Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo semestinya tidak membawa sanak keluarga dalam lawatan kenegaraan ke Turki dan Jerman. Apa pun dalihnya, perilaku itu sama sekali tidak mencerminkan kesederhanaan seorang pemimpin, terutama di tengah ketidakpastian situasi perekonomian dan ancaman melebarnya defisit anggaran.
Kalaupun biaya akomodasi keluarga Jokowi tidak ditanggung negara, langkah itu tetap sulit dibenarkan. Biaya akomodasi untuk anggota keluarga, termasuk menantu dan cucu, dalam kunjungan kerja selama lima hari di Eropa pada 5-9 Juli lalu jelas tidak murah. Hal ini sungguh bertolak belakang dengan anjuran pemerintah agar masyarakat mengencangkan ikat pinggang.
Dari sisi aturan, memang tidak ada larangan tegas mengenai hal ini. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden--selama ini kerap dijadikan dasar pembenaran--tidak menuliskan secara jelas boleh atau tidak kepala negara mengajak serta keluarga dalam kunjungan resmi kenegaraan.
Adapun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.05/2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Perjalanan Dinas Luar Negeri tidak bisa dijadikan rujukan. Berdasarkan ketentuan umum dan ruang lingkup perjalanan dinas dalam peraturan ini, presiden dan wakil presiden tidak termasuk pejabat negara yang tunduk pada aturan tersebut. Meski tidak ada larangan tegas, Presiden Jokowi harus peka bahwa membawa serta keluarga dalam lawatan kenegaraan akan memantik pro-kontra dan menjadi sorotan khalayak.
Jokowi tidak perlu ikut-ikutan meniru apa yang dilakukan presiden sebelumnya. Sejak era Sukarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, mengajak serta anggota keluarga dalam kunjungan kenegaraan ke luar negeri seolah-olah telah menjadi hal yang lumrah. Salah satu alasannya: keluarga melekat pada presiden dan wakil presiden. Kalaupun dibenarkan aturan protokoler, mengajak semua anggota keluarga dalam kunjungan resmi kenegaraan memakai pesawat Kepresidenan Indonesia-1 kurang elok. Fasilitas kenegaraan semestinya tidak dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga.
Pihak Istana memang menjelaskan bahwa seluruh biaya perjalanan dan akomodasi memakai uang pribadi Presiden. Biaya penginapan dan makanan mungkin bisa menggunakan duit pribadi. Tapi sulit membayangkan anggota keluarga benar-benar mengganti biaya perjalanan pesawat. Apakah Istana memiliki pos untuk menampung pendapatan sampingan ini? Akan lebih afdal seandainya anggota keluarga menggunakan pesawat penerbangan komersial, bukan pesawat Kepresidenan Indonesia-1.
Istana tak perlu ragu menyampaikan kepada publik bila keikutsertaan anggota keluarga ke Eropa atas undangan penyelenggara di sana. Publik juga berhak tahu apakah kegiatan keluarga itu berkaitan langsung dengan kunjungan resmi Presiden. Biro Pers Istana sekaligus bisa menjelaskan peraturan mana yang membolehkan anggota keluarga turut serta, termasuk sumber pendanaan, dan kegiatan keluarga Presiden selama mengikuti kunjungan kerja.
Hanya, pihak Istana tidak bisa berlindung dari aturan umum yang bersifat abu-abu. Presiden Joko Widodo sebaiknya malah membuat aturan yang lebih jelas mengenai fasilitas bagi presiden dan keluarganya. Sebagai kepala negara, Jokowi juga perlu memberi contoh transparansi pengelolaan anggaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo