Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akmal Nasery Basral
SUDAH pernah dengar tentang Lulu Blooker Prize? Ini nama hadiah penulisan yang dimulai pada 2006, bertepatan dengan 450 tahun penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Tahun lalu, pemenang utama penghargaan yang diikuti 110 judul ”buku” dari 15 negara ini jatuh kepada My War: Killing Time in Iraq karya nonfiksi Colby Buzzell.
Namun ”buku” sesungguhnya bukanlah sebutan yang tepat untuk karya-karya yang dinilai panitia Lulu Blooker Prize, sebuah nama yang dipilih sebagai bentuk takzim-sekaligus-kelakar bagi hadiah prestisius yang lebih dulu hadir: Man Booker Prize. Yang dinilai panitia Lulu Blooker adalah ”blook”, kosakata baru yang bahkan belum tercetak di halaman-halaman kamus atau tesaurus berbahasa Inggris.
”Blook” adalah gabungan—dalam ilmu linguistik dikenal sebagai portmanteau—dari kata ”blog” dan ”book”, istilah yang kini lazim digunakan para blogger di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Tengoklah tulisan ”Wabah Buku Blog” yang menjadi Topik di Koran Tempo Minggu, 25 Mei 2008. Pada artikel itu Direktur Penerbit Gradien Mediatama, Ang Tek Khun, mengungkapkan bahwa Gradien sudah menerbitkan delapan judul blook sejak 2006. Blook yang dilepas ke pasar bisa laku lebih dari 6.000 eksemplar. Jika klaim itu akurat, angka ini bisa dianggap bagus dibanding rata-rata jumlah cetakan pertama buku ”konvensional” yang biasanya hanya berkisar 3.000 eksemplar.
Namun yang lebih menarik adalah melihat bagaimana media massa kita, yang kendati kian terbiasa melaporkan menjamurnya kegiatan dan pertemuan nasional para blogger, tetap belum berani memperkenalkan padanan baru bahasa Indonesia untuk ”blook”. Biasanya istilah yang digunakan sebagai pengganti ”blook” adalah ”buku yang berasal dari blog” atau kadang-kadang versi singkatnya ”buku blog” seperti pada judul artikel Koran Tempo di atas.
Padahal, jika ingin efektif dalam berbahasa, seperti menjadi fondasi terbentuknya ”blook”, para wartawan bisa memulai dengan sebuah alternatif segar: ”bluku” yang merupakan portmanteau dari ”blog” dan ”buku”. Apa boleh buat, kata ”blog” sendiri memang tetap dipertahankan dari bahasa aslinya—yang merupakan portmanteau dari ”web” dan ”log”—karena belum ditemukannya padanan yang sesuai dalam bahasa Indonesia.
Derasnya kata-kata baru yang berasal dari khazanah teknologi informasi biasanya disikapi para linguis dan penggiat bahasa Indonesia dengan mencoba mencari padanannya dalam bahasa ”asli” Indonesia. Demikianlah sehingga ”mouse” disebut ”tetikus” atau ”world wide web” dipadankan dengan ”jaring jagat jembar”.
Yang luput diperhatikan adalah bahwa upaya mencari padanan kata ini hanya bisa dilakukan pada kata-kata atau kalimat mandiri yang bukan merupakan portmanteau. Padahal di sisi lain, kosakata yang kini makin berbau digital itu tak bisa tidak dipenuhi oleh wabah portmanteau yang menyerbu dari segala penjuru.
Contoh paling gamblang adalah penggunaan kata ”e-mail” serta segala bentuk yang mengikuti formula ”e + kata benda”, seperti pada ”e-home” atau ”e-literature”. Penggiat bahasa kita, termasuk media massa, masih lebih memilih menggunakan padanan ”surat elektronik” ketimbang bentuk ekonomis ”surel”, ”rumah elektronik” ketimbang ”rumel” (kadang-kadang malah diterjemahkan sebagai ”rumah pintar” yang seharusnya merupakan hak untuk terjemahan ”smart home”), atau ”sastra elektronik” ketimbang ”sasel”. Mungkin ini juga karena ingin menghindari akronim.
Contoh lain yang kini kerap digunakan peminat sastra dan peminat teknologi adalah ”electracy” (kombinasi dari ”electronic” dan ”literacy”), istilah yang awalnya diperkenalkan Gregory L. Ulmer, profesor sastra Inggris di University of Florida pada awal 1990-an. Dengan demikian, konsep ”tidak melek huruf” (illiterate) yang merupakan salah satu indikator modernitas sebuah bangsa di era pra-Internet kini menjadi ”anelectrate”.
Uniknya, kendati ”electracy” bisa dengan tepat dipadankan sebagai ”sasel” dalam bahasa Indonesia, istilah salah kaprah ”sastra Internet” atau ”sastra dunia maya” masih lebih sering ditemukan dalam pelbagai artikel ataupun perbincangan komunitas sastra menyangkut apa yang mereka acu sebagai ”sastra elektronik”.
Lantas siapa ”Karel”? Tentu saja kata ini tidak mengacu pada Karel Agung (Charlemagne) yang hidup pada tahun 747-814. ”Karel” adalah portmanteau untuk ”kartu elektronik”, yang salah satu penggunaannya untuk mendistribusikan bantuan bagi rakyat miskin. Kurang-lebih seperti konsep bantuan langsung tunai di era Presiden Yudhoyono sekarang.
Dengan ”karel”, masyarakat miskin tak perlu lagi berdesakan antre saat menerima bantuan atau jatahnya dipotong sekian puluh ribu rupiah oleh aparat. Pemerintah cukup mengirimkan bantuan secara online yang bisa diambil di gerai uang tunai yang bisa mengakses ”karel”.
Tidak mungkin? Tentu saja saat ini terasa mustahil, karena konsep ”karel” hanya bisa dilakukan oleh ”pemel” atau ”pemerintahan elektronik” (e-government) yang efisien, praktis, cekatan, dan berorientasi ke depan. Bukan jenis pemerintahan yang sibuk menutup akses masyarakatnya dari ”pintu-pintu dunia”, seperti memblok situs YouTube misalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo