboi tua dalam Unforgiven, Frank Horrigan mencoba melangkah kembali ke lapangan. Ia minta ditugaskan kembali menjaga presiden. Meski rekan-rekannya yang muda tak habis tergelak melihat ambisinya, akhirnya Horrigan diizinkan juga karena satu hal. Ia merasa masih berutang nyawa terhadap negara. Dulu, ia gagal melindungi Presiden John Kennedy, ''Padahal aku berada tepat di samping mobilnya.'' Lalu Anda akan melihat sebuah film dokumenter yang memperlihatkan wajah muda Clint Eastwood di samping Presiden Kennedy. Adegan penembakan di Dallas yang diputar berulang- ulang dalam film JFK karya Oliver Stone, plus wajah Clint Eastwood yang bengong melihat presidennya ditembak, disajikan sebagai kilas balik. Lantas seluloid bercerita tentang konflik batin sang agen tua yang ditantang oleh generasi muda yang menjengkelkan. Masalah itu masih ditambah adanya ancaman dari seorang pembunuh berdarah dingin bernama Mitch Leary (John Malkovich). Kejar-kejaran antara Horrigan dan Leary pada awalnya adalah tukar-menukar ancaman melalui telepon dengan kalimat-kalimat yang tajam dan menukik. Dengan mengerahkan ketajaman insting masa lalu, Horrigan segera mengenali sosok (calon) pembunuh presiden itu, meski di muka publik Leary muncul dengan berbagai nama dan penampilan. Yang menjadi persoalan, setelah Horrigan mendapatkan sidik jari Leary, CIA malah berusaha menutupi identitas Leary, meski hanya untuk beberapa saat. Aspek-aspek inilah yang membuat In the Line of Fire menjadi sebuah film kehidupan agen rahasia yang tidak konvensional. Meski film semacam ini sangat berpotensi untuk mengeskploitasi adegan kekerasan, adu otot, dan darah, sutradara Wolfgang Petersen tampak menahan diri dan memilih memperagakan perang urat saraf. Keberhasilan adegan perang urat saraf ini, antara lain, disebabkan kecemerlangan akting John Malkovich dan Clint Eastwood yang mempesona sepanjang film. Malkovich, yang memiliki latar belakang akting dari teater yang menghasilkan ucapan, mimik, dan gerak yang terkontrol, menjadi kontras yang menarik dari akting Eastwood, yang lebih banyak belajar dari pengalaman. Sekilas, terkesan adegan-adegan hubungan timbal balik antara Eastwood dan Malkovich melalui telepon mengingatkan kita pada film-film Eropa yang dibuat di luar resep memenuhi selera pasar yang penuh konflik psikologis, yang menekankan karakterisasi tokoh-tokohnya. Tapi In the Line of Fire memang film Hollywood, maka masuk jugalah elemen seks, ketegangan, dan happy ending. Untuk beberapa saat, ketiga faktor ini tidak terlalu mengganggu. Petersen hanya memberikan sugesti. Agen Horrigan yang kuno tersenyum genit melihat seorang agen muda cantik ikut hadir dalam rapat. ''Saya tidak menyangka sekretaris zaman sekarang cantik dan berkaki indah,'' katanya dengan nada kurang ajar kepada agen Lily Raines (Rene Russo). Raines, yang berusaha membuktikan kemampuannya sebagai agen rahasia yang sigap, toh jatuh ke pelukan sang veteran. Memang agak klise, tapi masih belum mengganggu. Dan mereka hanya sempat berciuman dan hampir tidur bersama, diiringi musik jazz All Blues dari Miles Davis yang dahsyat. Dan ketegangan? Ternyata sang (calon) pembunuh seorang (bekas) pembunuh bayaran yang pernah ''dipakai'' CIA membunuh target mereka. ''Tapi aku dikhianati negara. Seperti engkau, habis manis sepah dibuang!'' teriak Leary kepada Horrigan. Cerita ''habis manis'' ini pun sebenarnya juga klise film intelijen Amerika. Yang mungkin menolong, itu tadi, meski keduanya sama-sama ''dibuang'', Horrigan tak menganggap dirinya dikhianati, malah merasa berutang, terhadap negara. Persamaannya, mereka bersedia mati untuk presiden. Cuma, Horrigan bersedia mati demi melindungi presiden, Leary bersedia mati seandainya ia tertangkap setelah percobaan membunuh presiden. Akhirnya, Horrigan berhasil menangkap pembunuh gila itu. Dan di sinilah film yang hampir keluar dari resep Hollywood kembali jatuh. Adegan ini disajikan dalam dar-der-dor, kejar-mengejar, dan tubuh yang bergelimang darah. Dialog filosofis tentang pengabdian pada negara antara Horrigan dan Leary yang menakjubkan itu diterabas habis oleh penyelesaian yang begitu gampang: Leary jatuh dari gedung bertingkat. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini