Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK tahu apakah Slamet akhirnya terbunuh. Dia mengeluarkan pistol. Di panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, asap bak kabut tebal muncul. Di baliknya, samar-samar seseorang berbadan tegap menghunus pisau, siap menikam Slamet. Itulah ending yang disajikan Kelompok Sandiwara Mantaka saat membawakan terjemahan naskah Eugène Ionesco: The Killer. Naskah Ionesco, seperti Kursi-kursi, Biduanita Botak, Badak-badak, dan Pelajaran, cukup dikenal di sini. Namun The Killer, naskah yang dibuat Ionesco pada 1958, belum pernah dimainkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam naskah ini, Ionesco bercerita tentang sebuah kota aneh. Kota kontemporer yang bertaburan cahaya tapi satu per satu warganya terbunuh secara misterius. Di kolam air mancur kota tiap hari mengambang mayat-mayat. Kota itu dari kota utopia berubah menjadi distopia. Pada awal pertunjukan, Kelompok Sandiwara Mantaka menyajikan panggung kosong dengan cahaya dari atas yang bergantian menyorot lantai dengan tempo cepat. Slamet terlibat dalam situasi maut itu tatkala Desi, warga kota lain yang ditaksirnya, ikut menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ganjil didapati Slamet saat ia bertemu dengan sahabat lamanya, Edward. Di koper Edward terdapat foto-foto seorang kolonel (naskah The Killer sesungguhnya bermula dari cerita pendek Ionesco pada 1955 berjudul The Colonel’s Photograph), berbagai mainan anak, dan catatan harian pembunuhan. “Ini buku esai kejahatan,” kata Slamet. Slamet agak mencurigai Edward, meski Edward menyangkal. Yang aneh, tatkala berada di sebuah taman—tempat kampanye politik bernada fasis dari seorang politikus bernama Nyonya Peep berlangsung—Slamet menemukan koper serupa dibawa Nyonya Peep dan para pengunjung taman lain, termasuk seorang pemabuk.
Tata suara pertunjukan oleh Kelompok Sandiwara Mantaka dibuat surround. Bebunyian soundscape yang tak klise. Set-set jembatan kota dibuat minimalis tapi fungsional. Permainan Kelompok Sandiwara Mantaka dianggap anggota dewan juri, yakni Prof Dr Yudhiaryani, Hanindawan, Malhamang Zamzam, Adinda Luthvianti, dan Jose Rizal Manua, sebagai satu dari tiga penampilan terbaik final kompetisi Festival Teater Jakarta yang melibatkan 15 kelompok. Dua kelompok terbaik lain adalah Teater Salindia, yang membawakan terjemahan naskah Jean Genet, Babu-Babu (The Maid), dan Teater Anala, yang memanggungkan naskah sendiri, Spartan Phoenix.
Pentas bertajuk Spartan Phoenix oleh Kelompok Teater Anala dalam Festival Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 27 Oktober 2023. Dok. FTJ 2023
Mereka semua kelompok yang dikomandoi sutradara Jakarta di bawah usia 40 tahun. Dua tahun ini Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta membuat kebijakan baru: sutradara yang berlaga di Festival Teater Jakarta dibatasi di bawah umur 40 tahun agar terjadi regenerasi. Kebijakan ini cukup membuahkan hasil. “Muncul banyak kelompok baru yang kuat,” ucap Adinda Luthvianti. Ia, misalnya, menilai Mantaka mampu memahami absurditas karya Ionesco. “Satire, humor gelap, absurditas visual, hal-hal yang tak masuk akal yang menjadi gaya Ionesco bisa dibungkus sutradara,” ujarnya.
Akan halnya Teater Anala menunjukkan kemajuan luar biasa. Baik Mantaka maupun Anala tahun lalu masuk final Festival Teater Jakarta, tapi gagal memenangi kategori grup terbaik. Mantaka waktu itu juga membawakan karya Ionesco, Badak-badak. Sedangkan Anala memainkan naskah sendiri, Wayang Garok. Saya ingat karya Teater Anala tahun lalu yang dipentaskan di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta sangat eksperimental. Berias badut, para aktor menggunakan kotak-kotak beroda yang bisa disorong ke sana-kemari. Riuh seperti karnaval. Kini Anala menampilkan naskah matang buatan sendiri yang temanya jarang diangkat: jalannya sidang di pengadilan Jakarta Utara masalah tewasnya seekor anjing.
Tertuduh Gugiatno dalam pengadilan itu adalah seorang marbut masjid. Ia tuli dan gagu sejak lahir. Oleh Juniper Phoenix, pemilik anjing, Gugiatno dilaporkan membunuh anjing kesayangannya, Spartan Phoenix, yang sudah dianggap bagian keluarga bahkan “pasangan”-nya. Gugiatno menolak tuduhan itu. Sebagai pengemudi ojek online yang mengantarkan makanan anjing, dia panik ketika melihat anjing besar tak diikat. Tatkala anjing itu menyerangnya, ia mempertahankan diri dengan pisau dan tanpa sengaja menewaskan sang anjing. Sepanjang pertunjukan, lwan M. Ilmanto yang berperan sebagai Gugiatno mampu menampilkan dirinya sebagai orang gagu secara konsisten. Tak mengherankan bila dia ditahbiskan sebagai aktor utama terbaik.
Secara keseluruhan jalannya persidangan yang panas antara hakim, penuntut, pengacara, dan saksi-saksi ahli bisa menampilkan dilema yang membuat penonton turut berpikir mana pihak yang benar dan ke mana sutradara berpihak. Teater Anala menggunakan prosenium dan lantai bawah sebagai ruang persidangan. Ruang di antara jaksa penuntut dan pengacara di lantai bawah digunakan untuk adegan-adegan flashback peristiwa yang dialami Gugiatno. “Teater ini bisa menciptakan peristiwa di ruang tengah dengan apik dan imajinatif,” kata salah satu juri, Jose Rizal Manua.
Sementara itu, tiga aktris perempuan Teater Salindia, yakni Nadine Nadilla, Desi Vicianna, dan Sari Chikata, mampu memainkan naskah Babu-Babu karya Jean Genet dengan pemeranan realis yang memukau. Tak ada tempo yang longgar, permainan sangat ketat. Panggung disulap menjadi kamar tidur yang mewah lengkap dengan gantungan baju-baju mahal, meja rias yang elok, dan tempat tidur yang mahal. Permainan mereka hidup. Akting ketiganya menyatu. Blocking dan mobilisasi pemeran ke segala arah mampu menjadikan semua perabot bukan sekadar setting mati.
Teater Salindia dalam pentas berjudul Babu Babu di Festival Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 28 Oktober 2023. Dok. FTJ 2023
Naskah Jean Genet ini berbicara tentang relasi kuasa. Kamsah (Nadine Nadilla) dan Salmah (Desi Vicianna) adalah kakak-adik pembantu yang melakukan permainan gila tatkala majikan mereka, sang Nyonya (Sari Chikata), pergi. Mereka berganti-gantian berakting, berpura-pura menjadi nyonya yang intimidatif. Mereka mencoba gaun milik sang majikan, memakai lipstiknya, menggunakan perhiasannya, bergulingan di tempat tidur. “Kutang! Lagi-lagi kutang jangan dijembreng sembarangan,” ucap Kamsah berpura-pura menjadi sang Nyonya memarahi Salmah.
Silih berganti, keluar-masuk mereka bermain sandiwara menjadi Nyonya. Di situ muncul kondisi psikologis ketertekanan mereka. Dalam “sandiwara” itu, mereka bisa melawan, mencekik majikannya. Teater Salindia adalah kelompok baru. Disutradarai Nadine Nadilla, mereka mampu menampilkan permainan dinamis sampai titik akhir. Mungkin ini salah satu pertunjukan realisme terkuat tahun ini.
Di luar tiga pemenang itu, bukan berarti penampilan 12 kelompok teater lain anjlok. Kekuatan mereka sesungguhnya seimbang. Sun Community, Teater Ciliwung, Teater Kafha, Mata Art Community, Teater Asa, Sanggar Bambu, Sumber Drama Manusia, Teater diRI, Teater Cahaya, D’Lakon Aktor Panggung, Teater Sapta, dan Labo eL Aktor juga bermain menarik. Sun Community mementaskan terjemahan naskah Sam Sheppard, Buried Child.
Sun Community dalam Buried Child di Festival Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 23 Oktober 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Naskah tentang hancurnya ekonomi dan krisis psikologis keluarga Dodge, petani Amerika, itu pernah disadur-dipentaskan oleh Teater SAE dan diadaptasi-dipanggungkan oleh Teater Satu Lampung. Sun Community mencoba setia dengan setting Amerika. Tidak ada yang dikurangi. Hubungan inses dalam keluarga yang pada pementasan Teater Satu Lampung dihilangkan di sini cukup tersirat sehingga tema bayi yang dibunuh dan dikuburkan itu jelas. Adegan Bradley, anak Dodge yang berkaki palsu, merangkak-rangkak berusaha meraih kaki palsunya yang diambil Shelly, pacar salah satu anggota keluarga, terlihat dramatik.
Sementara itu, Zoebir Mustaqim dari Mata Art Community yang memerankan tokoh raja tua sekarat tapi tidak mau melepaskan kekuasaannya dalam naskah Ionesco, Raja Mati, cukup mengesankan. Tiba-tiba adegannya terasa kontekstual dengan peristiwa politik hari-hari ini. Demikian pula permainan Bagus Ade Putra ketika memerankan Thomas Pattiwael, sosok ayah dalam naskah Nano Riantiarno, Jam Dinding yang Berdetak, yang dipentaskan Teater Ciliwung. Ia bisa menciptakan adegan-adegan keintiman keluarga. Permainan Teater Ciliwung hangat. Hanya, desain interior ruang tamu yang terlalu mewah, sementara dalam naskah Nano keluarga Pattiwael tinggal di sebuah rumah petak gang sempit, membuat kemiskinan dalam pertunjukan tidak menggigit.
Pertunjukan teater dari Lobo eL Aktor berjudul Pinginya dalam Festival Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 30 Oktober 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Adegan akhir tatkala Marie dan kedua anaknya, Benny dan Magda, mendengar Thomas Pattiwael tewas dalam kecelakaan bersama selingkuhannya cukup mengharukan. Sementara itu, lamentasi atas tewasnya penombak muda ikan paus di laut Flores yang disajikan Teater Kafha terasa tragis. “Tema 12 dari 15 kelompok teater bersinggungan dengan kematian itu menarik bagi saya,” ujar Hanindawan, sutradara Teater Gidag Gidig dari Solo, Jawa Tengah, yang menjadi salah satu juri. Betapapun tingkat permainan peserta festival menggembirakan, tetap ada catatan. “Hampir semua kelompok teater kurang memberikan porsi kepada ruang sunyi.” Kritik yang dilontarkan Malhamang Zamzam ini penting.
Selain memberikan penghargaan kepada grup, sutradara, aktor utama, dan pembantu terbaik serta lain-lain, Festival Teater Jakarta menganugerahkan penghargaan Lifetime Achievement terhadap enam dramawan yang dianggap memberi kontribusi penting bagi sejarah teater Jakarta. Mereka adalah Tatiek Maliyati, Rita Matu Mona, Uki Bayu Sedjati, Artati, Djaelani Manock, dan Zainal Abidin alias Diding Boneng.
Pemberian penghargaan Lifetime Achievement kepada Tatiek Maliyati di Kayu Putih, Jakarta, 28 Oktober 2023. Dok. Pribadi
Tatiek Maliyati, kini berusia 89 tahun dan sehari-hari menggunakan kursi roda, saat ditemui Ketua Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi di rumahnya di kawasan Kayu Putih, Jakarta, mengatakan, “Naskah-naskah Barat sebaiknya diadaptasi agar penghayatan emosi aktor kita lebih kena.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dari Genet sampai Ionesco"