Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Infak Ketinggalan Kereta

Ratusan pelanggaran mewarnai kampanye pemilihan presiden. Termasuk di dalamnya: praktek politik uang.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asmina masih saja termangu, padahal air yang dijerangnya di dandang sudah mulai mendidih. Entah mengapa, nenek 60-an tahun itu bahkan belum lagi membuka kantong plastik berisi beras yang didekapnya.

Setelah beberapa lama, alih-alih mencuci beras dan menanaknya, warga Dusun Langsepan, Desa Kranjingan, Jember, Jawa Timur, itu malah memadamkan api di tungku, kemudian buru-buru berlari-lari kecil keluar rumah menjinjing kantong beras tersebut.

Ada apa, Mbah? "Takut salah pilih, jadi saya kembalikan saja beras ini," kata Asmina sambil menyerahkan paket berisi lima kilogram beras itu kepada Kiai Zahri Sholihin, ulama Desa Kranjingan, Jumat pekan lalu. Masih terngiang di benak perempuan renta berwajah lugu itu saat menerima beras sehari sebelumnya. "Jangan lupa, ya, coblos nomor 2 (Mega-Hasyim?Red.). Kalau tidak, beras ini jadi haram hukumnya," kata satu dari tiga orang yang membagikan paket lima kilogram beras itu kepada ratusan warga Langsepan.

Alhasil, Jumat siang itu mau tak mau Kiai Zuhri harus menerima puluhan kantong plastik beras dan menyerahkannya ke Panitia Pengawas Pemilu Jember. Tidak semua kantong berisi lengkap. Beberapa di antaranya malah hanya tersisa satu-dua genggam beras. "Kadung terpakai, sih. Sisanya terpaksa saya kembalikan karena nanti takut salah nyoblos," katanya.

Sekretaris tim Mega-Hasyim Kabupaten Jember, Yusuf Iskandar, menyangkal telah membagikan beras politik itu. "Kami tidak pernah bagi-bagi beras politik. Untuk kegiatan internal tim saja kami masih kekurangan dana," katanya. Ia bahkan menuding praktek itu dilakukan lawan politik Mega-Hasyim.

Beberapa kantong plastik beras dari Langsepan yang kini menumpuk di Panitia Pengawas Pemilu Jember itu jadi saksi betapa pelanggaran selama masa kampanye kemarin masih marak. Selama masa kampanye yang berlangsung empat putaran itu, Panitia Pengawas Pemilu Pusat mencatat: pasangan Megawati-Hasyim merajai pelanggaran dengan 95 kasus, 18 di antaranya tergolong pelanggaran pidana. Di belakangnya, berderet Wiranto-Salahuddin (74 kasus), Amien-Siswono (72 kasus), Yudhoyono-Kalla (53 kasus), dan Hamzah-Agum (36 kasus).

Menurut anggota Panitia Pengawas Pemilu Pusat, Didik Supriyanto, yang dikategorikan sebagai pelanggaran pidana antara lain melakukan politik uang, rapat umum di luar jadwal, serta penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan fasilitas pendidikan sebagai lokasi kampanye. Adapun pencabutan dan perobekan bendera, pembangunan posko, penggunaan seragam militer untuk satuan tugas partai, serta kampanye tanpa memberi tahu polisi tergolong pelanggaran administratif. "Dari 78 pelanggaran pidana, 14 di antaranya sudah disidik polisi," kata Didik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan semua kandidat tak bebas dari "politik iming-iming" dalam upaya menjaring pemilih. "Kami melihat tak ada pasangan yang bersih dari dugaan money politics," ujar Wakil Koordinator ICW, Lucky Djani.

Di tempat paling atas adalah pasangan Wiranto-Salahuddin dengan 17 kasus. Di bawahnya ada Mega-Hasyim (13 kasus), SBY-Kalla (10 kasus), Amien-Siswono (9 kasus), dan terakhir Hamzah-Agum (1 kasus).

ICW bersama Transparency International sejak sebelum kampanye memang telah menyebar 650 pemantau yang disebar di 28 daerah setingkat kabupaten/kota. Menurut ICW, umumnya permainan uang yang dilakukan tim sukses para kandidat adalah dengan membayar banyak orang agar mau datang ke lokasi kampanye. "Yang kami laporkan adalah yang kami lihat langsung. Sebetulnya, jumlah pelanggaran lebih besar lagi karena banyak tim kandidat presiden yang memakai perantara untuk membagikan uang," kata Lucky.

Meski secara kuantitatif Wiranto yang paling banyak melanggar, secara kualitatif posisi teratas dipegang pasangan SBY-Kalla. Menurut ICW, dalam kampanye, mereka setidaknya sudah menggelontorkan Rp 496 juta untuk praktek semacam itu.

Misalnya, saat berkunjung ke Perguruan Islam Al-Chairat di Palu, Sulawesi Tengah, 3 Juni lalu, pasangan ini menyumbang kendaraan sejenis bus senilai Rp 300 juta dan 1.000 sak semen untuk pembangunan lembaga pendidikan tersebut. Tiga hari kemudian, di Pesantren Banyuantar, Pamekasan, Madura, tim kampanye pasangan itu juga menyumbang dana tak kurang dari Rp 100 juta.

Jusuf Kalla sendiri tidak membantah soal bantuan tersebut. Namun, ia menolak tudingan telah melakukan politik uang. "Itu infak. Masa, enggak boleh," katanya. "Sebagai orang Islam, memberi sedekah dan infak adalah kewajiban. Masa, kampanye lantas membuat orang tidak bisa berinfak," ujarnya kepada Saiful Amin dari TEMPO. Kilah ini ditampik Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Ray Rangkuti. "Yang benar saja. Itu, sih, infak ketinggalan kereta," katanya.

Sejauh ini, selain dipublikasikan, laporan ICW juga dikirim ke Panitia Pengawas Pemilu. Lembaga inilah yang nantinya akan memproses, termasuk dengan melibatkan polisi jika mengandung unsur pidana. "Politik uang adalah kasus pidana," kata Lucky Djani.

Darmawan Sepriyossa, Widiarsi Agustina, dan Mahbub Djunaidy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus