Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada alasan bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk tidak menyukseskan pelantikan presiden terpilih Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla, pada 20 Oktober nanti. Janji Ketua MPR Zulkifli Hasan bahwa tidak akan ada penjegalan pada hari pelantikan harus dianggap sebagai sumpah pemimpin lembaga tinggi negara kepada orang ramai—sesuatu yang harus ditagih dan pengucapnya dikutuk jika ingkar. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar, presiden terpilih dilantik Hakim Agung di hadapan anggota MPR.
Kecemasan publik atas kemungkinan batalnya pelantikan ini, karena itu, harus dipandang sebagai keinginan agar proses politik pasca-pemilu 9 Juli berlangsung lancar, aman, dan damai. Jokowi-JK terbukti secara sah dan konstitusional memenangi pemilu. Kemenangan keduanya juga dikukuhkan Mahkamah Konstitusi setelah Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, kandidat yang kalah, melayangkan gugatan. Putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat. Dengan kata lain, putusan itu tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun dan dengan cara apa pun.
Bagaimanapun, desas-desus yang menyebutkan Jokowi-JK mungkin batal dilantik tak bisa diabaikan. Dengan menguasai kursi MPR, koalisi pro-Prabowo bisa saja tak hadir sehingga sidang tak mencapai kuorum. Tata tertib MPR menyebutkan, jika sidang Majelis Permusyawaratan tak bisa dilaksanakan, presiden terpilih dilantik di depan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Jika itu tak bisa juga, pelantikan dilakukan di depan pimpinan MPR. Tapi lagi-lagi, DPR dan MPR dikuasai koalisi Prabowo. Pernyataan Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, bahwa "ada harga yang harus dibayar Jokowi (atas keputusannya bersaing dengan Prabowo dalam pemilu presiden)", menambah kental wasangka itu.
"Menguasai" DPR dan MPR secara konstitusional tentu tak ada salahnya. Proses politik tiga pekan terakhir menunjukkan "kepiawaian" kubu Prabowo memainkan politik sidang. Menguasai 37 persen kursi parlemen, koalisi pro-Jokowi, yang disokong PDI Perjuangan, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hanura, terseok-seok menghadapi kubu lawan yang lebih besar. Bahkan, dalam pemilihan Ketua MPR, PDI Perjuangan gagal memanfaatkan Dewan Perwakilan Daerah, yang tak berdiri di salah satu sisi.
Menang di dewan perwakilan, patut disayangkan koalisi pro-Prabowo menggunakan kekuasaannya untuk politik bumi hangus. Disetujuinya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah menunjukkan niat buruk koalisi itu untuk tak semata menguasai kursi kepala daerah, tapi juga menghentikan laju demokrasi. Selentingan soal rencana menghapus pemilihan presiden langsung melalui amendemen UUD menambah tebal wasangka itu. Pemilihan langsung adalah amanat reformasi 1998, peristiwa politik yang memakan korban tak sedikit.
Asalkan diselenggarakan dengan tertib, rencana relawan pro-Jokowi menggelar aksi besar-besaran pada 20 Oktober tentu baik-baik saja. Merasa aspirasinya tak disalurkan, mereka berhak turun ke jalan. Aksi massa ini harus dilihat sebagai kritik terhadap anggota legislatif yang merasa mewakili rakyat melalui pemilihan umum. Amat berlebihan pendapat yang mengatakan rencana demonstrasi 20 Oktober adalah reaksi paranoid kubu Jokowi setelah kalah bertarung di lembaga legislatif.
Semua pihak mesti menyukseskan pelantikan Jokowi-JK. Massa harus mampu menahan diri agar tak rusuh. Anggota koalisi pro-Prabowo mesti membuang jauh-jauh pikiran untuk balas dendam dengan tak menyukseskan pelantikan itu. Petinggi TNI jangan bermimpi mendapat kuasa—opsi terburuk yang bisa saja terjadi jika pelantikan tak dapat diselenggarakan hingga 20 Oktober terlewati.
Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bertanggung jawab atas semua perhelatan itu. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, ia harus menjamin pemerintahannya berjalan aman hingga 20 Oktober, hari terakhir ia berkuasa. Hingga akhirnya Jokowi dilantik, TNI dan Polri masih di bawah kendali Yudhoyono. Partai Demokrat yang diketuai Yudhoyono pula yang menjadi salah satu penopang koalisi pro-Prabowo. Dengan kata lain, Yudhoyono memiliki banyak kartu untuk dimainkan. Tak selayaknya ia berpangku tangan, pura-pura tak tahu atawa playing victim.
Bagi Jokowi, rintangan politik menjelang pelantikannya sebagai presiden harus dianggap sebagai appetizer. Ke depan, ia akan berhadapan dengan batu sandungan yang jauh lebih besar. Ia tak boleh jemawa dengan menganggap semua kritik DPR sebagai torpedo untuk melumpuhkan pemerintahannya. Tanpa kritik, ia akan kehilangan cermin.
Namun, terhadap politik bumi hangus, ia harus pasang strategi. Tak bisa tidak, ia harus membentengi diri dengan membentuk kabinet kerja yang bersih dan profesional. Seperti sering dikatakannya, cara efektif melawan gangguan lawan politik adalah dengan kerja, kerja, dan kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo