Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Aktor dan sutradara teater Wawan Sofwan menampilkan monolog Hari Kebangkitan Nasional di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Senin malam, 20 Mei 2019. Isi monolognya menyuarakan pidato Bung Karno tentang Kebangkitan Nasional. Wawan mengutipnya dari pidato Presiden Republik Indonesia pertama itu pada 1958 dan 1963 di Alun-alun Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wawan tampil di panggung berkarpet merah dengan peci hitam dan kostum pejuang berwarna putih. Bendera merah putih melatarinya di tembok belakang. Suaranya yang dimiripkan dengan Bung Karno, terlontar sambil membaca lembaran naskah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saudara saudara, hari ini adalah hari 50 tahun usia kebangkitan nasional kita. Dengan sengaja kita dan panitia menamakan hari ini Hari Kebangkitan Nasional bukan sekedar Hari Kebangunan Nasional. Bangkit, perkataan bangkit adalah lebih dinamis daripada perkataan bangun. Dan kita memang menjadi satu bangsa yang dinamis. Dan dengan demikian, dinamika inilah kita telah menggugurkan imperialisme.”
Pada 1908 ketika pergerakan nasional tumbuh, seorang Belanda bernama van Deventer menyebut Hindia Belanda sebagai insulind, gadis cantik yang berabad-abad lamanya pada tahun itu mulai terjaga.
“Kita tidak sekedar terjaga saudara-saudara. Kita tidak sekedar membuka mata kita setelah tidur tiga abad lamanya. Tetapi kita terjaga kembali, bangun, bangkit, berjalan terus, berjuang, berkorban, akihirnya kita mencapai hari yang sekarang ini.”
Berhadapan dan melihat rakyat datang memperingati Hari Kebangkitan Nasional saat itu, Bung Karno mengibaratkan sebagai aliran sungai besar.
“Maka saya melihat sebuah bengawan yang besar. Sungai yang besar yang pada tahun 1908 sungai itu masihkah sungai yang kecil, sumber yang kecil, sumber ini mengeluarkan aliran sungai yang kecil. Tetapi sungai yang kecil itu makin lama menjadi sungai yang besar menuju ke laut. Berjumpa dengan sungai-sungai kecil yang lain, menjadi makin besar dan makin besar. Aliran airnya semakin lama semakin dahsyat.
Malahan di beberapa tempat sungai itu dibendung imperialis, dibendung oleh musuh kita, dibendung dengan bendungan yang bukan saja dibuat dari batu dan beton, tetapi dibuat daripada besi dan baja. Tetapi aliran itu terus mendesak, tiap-tiap hari, tiap-tiap jam, tiap-tiap menit, tiap-tiap detik, mendesak liter kubik per liter kubik, liter per liter, tetes per tetes, atom per atom, akhirnya bendungan itu pecah sama sekali. Dan pada tanggal 17 Agustus 1945 kita mencapai lautan yang merdeka.”
ANWAR SISWADI