Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

We Live in Time, Bukan Drama Cinta Biasa

Kesederhanaan cerita We Live in Time menyuguhkan kedekatan emosional dengan penonton. 

7 Desember 2024 | 06.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kualitas akting konkret ala Andrew Garfield.

  • Strategi sutradara John Crowley bercerita hanya lewat visual. 

  • Kolaborasi menawan Andrew Garfield dan Florence Pugh. 

WAKTU tak pernah adil
Kadang Ia berikan waktu yang panjang untuk kesedihan
Dan Ia berikan waktu yang sangat pendek untuk mengecap kebahagiaan
Namun nikmat-Nya yang mana lagikah yang harus ku dustai?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panjang pendek waktu harus ku nikmati
Sedih ku syukuri
Bahagia ku syukuri
Karena hidup hanya sekali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua bait puisi legendaris berjudul Wajah-Wajah karya penyair Kahlil Gibran (6 Januari 1883-10 April 1931) kerap menjadi rujukan ketika memperdebatkan waktu dalam kehidupan. Layaknya aliran sungai, waktu selalu bergerak maju tanpa mau sedikit pun menoleh ke belakang.

Waktu adalah misteri yang kerap membuat manusia ketakutan. Manusia terlalu takut pada derasnya waktu yang mengalir. Padahal, sesuai dengan hakikatnya, manusia adalah bagian dari aliran waktu itu. Alih-alih ketakutan melintasi waktu, sudah seharusnya manusia mensyukurinya.

Paradigma tentang waktu dan keikhlasan untuk menikmatinya bisa dipahami dalam cerita film drama romantis Hollywood berjudul We Live in Time yang tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak akhir November 2024. Film ini bercerita tentang Tobias, yang diperankan Andrew Garfield, dan Almut, yang diperankan Florence Pugh, yang terikat percintaan lewat peristiwa tak terduga.

Secara tak sengaja Almut, yang sedang mengendarai mobil, menabrak Tobias yang linglung di jalan akibat diceraikan istrinya. Keduanya mendadak dekat dan mudah saja bagi cinta menyatukan mereka. Seperti jodoh di film-film drama, Almut menjadi penyembuh luka hati Tobias. Begitu pun Almut yang merasa Tobias adalah teman hidup yang ia cari.

Perbedaan latar belakang pekerjaan tak menjadi penghalang. Tobias adalah pegawai teknologi informasi di sebuah perusahaan sereal kondang di Amerika Serikat. Sedangkan Almut adalah seorang koki muda berbakat nan ambisius.

Keinginan Tobias untuk punya anak sempat ditolak oleh Almut. Alasan ini pula yang menjadi musabab kandasnya pernikahan pertama Tobias. Namun, berkat rasa saling mengerti, Almut berubah pikiran dan tertarik untuk memiliki anak bersama Tobias.

Hidup keduanya digambarkan sangat indah hingga punya anak. Sampai suatu hari, diagnosis kanker ovarium stadium 3 di rahim Almut bak petir menyambar di siang bolong. Almut dan Tobias begitu ketakutan. Mereka gelisah memikirkan nasib putri mereka jika sewaktu-waktu Almut meninggal akibat kanker.

Adegan film We Live in Time (2024). Dok. A24

Lewat perjalanan emosional yang luar biasa, keduanya sadar bahwa ketakutan tak akan ada habisnya. Ketakutan tidak akan mengubah keadaan, bahkan hanya memperburuk kehidupan mereka. Dengan besar hati, Almut hanya ingin menikmati sisa hidupnya bersama kedua orang yang sangat ia cintai, Tobias dan putrinya.

Menghayati suka cita dan kehangatan keluarga akan menjadi bekal memori yang sempurna untuk sang anak. Setidaknya, rekaman manis itu bisa masuk ke relung hati putrinya jika kelak benar Almut harus pergi selamanya.

Film We Live in Time memang menyuguhkan drama cinta keluarga yang hangat dan nyaman. Kesederhanaan menjadi kekuatan film ini. Ya, dari alur cerita, dialog, sampai akting kedua pemeran utama berjalan dengan simpel.

Film produksi Film4, SunnyMarch, dan Shoebox Films itu memang bukan drama cinta yang lebai. Tak ada adegan “menangis bombai” pada adegan sedih, dan sebaliknya, tidak ada rayuan gombal pada bagian hangatnya percintaan Almut dan Tobias.

Tobias hanya mengelus punggung Almut saat mendengar diagnosis kanker ovarium dari dokter. Tak ada pula adegan berderai air mata saat Tobias membantu Almut memangkas habis rambutnya.;

Kesederhanaan inilah yang membuat penonton merasa cerita Almut dan Tobias ini dekat dengan mereka. Dengan kata lain, cerita keduanya nyaris sama dengan cerita nyata di luar sana.

Namun bukan berarti kualitas peran Andrew Garfield dan Florence Pugh biasa-biasa saja. Kemampuan akting mereka bisa dibilang luar biasa. Terlebih Garfield yang bisa menampilkan ekspresi bingung, takut, dan kecewa saat mengetahui Almut lebih memikirkan kontes masak prestisius ketimbang kondisi kesehatannya sendiri.

Sutradara John Crowley juga piawai dalam menuturkan cerita tanpa hanya kata-kata. Seperti pada adegan terakhir ketika Almut akhirnya menyerah melawan kanker, ia tak menampilkan secara eksplisit bahwa karakter yang diperankan Pugh sudah meninggal.

Sutradara 55 tahun itu memilih cara bercerita lewat visual. Kondisi rumah keluarga kecil Tobias tampak sepi, tak seperti biasanya. Lalu ada adegan Tobias dan sang putri memasak makanan bersama dengan penuh cinta dan ketenangan. Tanpa penjelasan pun, para penonton tahu bahwa Tobias dan putrinya kini hidup berdua saja.

Crowley mengaku adegan terakhir pada filmnya memang menjadi gong penutup yang sempurna. Ia ingin menyampaikan kepada penonton bahwa kematian adalah sebuah tragedi. Lalu adegan ketika Tobias dan putrinya masak bersama, ia ingin penonton merasa jiwa Almut masih ada dan menemani mereka.

"Saya berharap detail-detail kecil seperti itu akan membuat penonton merasa bahwa itu benar-benar terjadi dalam kehidupan mereka sendiri," kata Crowley dalam sebuah wawancara bersama That Shelf.

Adegan film We Live in Time (2024). Dok. A24

Sutradara berkebangsaan Irlandia itu juga ingin menyampaikan pesan kepada penonton tentang perubahan paradigma seseorang sebelum dan sesudah berkeluarga. Ketika masih lajang, prioritas hidup seseorang pasti berjalan lebih sederhana, seperti bekerja dan bersenang-senang. Namun, ketika sudah punya anak, akan ada kombinasi rasa sayang dan khawatir dalam setiap pengambilan keputusan.

Crowley juga memberikan pujian kepada aktor Andrew Garfield yang ia nilai mampu menerjemahkan semua catatan karakter Tobias. Bagi dia, Garfield adalah aktor yang bisa diandalkan. Ia tahu betul kualitas Garfield lantaran keduanya pernah terlibat kerja sama dalam pembuatan film berjudul Boy A yang tayang pada November 2007.

“Dia punya emosi, baik sebagai aktor maupun sebagai pria. Dia sangat nyaman ketika memainkan emosinya,” ujar sutradara film Brooklyn (2015) itu.

Garfield pun merasa cocok berpasangan dengan Pugh dalam film terbaru mereka. Menurut dia, aktris 28 tahun itu luwes dalam berbagai adegan peran. Termasuk dalam satu babak hubungan seksual antara Tobias dan Almut.

Garfield mengatakan mereka sempat kebablasan dan tak mendengar aba-aba “cut” dari sutradara. Walhasil, adegan itu berjalan lebih lama dari seharusnya dan para kru dibuat kikuk. Bagi dia, komunikasi menjadi syarat penting saat berduet dalam sebuah film drama romantis. Kebetulan, Garfield melanjutkan, Pugh adalah aktris yang sangat percaya diri dan mudah diajak berkomunikasi, termasuk saat adegan sensitif. 

"Dia hanya tertawa karena sangat nyaman dengan tubuh dan seksualitasnya," tutur aktor 41 tahun itu.

Sejauh ini, film We Live in Time mendapat sambutan positif di bioskop dan di situs web ulasan film. Sejumlah media internasional menyebutkan adu peran Garfield dan Pugh punya nyawa yang sangat kuat. Dua situs web penilaian film juga memberikan skor cukup baik untuk film ini, yakni 7,1/10 pada situs web IMDb dan 78% pada Rotten Tomatoes.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus