Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sudah berlaku lajak dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017. Aturan untuk membubarkan organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ini membahayakan demokrasi karena yang bisa menjadi korban bukan hanya organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Penerbitan Perpu juga tidak perlu karena pembubaran organisasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dalih pemerintah bahwa Undang-Undang Ormas belum mengatur secara komprehensif mekanisme pemberian sanksi yang efektif, sehingga terjadi kekosongan hukum, sangat lemah. Juga tidak ada situasi mendesak untuk menjadi alasan menerbitkan peraturan itu. Dengan Perpu Ormas, pemerintah dapat tergelincir bertindak sewenang-wenang membubarkan ormas.
Undang-Undang Ormas telah mengatur dengan gamblang tahap-tahap pembubaran organisasi kemasyarakatan. Di situ disebutkan pemerintah harus bertindak persuasif sebelum membubarkan ormas. Langkah itu dilakukan dari memberi peringatan tertulis hingga tiga kali, dengan setiap tahap peringatan berlaku paling lama 30 hari; menghentikan sementara kegiatan ormas; sampai mencabut surat keterangan terdaftar atau status badan hukumnya melalui putusan pengadilan.
Semua tahap itulah yang dirombak dalam perpu yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017. Di situ, peringatan tertulis hanya dilayangkan satu kali. Jika dalam tujuh hari kerja sejak tanggal peringatan ormas tidak mengindahkannya, pemerintah akan membekukan kegiatan ormas. Bila pembekuan kegiatan tak pula digubris, pemerintah akan mencabut surat keterangan terdaftar atau status badan hukumnya zonder proses pengadilan. Langkah ini membuktikan pemerintah lebih memilih jalan pintas lewat perpu untuk membubarkan ormas ketimbang menempuh jalan panjang melalui pengadilan. Cara ini sangat berbahaya bagi demokrasi.
Sanksi tak cuma untuk organisasi yang melanggar. Perpu ini menyisipkan bab baru tentang ketentuan pidana, yang tak ada dalam Undang-Undang Ormas. Bila ormas melakukan pelanggaran, siapa pun pengurus atau anggota ormas tersebut dapat dipidana. Betapa absurdnya. Dengan ketentuan ini, negara bisa menghukum orang bukan karena tindakan pidana yang dia lakukan, melainkan karena status keanggotaannya di dalam ormas.
Penerbitan Perpu Ormas nyata-nyata mengancam demokrasi karena bisa memberangus hak warga negara atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak ini dijamin konstitusi, seperti tertera dalam Pasal 28 UUD 1945.
Semua ormas pun bisa terancam karena Perpu akan berlaku umum, tak hanya untuk HTI atau organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi. Tak ada jaminan kelak perpu ini tidak digunakan untuk menekan ormas yang kritis terhadap pemerintah. Bayangkan, kelak organisasi seperti Indonesia Corruption Watch yang aktif menyoroti korupsi bisa saja diberangus dan pengurusnya dipidana.
Pemerintah harus menjamin kebebasan berekspresi warganya. Hukumlah organisasi yang membandel dengan menindak pengurusnya, bukan membelenggu organisasinya. Lagi pula menghukum ormas karena pahamnya dianggap berbahaya tidak akan menyelesaikan persoalan. Mereka dapat mendirikan organisasi baru dengan nama lain. Paham dan semangat mereka belum tentu pupus walau organisasinya musnah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo