Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya hanya dua orang memainkan drum plastik yang biasa dipakai untuk menampung air. Mereka menabuhnya menjadi bunyi yang ritmis. Menjadi semakin asyik ketika empat orang berjalan ke panggung dengan "sandal" tong atau drum aspal. Dentuman tercipta dari langkah berat mereka. Dentuman itu bertambah dengan bunyi klotekan dari drum yang mereka pukul sambil berjalan. Penampil yang lain menyelingi dengan pukulan ban dalam truk serta drum plastik dan tutup tong sampah. Musik yang asyik. Dan penonton di Gedung Teater Jakarta pada 5 Oktober lalu pun berdecak kagum. Bertepuk tangan.
Inilah yang menjadi puncak penampilan grup musik perkusi dan teatrikal Stomp. Grup musik asal Brighton, Inggris, ini dibentuk Luke Cresswell dan Steve McNicholas pada 1991. Penampilan pertama mereka di Teater Bloomsburry, London, menjadi grup pilihan The Guardian dan memenangi Fringe Award dari The Daily Express. Pada 2012, Stomp menampilkan 40 pemainnya dengan koreografi khusus pada penutupan Olimpiade London. Stomp yang tampil di Gedung Teater Jakarta pada 1-6 Oktober ini adalah generasi kesekian.
Grup ini memang membawa barang "rombeng" ke mana pun mereka berpentas. Ada panci, tong sampah, drum plastik, drum aspal, plang penunjuk jalan, plang papan nama, troli belanja, galon air, sapu, tongkat, ember kaleng dan plastik, ban dalam truk, jeriken, pipa, serta masih banyak lagi. Tapi musik yang mereka hasilkan bukan sembarangan. Terdengar ritmis, dinamis, dan asyik dinikmati.
Malam itu mulanya mereka menampilkan aneka bunyi yang ritmis dari sapu. Dengan gerakan menyapu tertentu, muncul bunyi gesekan dan entakan dari gagang sapunya. Sembari bergerak lincah ke sana-kemari, mereka meneruskan dengan ketukan, klotekan, dan entakan dari tongkat dua kayu, panjang dan pendek. Tiap penampil memainkan dua tongkat itu bersamaan, tapi ada kalanya mereka hanya memainkan satu tongkat—mengentak serentak atau beradu tongkat dan menciptakan bunyi yang memikat.
Yang juga membuat penonton terpesona adalah ketika mereka menciptakan bunyi dari ban dalam truk yang dipompa. Di Indonesia, biasanya ban ini sering dipakai sebagai pelampung. Aksi dengan troli yang bermuatan galon pun menjadi aksi yang menarik. Mereka beraksi sambil menciptakan gerakan atraktif dan teatrikal, kadang-kadang gerakan yang konyol dan mengundang tawa penonton.
Stomp mempertontonkan kelincahan dengan berbagai macam peralatan yang mereka pajang sebagai latar panggung itu. Pukulan di jeriken kaleng, panci, dan pipa lalu dipadu dengan peralatan lain. Naik-turun panggung dipadu tata lampu yang menarik menciptakan suasana panggung yang bagus. Koreografi dengan sapu memang selalu menjadi pembuka, "Selain untuk membersihkan tempat buat tampil, untuk menumbuhkan dan menyatukan semangat," ujar Andre Fernandez, salah satu anggota Stomp, saat konferensi pers, 2 Oktober lalu. "Kami ini keluarga kecil."
Memainkan berbagai alat tadi tak bisa sembarangan. Tampaknya mudah, tapi mereka harus kompak untuk mendapatkan nada atau bunyi yang pas dan asyik. Sulit jika mereka tak terbiasa menggunakan kedua tangan untuk menciptakan bebunyian. "Paling sulit ketika menggunakan tongkat. Tangan kiri harus memukul tongkat di kanan yang kami entakkan," kata salah satu penampil. Juga tatkala memainkan troli.
Untuk menciptakan ritme yang dinamis tapi enak dinikmati tadi, mereka kompak berlatih dalam satu kelompok. Mereka memang tak membuat semacam plot atau skenario yang detail untuk penampilan mereka. Tapi mereka "mencari" bebunyian itu. "Kami mengeksplorasi alat-alat yang ada ini dan kami padukan," ujar Phil Batchelor, yang didapuk sebagai sutradara.
Para pemain Stomp memang punya latar belakang seni, seperti musik, tari, bahkan komedi. Michael R. Landis, misalnya, adalah seorang perkusionis. Phil Batchelor juga pemain drum saat remaja. Lain lagi Simon Watts, yang mengaku saat bocah suka menciptakan "keributan" bebunyian dari barang apa saja yang dibawanya. Penampilan mereka membuat kagum penonton. "Padahal itu kan kayak barang-barang sampah, tapi keren," ucap seorang pengunjung berbisik kepada temannya.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo