Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penampilan ikan tawes, atau biasa disebut bader, di Kali Surabaya sedikit berbeda. Biasanya, sisiknya putih perak, tapi di sungai yang membelah Kota Buaya ini, si Barbodes gonionotus—nama Latinnya—berwarna kuning keemasan. Tapi, yang lebih aneh, sebagian dari mereka berkelamin ganda alias punya testis dan ovarium sekaligus.
Orang Surabaya menamainya "ikan bencong", sedangkan Lembaga Konservasi Lahan Basah Surabaya, Ecoton, yang melakukan penelitian di kali itu, menyebutnya "ikan berganti kelamin". Meski sebenarnya adalah jantan, si ikan bisa bertelur, tapi tak menetas.
Kehadiran mereka menyebabkan jumlah bader betina di sungai ini berlipat. "Sensus ikan rutin menunjukkan lebih dari 85 persen ikan di Kali Surabaya berkelamin betina," kata Direktur Ecoton Prigi Arisandi. Idealnya, ikan betina maksimal hanya 70 persen dari total populasi atau setiap tiga betina ada satu pejantan.
Ia menduga banyak ikan jantan berganti kelamin karena terpapar zat estrogen atau hormon betina. Zat ini bisa berasal dari urine warga pengkonsumsi pil kontrasepsi, yang mengandung 17a-ethinylestradiol dan mampu merangsang hormon kebetinaan. Selain itu, obat antikejang carbamazepine dan obat penenang fluexetine diduga berperan besar pada proses feminisasi ini.
Bukan hanya itu, beberapa zat kimia bahan dasar detergen, sampo, sabun, kertas, serta plastik juga diyakini mempercepat proses ini. Belum lagi pestisida, fungisida, dan herbisida. Limbah ini menyebabkan kadar zat estrogenik meningkat. Padahal, berdasarkan penelitian Ecoton, jika kandungan estrogenik mencapai 1 nanogram per liter air, dipastikan 10 persen ikan jantan mengalami perubahan interseksual. Di Kali Surabaya, kadar zat ini mencapai 1-5,7. Makin ke hilir, kandungannya makin besar.
Pencemaran ini berasal dari 6 ribuan rumah dan hampir seratus pabrik di bantaran kali pecahan Sungai Brantas yang membuang 75Â ton sampah industri dan domestik ke kali setiap hari. Ditambah kotoran dari WC umum kawasan padat penduduk di Pulo hingga Jagir Wonokromo, yang dialirkan langsung ke kali, sisik bader pun menjadi kekuningan.
Menurut peneliti lembaga itu, Riska Darmawanti, proses feminisasi terjadi ketika ikan jantan menerima bahan estrogenik dalam jumlah besar secara terus-menerus. Bahan ini lantas merangsang lever menghasilkan sel telur, yang dikeluarkan melalui testis. Perubahan ini menyebabkan alat kelamin ikan jantan tak berfungsi.
Banyaknya "ikan bencong" dikhawatirkan mempercepat kepunahan satwa di kali ini. Riska menambahkan, dari 12 jenis ikan yang ada di Kali Surabaya, empat di antaranya rentan terkena feminisasi, yaitu bader, keting (Mystus planiceps), jendil (Pangasius micronemus), dan papar (Notopterus). Perbandingan jumlah betina dan jantannya mulai 6 banding 1 sampai 16 banding 1.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Jawa Timur Indra Wiragana membenarkan tingginya tingkat pencemaran ini. "Membangun instalasi pengolah limbah komunal adalah solusinya," katanya. Rencananya, kali sepanjang 41 kilometer dari Gresik hingga Surabaya ini dilengkapi 74 instalasi pengolah komunal. Sayang, sejauh ini baru terbangun tiga unit—tahun ini akan bertambah tujuh unit. "Biayanya sangat mahal, mencapai Rp 500 juta per unit," kata Indra.
Upaya lain adalah membangun suaka ikan dengan melakukan pembibitan dan penetapan sebuah kawasan bebas pencemaran. Badan Lingkungan Hidup bersama instansi lain sedang merancangnya. Sepertinya perlu langkah lebih cepat, jika tidak ingin bader dan ikan lain tinggal kenangan.
Yudono Yanuar, Fatkhurrohman Taufiq (surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo