Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tentang Manusia, Benda, dan Konektivitas

Pameran seni rupa Biennale Venesia ke-57 sedang bergulir. Untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia, melalui Badan Ekonomi Kreatif, secara resmi hadir di sana.

17 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di antara semua paviliun, Indonesia menempati ruang yang tergolong mungil. Di ruang berukuran 70 meter persegi di aula Arsenale, Venesia, Italia, itu, perupa Tintin Wulia memamerkan karyanya yang menautkan seni, kamera, akses Internet, dan layar video secara digital. Ia berkisah tentang kenyataan dan masa depan kelangsungan hidup manusia yang berinteraksi.

Di ruangan kecil itu, tersaji tiga proyek kembar Tintin, yaitu Not Alone, Under the Sun, dan A Thousand and One Martian Homes. Disebut kembar karena Paviliun Indonesia ini identik dengan ruang pamer di lantai 6 Senayan City, Jakarta. Bentuk dan ukurannya sama persis. Dibuka untuk umum secara bersamaan pada 13 Mei lalu. Walau berada di lokasi berbeda dan waktu yang tidak sama, pengunjung dapat berinteraksi secara real time melalui proyeksi video yang terhubung dengan Internet.

Christine, salah satu pengunjung Paviliun Indonesia di Arsenale, tanpa menyadari tergiring menapaki tangga merah menuju ruang tersembunyi di lantai atas. Ia dan teman-temannya bergerak sambil memandangi dinding berlubang dalam berbagai ukuran, memancarkan video gerakan mata yang bergantian secara acak. Begitu tiba di puncak tangga dan mendapati pintu terkunci, mereka bergiliran melihat lubang kecil. Jika mata didekatkan, yang beruntung akan menatap mata orang yang sama-sama mengintip melalui lubang kecil itu.

"Mereka di Indonesia, saya di sini. Sama-sama melihat ini," ucap Christine, pelancong asal Jerman. Ia pun memahami bahwa bayangan orang yang dilihatnya itu nyata, langsung dipancarkan oleh kamera video dari ruang pamer di Senayan City. "Ini memang membuat orang menjadi penasaran," kata Stefano Romano, fotografer asal Roma, Italia. Tak sedikit pengunjung yang mengernyitkan jidat karena kesulitan menerka obyek instalasi itu.

Menurut Tintin, karyanya ini terinspirasi oleh trilogi fiksi ilmiah Red Mars, Green Mars, dan Blue Mars (1993-1996) karya Kin Stanley Robinson. Tangga warna merah di Venesia dan tangga warna biru di Jakarta merujuk pada bendera Mars yang dirancang ilmuwan NASA, Pascal Lee. "Orang bebas memberi interpretasi. Saya tidak memaksa mereka harus begini melihat karya saya. Ini cerita tentang manusia dan benda, yang diperluas dengan memadukan teknologi konektivitas," kata Tintin tentang karya-karyanya itu di Venesia, 22 Juni lalu.

Konektivitas dalam Not Alone digambarkan Tintin melalui modul heksagonal akrilik transparan yang disusun dalam bentuk kubah. Perempuan kelahiran Bali pada 1972 itu menyusupkan sensor dan kabel elektronik guna menghidupkan pendaran kawat listrik dan 228 lampu LED yang menggambarkan rasi Sagitarius, sebagai asal-usul misteri sinyal radio pita saluran sempit (narrowband). Sinyal itu terdeteksi oleh teleskop Big Ear SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence) selama 72 detik pada 15 Agustus 1977, yang diasumsikan dikirim oleh sumber di luar bumi. Sejak saat itu, menurut lulusan arsitektur dan musik ini, si misterius tak pernah lagi terdeteksi. Namun, sampai sekarang, peristiwa 40 tahun silam tersebut masih dianggap sebagai bukti terkuat adanya kehidupan lain di luar angkasa dengan kecerdasan serupa manusia.

Melalui prinsip konektivitas inilah Tintin mengajak penonton pameran berinteraksi dengan mesin instalasi seninya yang bekerja secara simultan. Mesin itu mentransmisikan gerakan manusia yang mendekat dan menjauh ke obyek kubah. Sensor akan menghidupkan lampu yang membentuk tiga kata: We, Are, Not Alone, dengan ejaan terbalik. Pancaran kubah akrilik dan ratusan lampu LED membentuk bayangan indah di langit-langit Paviliun Indonesia, baik di Arsenale maupun di lantai 6 Senayan City. Pada saat bersamaan, kamera pengawas di atas mesin merekam dan saling mengirim obyek video secara langsung. Rekaman itu kemudian dipantulkan membentuk bayangan sama. Bayangan manusia di Paviliun Indonesia di Arsenale adalah pancaran orang-orang di Senayan City. Begitu pula sebaliknya.

n n n

TINTIN selama ini dikenal sebagai seniman yang lebih sering ikut pameran di luar negeri. Peraih gelar Phd bidang politik dan seni RMIT University, Melbourne, Australia, ini mewakili Indonesia di Biennale Venesia ke-57. Menggandeng Agung Hujatnikajennong selaku kurator, inilah pertama kalinya secara resmi pemerintah Indonesia, lewat Badan Ekonomi Kreatif, hadir dalam pameran seni kontemporer tertua dan terbesar di dunia itu.

Selama enam bulan, mulai 13 Mei hingga 26 November 2017, tak kurang dari 120 seniman top dari 51 negara lalu-lalang di Venesia untuk berpartisipasi dalam pameran itu. Pasar seni yang dikuratori Christine Macel ini menempati dua kompleks paviliun bersejarah, yaitu Arsenale, yang dulunya pusat pembuatan kapal dan persenjataan; serta Giardini, taman publik peninggalan Napoleon. Paviliun Indonesia di Arsenale sebaris dengan Singapura, Filipina, Malta, Kroasia, Georgia, dan Italia. Bedanya, mereka menempati paviliun lebih luas, rata-rata tiga sampai lima kali lebih lebar dibanding ruang yang dimiliki Indonesia.

Paviliun Filipina menampilkan seniman kontroversial Lani Maestro dan Manuel Ocampo. Kedua perupa ini dikenal suka berkelana ketimbang tinggal di dalam negeri. Maestro bermukim di Kanada dan Prancis, sedangkan Ocampo mengaku lama menjadi penduduk "ilegal" di Amerika Serikat, yang kemudian pindah ke Spanyol. Ciri lukisan Ocampo adalah memvisualkan perilaku brutal dan dramatis. Agaknya, inilah justru yang menarik mata pengunjung.

Seperti lukisan Ocampo berjudul Cooks in The Kitchen, mengerikan dan sadis karena menggambarkan tiga orang disiksa. Satu orang dicincang dan isi perutnya terburai. Seorang disodomi dalam posisi kaki dan tangannya terikat lakban. Satu orang lagi dibakar dalam posisi tengkurap. Di bagian atas kanvas lukisan itu terdapat tulisan "Immigrant Version". Di depan lukisan, Ocampo menempatkan bangku-bangku seolah-olah disediakan untuk merenungkan kenapa kengerian itu mesti terjadi.

Paviliun Italia kelihatannya menempati ruang paling luas dibanding yang lain. Dikuratori Cecilia Alemani, paviliun tuan rumah ini menyajikan karya Roberto Cuoghi, Giorgio Andreotta Calo, dan Adelita Husni-Bey yang diberi titel The Magical World. Karya Roberto Cuoghi berjudul Imitasi Kristus 2017 lumayan menyedot perhatian. Dalam ruangan yang dibalut kain hitam dan cahaya lampu temaram, Cuoghi menempatkan puluhan mayat di lorong plastik bening bergelembung.

Beragam bentuk kematian manusia disuguhkan. Selain jasad telentang dengan tangan menyerupai salib, ada kalanya manusia mati dengan kondisi tidak utuh. Organ tubuh terpisah. Ada pula mayat manusia yang tidak lagi berbentuk lantaran tubuhnya lenyap menjadi abu karena dibakar dengan mesin kremasi. Banyak pengunjung merinding saat menelusuri lorong plastik. Mereka mengira mayat-mayat itu sungguhan, padahal tiruan dari bahan tanah dan cat.

Kompleks Paviliun Giardini terasa lebih adem ketimbang Arsenale yang minim pepohonan. Menyusuri taman ini, kita akan mendapatkan suasana teduh oleh rindangnya kebun. Di sini paviliun yang satu dengan yang lain terpisah. Paviliun Amerika Serikat menampilkan seniman kulit hitam Mark Bradford, yang memamerkan karyanya berjudul Tomorrow is Another Day. Pria kelahiran Los Angeles pada 1961 ini dikenal sebagai pelukis abstrak. Di Biennale, ia membawa obyek instalasi Bumi Hangus, yang pernah dipamerkan di Museum Hammer pada 2015. Ukurannya jumbo, hampir memenuhi ruangan. Saking besarnya replika bumi yang diilustrasikan rusak berat ini, pengunjung harus berjalan miring atau merunduk agar tidak menyentuh benda tersebut.

Seniman Lee Wan dan Cody Choi tak kalah unik dibanding Bradford. Perupa yang menempati Paviliun Korea ini dikenal dengan karya-karyanya yang nyeleneh. Lee Wan, kelahiran Seoul dan lama tinggal di Amerika Serikat, menyuguhkan karyanya berjudul Proper Time, sebidang kamar yang dipenuhi jam dinding dan di tengahnya terdapat patung duduk dengan kepala tanpa wajah (kosong). Jam yang kecepatan putaran jarumnya berbeda-beda tampaknya dimaksudkan untuk bebas ditafsirkan apa saja. Di dalam setiap jam, tertera nama negara dan nama seseorang. Dapat diartikan bahwa perputaran jarum jam yang cepat mengidentikkan negara tersebut maju karena kesibukannya. Sebaliknya, negara yang terbelakang digambarkan dengan jarum jam yang bergerak lambat. Adapun patung tanpa wajah mungkin dimaksudkan siapa pun boleh merenung di situ.

Seniman Cody Choi, dengan karyanya berjudul The Thinker, menampilkan obyek jamban. Pengunjung boleh duduk pada kotak berbahan kayu, yang di atasnya berdiri patung orang jongkok. Hanya, karena lubang jamban berada di samping, sangat susah untuk diduduki, apalagi dipakai merenung. Di banyak paviliun, tidak termasuk Indonesia, selalu ada orang memegang hand counter. Ia serius menghitung traffic pengunjung setiap harinya.

Elik Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus