Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Warna-warni ’Another Asia’

Inilah potret masyarakat Asia Selatan dan Tenggara yang gagap dengan identitasnya. Muram tapi kocak dan segar.

28 Juli 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAKA, 1959. Tam Hon Lam, imigran asal Cina, bersama istrinya membangun sebuah studio foto bernama Pakard. Pada masa itu, hingga dasawarsa 1980, hanya kelompok atas dan sebagian golongan menengah yang memiliki kamera. Sisanya mengandalkan studio foto untuk mengabadikan diri mereka dan keluarga.

Studio itu berlanjut hingga tiga generasi. Saat ini Pakard dikelola Tam Kwong Win, anak lelaki Tam Hon Lam.

Selama berpuluh tahun keluarga itu mengabadikan berbagai foto warga Malaysia: pelbagai ras, pelbagai usia. Foto-foto pengantin pasangan Cina atau India. Foto wisuda atau anak balita. Warna-warna cerah atau sepia.

Adalah Yee I-Lan, fotografer Malaysia, yang mengumpulkan dokumentasi Pakard antara 1977 dan 1982 dari sisa negatif film yang masih dimiliki Tam. Sebagian klise itu sudah rusak atau hilang akibat banjir.

Oleh Yee, puluhan foto itu dikumpulkan dalam empat kategori: Kernamu, Menuju Kejayaan, Tempat Duduk, dan Bersatu Padu. Ini judul-judul atas sehimpun foto keluarga, foto wisuda atau sejenisnya, potret anak balita, dan foto perkawinan.

Yee ingin berkata: inilah cara kelas menengah Melayu mengidentifikasikan diri. Keluarga yang tertib: pria berdasi dan perempuan dengan blus berwarna cerah berdiri berjajar di atas lantai karpet. Lelaki dengan toga di kepala, atau mempelai perempuan dengan gaun putih menjuntai, sementara sang pria dibungkus jas licin kaku.

Di tempat lain, di India, Rajesh Vora mengumpulkan negatif film milik Rashid Shaikh, pemilik studio foto Kulsum.

Dimulai 25 tahun silam, Rashid berkeliling India mengikuti perjalanan sebuah kelompok teater. Di mana teater itu manggung, di situlah Rashid mendirikan studio dadakannya.

Kamar foto yang dimilikinya sangat sederhana: 10 papan kayu, 50 batang bambu, bentangan kain, dan 24 lampu disusun secepat kilat. Sebagai ornamen, dipasang papan karton berbentuk bintang film Bollywood, binatang, atau tokoh kartun Walt Disney. Klien Rashid—umumnya warga miskin India—membayar 35 sen untuk sekali jepret.

Persoalan identitas kembali muncul di sini. Ada lelaki miskin yang menatap bintang idolanya. Atau dua pria yang dipotret seolah berada di dalam pesawat udara. Dalam foto-foto Rashid, yang lucu sekaligus tragis hadir bersamaan.

l l l

Another Asia yang dipamerkan di Goethe-Institut Jakarta pada 18 Juli-18 Agustus 2008 adalah sebagian materi pameran bertajuk sama yang dipamerkan di Leeuwarden, Belanda, September 2006. Sebanyak 162 karya fotografer dari 13 negara dipilih dari total 700 foto.

Idenya adalah mengetengahkan Asia yang lain. Dalam benak orang Barat selama ini—setidaknya begitu yang dipikirkan penggagas pameran ini—Asia adalah Jepang, Korea, dan Cina. Pameran ini berfokus pada Asia Selatan dan Tenggara. ”Barat selama ini punya gambaran klise tentang Asia. Pameran ini berusaha menolak klise itu,” kata Alex Supartono, kurator Another Asia versi Indonesia.

Asia tak hanya ”dibaca” oleh juru foto lokal. Sejumlah pemotret Eropa dan Australia juga menjelajahi pelosok-pelosok New Guinea, Kamboja, atau Timor Leste. Para fotografer dibebaskan untuk mendefinisikan sendiri ”another” itu.

Paul Kadarisman (Indonesia), dalam foto bertajuk Mohammed and Me, muncul dengan ide yang unik. Bersama Muhammad Revaldi dan Arief Kamaludin, ia memang ”diminta” memotret umat Islam di Indonesia. Tapi Paul mengetengahkan ”Islam” dengan cara yang lain. Muhammad—ikon orang suci dalam khazanah Islam—dipindahkan menjadi ”orang biasa”. Bersama tiga orang bernama depan Muhammad (Muhammad Firman Ichsan, Muhammad Iqbal, dan Muhammad Revaldi—ketiganya juga fotografer), Paul muncul dalam tiga foto.

Ketiga Muhammad itu tentu ”tak Islam”—yang kerap disempitkan menjadi lelaki berbaju koko, berkopiah, dan bertasbih. Firman digambarkan sedang menggendong anjing. Dua yang lainnya: lelaki berjins belel dan berkaus butut serta pria dengan kemeja kotak-kotak yang sedang menyeringai. ”Muhammad sedang berubah,” kata Alex Supartono dalam katalog pameran.

Paul juga menerabas batas antara obyek dan subyek dalam fotografi. Ia, si subyek, juga menjadi obyek, demikian pula sebaliknya. Hal yang sama dilakukan Michael Shaowanasai (Thailand), yang memotret dirinya dalam berbagai versi: istri, korban perang, pasangan seksual, dan gadis sampul. Keasiaan juga tidak melulu diambil dari gambar yang merepresentasikan ide, tapi juga ide yang menjelma menjadi gambar.

Karya Remissa Mak (Kamboja), misalnya, berangkat dari sepotong pepatah Khmer kuno tentang hubungan yang saling menekan antarmanusia: ”Saat air pasang, ikan akan memakan semut; saat air surut, semut akan memakan ikan.”

Peribahasa itu secara letterlijk ditafsirkan Remissa. Melalui foto-foto jarak dekat yang kaya warna, ia menampilkan ikan yang memburu semut, atau semut yang menguliti ikan sampai tulang-belulangnya. Sebagai karya fotografi, karya Remissa tak luar biasa, tapi dalam hal gagasan, ia berhasil menemukan Asia ”yang lain” itu.

l l l

Tak semua fotografer berhasil menemukan ”yang lain” itu (atau ini semata karena ketidakcermatan sang kurator?). Yang umumnya gagal adalah mereka yang tak mendapatkan kekhasan.

Karya Wahyudi Raharjo (Indonesia) tentang buruh bangunan di gedung-gedung tinggi yang bekerja tanpa pengamanan, misalnya, tidak sepenuhnya mewakili kekhasan Asia Tenggara/Selatan. Hal yang sama terjadi pada Jurgen Huiskes (Belanda) tentang turisme di Angkor Wat, Kamboja. Huiskes prihatin pada komersialisasi akibat turisme di Kamboja—sesuatu yang sebetulnya juga terjadi di banyak negara.

Yang patut dipuji adalah Jann Benning (Belanda), yang menyindir birokrasi ala Asia. Melalui beberapa fotonya—dari portrait lurah hingga kepala polisi yang duduk di belakang meja seraya mengekspresikan kekuasaan yang mereka miliki—Benning ingin menampilkan potret pelayanan sipil dari berbagai tingkatan.

l l l

Berlebihan memang untuk mempertanyakan apa yang ”another” dalam pameran ini, meski tak bisa ditolak juga bahwa kategorisasi memiliki persoalannya sendiri. Pencarian identitas, kegamangan menghadapi modernitas, adalah problem semua bangsa—tak melulu problem masyarakat Asia.

Di ruang pamer, yang muram dan yang cemerlang disajikan dengan komposisi yang seimbang. Yang suram kadang diketengahkan dengan riuh—seperti pada kisah perempuan-perempuan yang selamat dari perdagangan manusia dalam karya Achinto Badra (India).

Another Asia memang bukan gagasan yang clear—dalam pengertian ide ini sesungguhnya masih bisa diperdebatkan lagi. Another Asia, karena itu, harus dipahami sebagai kategori yang longgar yang hanya memberikan ancar-ancar kepada para fotografer dalam membidikkan kameranya. Dengan kata lain, dengan atau tanpa label ”Asia yang Lain”, foto-foto itu sesungguhnya tak pernah kehilangan daya pikatnya.

Arif Zulkifli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus