Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Abad Asia dan Diplomasi Ekonomi Indonesia

13 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desra Percaya*

Dalam kurun lima tahun ke depan, Indonesia akan memasuki awal dari suatu periode yang diwacanakan banyak pihak sebagai Abad Asia. Pergeseran pusat dinamika dunia yang terus berlanjut ke arah Asia semakin diyakini tak hanya oleh para analis, tapi juga oleh pemimpin dunia. Atas dasar keyakinan ini, misalnya, Presiden Barack Amerika Serikat Obama telah menetapkan strategi The Asian Pivot dan mantan Perdana Menteri Australia Julia Gillard membingkai politik luar negeri Australia dalam konteks The Asian Century.

Salah satu pilar penting dari Abad Asia adalah keunggulan ekonomi Asia yang diperkirakan melampaui kawasan-kawasan lain. Pada titik waktu 2030, kekuatan perbankan serta pasar modal dan ekuitas Asia diperkirakan mencapai US$ 210 triliun, sementara Amerika Serikat dan Eropa masing-masing akan mencapai US$ 91 triliun dan US$ 82 triliun. Dua puluh tahun kemudian, yaitu pada 2050, sistem keuangan Asia akan empat kali lipat lebih besar dibanding kekuatan finansial Barat.

Pada tahun yang sama, taraf hidup 3 miliar penduduk Asia diperkirakan secara signifikan semakin baik, seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita yang mencapai enam kali lipat dari level tahun 2011. Bank Pembangunan Asia (ADB) juga telah memprediksi bahwa, pada 2050, besarnya ekonomi Asia akan setara dengan setengah produk domestik bruto dunia, disusul kombinasi kekuatan ekonomi Amerika dan Eropa sebesar kurang dari 15 persen.

Bagi Indonesia, Abad Asia diperkirakan menjadi abad yang penuh berkah. Laporan McKinsey (2012), misalnya, menyebutkan bahwa pada 2030 Indonesia akan memiliki 55 juta pekerja terdidik dan akan dibutuhkan 113 juta pekerja terdidik di saat Indonesia berada di peringkat ketujuh ekonomi terbesar dunia. Laporan yang sama memperkirakan pada 2016 pengguna Internet di Indonesia mencapai 100 juta orang.

Dalam konteks ini, hampir dipastikan politik luar negeri Indonesia dalam lima tahun ke depan akan memberi bobot dan prioritas pada diplomasi ekonomi sebagai instrumen bagi penguatan ekonomi nasional. Diplomasi ekonomi akan diabdikan untuk meraih dan menghimpun sebesar-besarnya manfaat dari semakin terwujudnya Abad Asia bagi kemandirian dan kemajuan ekonomi nasional. Diplomasi ini akan diarahkan untuk mengembangkan arsitektur ekonomi dan keuangan kawasan bagi upaya Indonesia dalam pemberantasan kemiskinan dan pencapaian kesejahteraan yang berkelanjutan. Diplomasi ekonomi akan dibangun dengan memperhatikan keseimbangan antara economic gains dan kelestarian lingkungan serta sumber daya alam.

Politik luar negeri yang berbasis ekonomi sebagai strategic objective tersebut akan berhasil apabila ditopang oleh setidaknya delapan langkah. Pertama, Indonesia perlu terus memperkuat peran dan kontribusinya dalam berbagai forum diplomasi ekonomi regional dan global seperti ASEAN, khususnya pilar ASEAN Economic Community, APEC, G-20, dan WTO. Indonesia merupakan salah satu emerging economy yang diperhitungkan dalam forum-forum kerja sama tersebut. Indonesia berada di peringkat ke-10 PDB terbesar dunia, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,9 persen dalam lima tahun terakhir. Volume perdagangan dalam 10 tahun terakhir juga mencapai US$ 400 miliar.

Kedua, sumber daya diplomasi perlu terus diasah. Kemampuan mesin diplomasi ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang menjalankannya. Pembinaan personel serta pengembangan spesialisasi yang terkait dengan bidang strategis perlu terus dikembangkan, terutama di bidang keuangan, hukum, perdagangan dan investasi, teknologi, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia. Keahlian khusus di bidang-bidang tersebut mutlak diperlukan.

Pelaku diplomasi jelas harus menguasai tiga pengetahuan/kecerdasan agar terampil dalam menangkap atau menciptakan peluang ekonomi. Tiga pengetahuan itu meli­puti pengetahuan tentang pasar, jejaring kerja, dan teknologi—khususnya informasi, komunikasi, dan transportasi. Melalui ketiga kompetensi itu, pelaku diplomasi pada akhirnya diharapkan mampu berinovasi, mencari alternatif dan terobosan baru (psychomotoric capacity) di tengah berbagai keterbatasan dan kompetisi yang semakin ketat.

Langkah ketiga yang mesti diperkuat adalah kerja kolaborasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan—Kementerian Luar Negeri; Kementerian Perdagangan; Badan Koordinasi Penanaman Modal; Kamar Dagang dan Industri; para pelaku bisnis, baik yang berukuran besar maupun usaha kecil dan menengah; serta berbagai asosiasi ekonomi lainnya. Diakui bahwa koordinasi merupakan tantangan tersulit dalam aktivitas diplomasi ekonomi. Tanpa koordinasi yang kuat, diplomasi ekonomi sebagai driver penguatan ekonomi nasional akan sulit terwujud.

Berikutnya, ihwal pengembangan strategi kewilayahan ekonomi. Secara geografis dan geo-ekonomis, perairan Nusantara menjadi salah satu jalur transportasi laut yang utama. Hampir semua transportasi laut antara Asia Timur dan Asia Selatan, Australia, Afrika, atau Eropa melewati perairan Indonesia. Dengan peningkatan volume perdagangan barang serta energi bagi konsumsi rumah tangga dan industri, jalur Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok akan semakin dipadati oleh kapal berbagai ukuran. Akibatnya, peranan diplomasi maritim juga dipastikan semakin meningkat, khususnya dalam mengantisipasi konsekuensi ekonomis dari meningkatnya volume dan lalu lintas kapal. Pembangunan infrastruktur pelabuhan yang lebih baik menjadi sebuah keharusan.

Konsekuensi lain adalah peningkatan keamanan dan keselamatan transportasi laut. Indonesia harus terus memastikan adanya jaminan keamanan dan penegakan hukum di laut, terutama di tengah keprihatinan akan maraknya isu gangguan keamanan laut, seperti perompakan di jalur perairan tertentu. Upaya ini tidaklah cukup hanya melibatkan militer atau aparat penegak hukum. Diplomasi dan kebijakan luar negeri justru merupakan elemen yang vital dalam menghadirkan rasa aman di laut.

Indonesia jelas harus terus berada di posisi terdepan dalam pengembangan kerja sama bilateral, trilateral, dan regional atau global. Melalui kerja sama ini pula diplomasi Indonesia harus memastikan adanya peningkatan perlindungan dan keamanan kekayaan di laut serta pemanfaatan yang optimal atas potensi laut Indonesia, baik yang bersifat hayati maupun nonhayati.

Langkah selanjutnya yang mesti dicapai: Indonesia perlu memiliki kemampuan branding dan marketing yang padu dan terarah. Branding lebih ditujukan untuk membangun affinity dengan produk-produk yang bernuansa Indonesia. Saat branding telah terbangun, terlebih pada tataran regional dan global, penetrasi pasar akan terlaksana dengan lebih mudah, dengan tingkat penerimaan oleh pembeli potensial yang lebih tinggi. Maka branding yang berhasil dapat melipatgandakan raihan dari hukum supply-demand.

Indonesia juga perlu memiliki kemampuan economic intelligence, yakni kemampuan mengelola informasi yang terkait dengan antara lain potensi pasar, aturan main pasar, kecenderungan pasar, dan pelaku usaha, baik yang berpotensi sebagai mitra maupun kompetitor. Economic intelligence sangat penting bagi penetapan strategi diplomasi ekonomi. Kemampuan ini juga sangat penting untuk menumbuhkan "feel the game" dalam memasuki pasar dunia yang penuh kompetisi.

Terakhir, inovasi perlu terus diupayakan. Sehubungan dengan aspek ini, diplomasi ekonomi perlu mengintegrasikan kemajuan teknologi dengan praktek diplomasi konvensional. Salah satu terobosan yang bisa dilakukan adalah pemanfaatan penetrasi Internet dan media sosial dalam masyarakat sebagai pintu yang menghubungkan pelaku bisnis lokal dan global. Maka diplomasi ekonomi dan komersial tak lagi hanya menyangkut bisnis jutaan dolar, tapi juga langsung menyentuh lapisan pengusaha lokal, kecil, dan menengah.

Penulis meyakini, dengan diplomasi ekonomi yang andal, yang ditopang oleh delapan langkah tersebut, Indonesia mampu menarik manfaat dari Abad Asia bagi kemajuan ekonomi nasional. Indonesia juga mampu menjadi bagian yang konstruktif dan kontributif bagi terwujudnya Abad Asia yang membawa kemaslahatan tak hanya untuk bangsa Indonesia, tapi juga kawasan dan dunia. Abad Asia adalah abad bersama bagi seluruh umat manusia—a shared century, a common destiny of all humankind. l

*) Duta Besar/Wakil Tetap RI pada PBB di New York. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi ([email protected])

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus