Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sindrom Bom Juli

Polisi kembali menangkapi orang-orang yang diduga teroris. Yang dihindari: bom di hari ulang tahun.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA jalan dan gang menuju rumah Sudadi diblokir oleh beberapa mobil. Rabu siang lalu, di Kampung Kenteng, Ngadirejo, Kertosura, Sukoharjo, sekitar 20 orang polisi berpakaian sipil dengan pistol terkokang merangsek masuk ke dalam rumah kontrakan yang sudah diincar sebelumnya. Menurut seorang saksi mata, ketika pintu didobrak, terdengar suara gedebak-gedebuk, suara orang beradu jotos. Keributan itu hanya beberapa menit. Aparat yang anggota Detasemen 88 atau Tim Khusus Anti-Teror dan Bom Mabes Polri, Jakarta, cepat menguasai keadaan. Sebentar kemudian, "Saya lihat ada enam orang lelaki dengan tangan terborgol dan muka ditutup. Saya tidak tahu apakah mereka tamu atau penghuni kontrakan," ujar Kirman, ketua RT setempat, yang siang itu diminta menjadi saksi atas temuan sebuah pistol revolver, samurai, dan dokumen di rumah kontrakan tersebut. Penangkapan itu baru jelas bagi warga sekitar sehari kemudian. Rasa penasaran Kirman terjawab. Surat penangkapan datang ke rumahnya di Kampung Kenteng. Surat itu berkop Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, bertanggal 29 Juni 2004. Dalam surat yang diteken oleh Kepala Sub-Detasemen Tindak, Kombes (Pol.) Wahyu Indra, itu disebutkan bahwa yang ditangkap adalah mereka yang terlibat kasus gawat: diduga pelaku pengeboman di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, 24 April lalu. Surat penangkapan itu sendiri tampak janggal. Sebuah surat dialamatkan kepada Sudadi, 37 tahun, pemilik rumah kontrakan. Sudadi ini sehari-hari penjual minyak dan guru mengaji di masjid kampung. Dia ikut digiring polisi. Yang janggal, satu surat lagi ditujukan kepada Yunus, namun tidak ada penduduk yang mengaku kenal siapa itu Yunus. Nyonya Mar'ah, mertua Sudadi, mengaku tidak kenal dengan orang yang ditangkap di rumah kontrakan anaknya. Ia mengaku hanya mengenal satu nama yang mengontrak, yaitu Bejo. Berbeda dengan keterangan dalam surat penangkapan, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar di Semarang, Kamis lalu, menyebut penangkapan di Sukoharjo terkait dengan bom Bali dan bom Hotel JW Marriott. "Dari penelusuran kami, di antara orang-orang yang ditangkap di Sukoharjo terkait dengan persiapan peledakan di Bali dan Marriott," kata Da'i. Peran mereka sedang diselidiki lebih lanjut. Sumber TEMPO di Mabes Polri menyebut ada tiga pelaku penting dalam peledakan bom di Marriott, 5 Agustus 2003 lalu, yang ditangkap di Sukoharjo. Namun, sumber ini enggan memberikan detail dan hanya menyebut inisial: A, M, dan Q. Sedangkan Direktur VI Anti-Teror Mabes Polri, Brigjen Pranowo Dahlan, mengatakan, "Sampai sekarang para tersangka masih bungkam." Ada indikasi, menurut juru bicara polisi, bahwa tersangka di Sukoharjo ini berkaitan dengan Dr. Azahari dan Noordin M. Top, dua buron yang diduga pelaku peledakan Marriott. Kata juru bicara Polri, Brigadir Jenderal Paiman, "Ada satu warga asing berinisial US. Mudah-mudahan kami bisa melacak ke arah mereka (Azahari dan Top?Red.)." Sayang, Paiman menolak menyebut kewarganegaraan tersangka baru itu. Rupanya, perburuan pelaku pengeboman belum juga usai. Sebelum menjaring kelompok Sukoharjo, Tim Mabes Polri dan Polda Nusa Tenggara Barat telah menangkap Dahlan alias Leo, guru biologi Madrasah Aliyah Negeri 2 Bima, Nusa Tenggara Barat. Dahlan, yang juga ustad di Pondok Pesantren Sonco Lela, ditangkap di rumahnya di Kampung Lewi Sape, Kelurahan Sara E, Kecamatan Rasana E Barat, Bima. Sejauh ini belum jelas apakah benar yang ditangkap ini benar-benar terlibat atau hanya "korban" sindrom Juli. Sindrom ini banyak menjangkiti para petinggi, akibat tahun-tahun sebelumnya banyak bom meledak di sekitar bulan Juli?padahal tanggal 1 Juli adalah hari kelahiran polisi. "Kami tak ingin kaget lagi, ada ledakan lagi di ulang tahun kami," ujar seorang perwira Mabes Polri yang terus memantau kelompok teroris. Pasti sang perwira mencatat betul, ledakan besar di Kedutaan Besar Filipina di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, terjadi pada 1 Juli tahun 2000. Bom ini menewaskan tiga staf kedutaan dan melukai Duta Besar Leonides Caday. Berselang tiga hari, meledaklah bom di Gedung Bundar Kejaksaan Agung di kawasan Blok M, Jakarta. Setahun kemudian, pada 2001, giliran Gereja Santa Ana dan Atrium Senen dihajar bom oleh kelompok Jamaah Islamiyah. Seorang tersangka peledakan, Taufik Abdul Halim, adalah warga Malaysia. Lalu, 1 Juli 2002, giliran Mal Graha Cijantung di dekat Markas Komando Pasukan Khusus diledakkan kelompok Ramli dari Gerakan Aceh Merdeka. Terakhir adalah ledakan paling dahsyat pada 5 Agustus 2003 di Hotel JW Marriott, yang menewaskan 13 orang dan mencederai 73 orang. Polisi yakin Azahari dan Top adalah pelakunya. Keduanya belum dijaring. Jadi, selama itu, kejutan-kejutan tak menyenangkan masih bisa terjadi. Edy Budiyarso (Jakarta), Imron Rosyid (Sukoharjo), Sujatmiko (Mataram, NTB)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus