Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG medio 1960-an, bisa dibilang ia merupakan "bayang-bayang Sukarno". Di antara tiga wakil perdana menteri masa itu?dua lainnya J. Leimena dan Chaerul Saleh?dialah yang paling lekat dengan "Pemimpin Besar Revolusi". "Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti Subandrio?," kata Bung Karno, seperti dituturkan kembali oleh Cindy Adams.
"Bandrio, datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah," demikian Sukarno bertutur dalam Bung Karno Penyam-bung Lidah Rakyat Indonesia. Bung Karno, pada masa itu, sudah mengalami kesulitan tidur di tengah kesepian Istana Negara?dan intrik politik.
Subandrio?biasa dipanggil Mas Ban?selalu siap mendampingi. Dengan senyumnya yang lebar, penguasaannya atas lima bahasa asing?Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, belakangan Rusia?dan kesabarannya mendengar, Mas Ban mudah memberikan rasa aman pada hari hari melelahkan Bung Karno. Sebagai dokter yang hampir tak pernah berpraktek, ia juga bisa memberikan nasihat-nasihat kecil di tengah keadaan kesehatan Bung Karno yang mulai bermasalah.
Sabtu dini hari pekan lalu, pada sekitar pukul 01.30, setiawan Bung Karno itu dilarikan ke Rumah Sakit Setia Mitra, Jakarta Selatan. Napasnya tersengal. Di sana dokter menyatakan, ia sudah mengembuskan napas sejak di rumah. Jenazah Subandrio disemayamkan di kediamannya di Jalan Ji'an, Cipete, Jakarta Selatan. Setelah disalatkan di Masjid An-Nur, siang itu juga ia dimakamkan di tempat pemakaman umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Kurang 104 hari, usianya akan genap 90 tahun.
Di antara dramatis personae tragedi 1965 dan tahun-tahun sesudahnya, Subandrio menjalani alur dramatiknya sendiri yang tidak saja unik, tetapi juga kontroversial. Menjelang senja Sukarno, ia memegang tiga jabatan kunci sekaligus: Wakil Perdana Menteri I, Menteri Luar Negeri, dan Kepala Biro Pusat Intelijen. Masih ada dua jabatan sampingan yang tak kalah penting: Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi dan Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi Operasi Ekonomi.
Makin tinggi pohon, kata orang, makin deras angin melibas. Setelah "gempa politik" 1965, Mas Ban jadi sasaran antara yang empuk sebelum para pengobar Orde Baru mencapai target sesungguhnya: Sukarno. Namanya "menjulang" di cakrawala pekik dan spanduk para demonstran 1966. Ia dijuluki macam-macam, misalnya "Durno", "Haji Peking", bahkan?maaf?"Anjing Peking".
Sukarno tak kuasa melindungi "anak emas"-nya ini?bahkan kemudian tak kuasa melindungi dirinya sendiri. Subandrio diseret ke depan mahkamah militer luar biasa (mahmillub), dan dijatuhi hukuman mati pada Oktober 1966. Sejak itu ia mengembara di berbagai rumah tahanan dan penjara: Nirbaya, Cimahi, Cipinang, antara lain. Proses pengadilan yang cepat tak membuka kesempatan pada Subandrio untuk membuktikan dirinya tak bersalah?atau sekadar mendapat keringanan hukuman.
Dari balik jeruji besi, pria kelahiran Kepanjen, kota kecil di segi tiga Malang-Gunung Kawi-Blitar, Jawa Timur ini terkesan tabah menjalani nasib. "Saya politisi, ini risiko pekerjaan saya," katanya suatu ketika. "Seseorang tidak perlu malu pernah berada di penjara." Pukulan pun datang bertubi-tubi. Pada Februari 1974, anak tunggalnya, Hudoyo, wafat pada usia 31 tahun. Dua bulan kemudian, istrinya, Hurustiati, menyusul.
Perempuan Jawa yang cantik itu merupakan dokter wanita ketujuh lulusan Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ia juga menyelesaikan kuliahnya di jurusan antropologi. Pernah menjadi pembantu utama Menteri Kesehatan, setelah suaminya menjadi Menteri Luar Negeri, Hurustiati sering bertindak sebagai nyonya rumah dalam acara-acara resmi di Istana Merdeka. Ketika itu Indonesia memang sedang tak punya first lady.
Setelah kehilangan putra dan istrinya, Mas Ban tampak berusaha "tidak melihat ke belakang". Kesebatangkaraannya diisi dengan berkebun dan mendalami agama. Para wartawan yang kadang-kadang mengunjunginya di penjara bisa menyaksikan sajadahnya yang bolong di bagian kepala, karena aus diasah salat. Tapi ingatannya juga mulai menurun.
Pada 1987, misalnya, ketika muncul rame-rame di sekitar "dana revolusi" yang konon diparkir di Belanda, Inggris, dan Swiss, Subandrio seperti tergoda mengambil peran. Ia dikabarkan menawarkan diri mencairkan dana itu, dengan syarat dibebaskan dari hukuman. Seperti kita tahu, "dana revolusi" itu, sekalian dengan "harta karun peninggalan Bung Karno", lebih bersifat dongeng ketimbang kisah nyata.
Pada 1978, seorang perempuan merapat ke dalam kehidupan Mas Ban. Dialah Sri Kusdyantinah, yang pada 1950-an dikenal sebagai penyair yang cantik dengan nama Dyantinah B. Soepeno. Janda almarhum Kolonel Bambang Soepeno ini akhirnya menikah dengan Subandrio pada 1980. "Mas Ban itu ma-sih saudara almarhum suami saya," kata Kus, yang pernah direncanakan main dalam film arahan Sjumandjaja, Wali-sanga, yang konon berdasarkan wangsit Sunan Kalijaga dan batal dibuat.
Didampingi Kusdyantinah, yang bela-kangan dikenal sebagai penerjemah karya-karya Kahlil Gibran, Subandrio seperti mendapat semangat baru. Ia mencoba menulis buku. Satu di antaranya, Kesaksianku tentang G30S, batal terbit dengan alasan tak jelas. Dalam naskah ini Mas Ban mengajukan tesis bahwa Letnan Kolonel Untung, operator Gerakan 30 September, sesungguhnya bergerak di bawah arahan Jenderal Soeharto.
Subandrio sendiri akhirnya terbebas dari vonis mati. Hukumannya diubah menjadi seumur hidup. Pada 14 Desember 1981, setelah lebih dari 29 tahun mendekam di penjara, permohonan grasi yang diajukannya?bersama bekas Menteri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani?dikabulkan Presiden Soeharto. Tak lama kemudian terbit bukunya, Perjuangan Irian Barat.
Di masa lampau, Subandrio selalu ber-ada di tempat yang tepat pada saat yang tepat. Ia memulai karier politiknya sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir, dan menjadi Sekjen Kementerian Penerangan dalam Kabinet Sjahrir yang pertama, 1946-1947. Ia lalu dipindahkan ke urusan diplomatik, hingga menjadi duta besar Indonesia di Inggris, belakangan Uni Soviet.
Ketika PSI mengambil jarak dari Bung Karno, Mas Ban pindah ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada 1957 ia diangkat menjadi Menteri Luar Negeri. Dalam jabatan ini, Subandrio sebetulnya dipermudah oleh situasi politik yang menguntungkan. Ikon politik luar negeri Indonesia yang sesungguhnya pada waktu itu tiada lain daripada Sukarno sendiri, mulai dari ide Konferensi Asia-Afrika, Konferensi Tingkat Tinggi Negara Nonblok, sampai apa yang dikenal dengan The New Emerging Forces.
Subandrio terlibat dalam berbagai perundingan, apalagi setelah belakangan ia mendapat "pendamping" yang cerdas, Nyoto, menteri negara yang juga Wakil Ketua II CC PKI. Pada Oktober 1964 ia memimpin "Safari Berdikari" ke negeri-negeri Afrika, setahun kemudian, bersama Nyoto, menghadiri perundingan dengan Cina di Bandar Udara Mega Putih, Guangzhou. Ketika peristiwa G30S meletus, bersama Nyoto pula Mas Ban sedang berada di Sumatera Utara.
Suasana pemakamannya berlangsung sepi. Tapi di antara pelayat tampak Farid Fakih Prawiranegara, putra tokoh PRRI Syafrudin Prawiranegara, yang berseberangan politik dengan Bung Karno?dan otomatis dengan Mas Ban. "Meski berseberangan dengan ayah saya secara ideologis, Pak Subandrio memiliki hubungan khusus dengan kami," kata Farid kepada Ali Anwar dari TEMPO. Farid bercerita, ketika ayahnya ditahan, Mas Ban sering memberikan bantuan, termasuk mengembalikan rumah keluarga mereka yang sempat diambil pemerintah.
Sejarah modern kita kehilangan lagi seorang narasumber yang sesungguhnya banyak memendam riwayat. Mas Ban seperti berlalu begitu saja. Tetapi, paling tidak, ia telah mencapai keinginan terakhir yang pernah diucapkannya ketika di penjara, "Saya ingin meninggal di rumah sendiri, sebagai orang bebas."
Amarzan Loebis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo