Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Yang muda, yang utuh

Sutradara: syuman djaya skenario: umar kayam pemain: rendra, yati octavia, dll. resensi oleh: syu'bah asa. (fl)

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG MUDA YANG BERCINTA Cerita: Sjuman Djaja Skenario: Umar Kayam Sutradara: Sjuman Djaja RENDRA muncul dengan kuat. Bukan permainannya -- melainkan sosoknya, yang bergerak di antara beberapa kenyataan sosial. Memang, dalam film ini bukanlah kenyataan sosial itu sendiri yang paling penting. Rendra (peran yang dimainkannya, Sony) di sini pada akhirnya adalah sebuah watak. Di situ barangkali bedanya dengan film-film lain dari Sjuman. sutradara yang ingin lebih menyukai tema sosial. Si Mamad, sebagaimana juga Hasan dalam Atheis, tidak penting sebagai watak. Mereka hanya wakil khas sebuah klas atau lingkungan. Si Mamad klas karyawan kecil yang tertinggal. Hasan wakil lingkungan santri tarekat yang kalah. Seorang Sony, dalam YMYB, memang hampir saja jadi sekedar tipe. Ia hampir dikehendaki sebagai sebuah gambaran dari "mahasiswa pada umumnya" -- terutama bila Sjuman mengaitkannya demikian jauh dengan keresahan mahasiswa di tahun-tahun akhir. Tapi bahwa banyak hal yang dihadapi Sony ternyata tak ada hubungannya dengan keresahan tersebut, memang menunjukkan kurang jelasnya titik tolak. Dimunculkannya kehamilan kawan wanita Sony misalnya (Yati Octavia), sebagai problim yang mengharu-biru jiwa anak muda ini, sungguh berbeda kedudukannya dengan dimunculkannya kenyataan bahwa ayah dari kawan akrab Sony (Alex, Rudy Salam) adalah hartawan begundal Atau bahwa paman Sony sendiri kakitangan hartawan itu. Dua yang terakhir tersebut memang mewakili kenyataan yang erat kaitannya dengan keresahan mahasiswa - tapi soal kehamilan? Di situlah bisa diperbandingkan: bila munculnya tokoh Kartini dalam hidup seorang Hasan (dalam Atheis) terintegrasikan dalam bangunan cerita dan memperkuatnya, tokoh Titik dalam YMYI justru membikin pecah. Dari segi ini pula difahami mengapa pemotongan oleh pihak penguasa (600 meter seluloid alias 20 menit masa putar, menyangkut "semua adegan dan dialog yang bersifat politik," menurut bahasa Menteri Penerangan), justru menyebabkan film terasa utuh. Walaupun dua-tiga dialog terasa kehilangan akar karena terpotong awalnya. Tetapi dalam hasil yang kini bisa dilihat, tokoh Sony muncul lebih jelas sebagai watak. Kebingungannya bukan terutama disebabkan oleh bentuk-bentuk ketimpangan sosial yang ia hadapi. Melainkan oleh tuntutan tanggung jawab khususnya sehubungan dengan kehamilan si pacar dalam keadaan ia belum siap. Ini memang problim khas anak muda (bukan "khas mahasiswa"). Dan proses penyelesaian problim inilah menunjukkan temperamen tokoh Sony--seorang penyair yang tangkas dan tidak tentu-sebelum akhirnya ia dibimbing oleh "masa pengendapan" ke arah pengambilan keputusan. Kendra menghidupkan temperamen remaja itu dengan permainan patah-patah yang lebih lumayan dibanding dalam filmnya yang lain. Setidaknya boleh diingat bahwa Rendra 43 tahun, lebih tua dari Maruli Sitompul, 37, yang berperan sebagai ayahnya. Memang matanya yang keras itu kadang terasa agak lebih tepat untuk seorang yang matang. Agaknya skenario Umar Kayam menjadikan film ini terbebas dari kelambanan (cacat Sjuman yang lazim), dan mulus tanpa tersendat--meskipun mungkin juga ini berkat pemotongan. Kayam sendiri tidak hanya menyediakan dialog yang segar dan berkembang --dengan catatan film ini toh masih lebih banyak berbicara lewat dialog. Ia juga bicara tentang mahasiswa yang menghadapi kompleksitas sosial, namun di rumah secara tak sadar menerima kenyataan yang, "sudah sehari-hari". Alex, teman kuliah yang menunjukkan kebejatan ayahnya kepada si Sony, justru menikmati kekayaan melimpah sang ayah -- sementara Sony yang melarat juga menikmati harta pamannya yang begundal dan sangat sayang padanya. Anak-anak muda itu sendiri bergaul akrab. Juga antara kawan perempuan Alex yang "bebas", dengan pacar Sony yang anak pembuat kue. Faktor perbedaan harta dalam film lain yang melodramatis sering dijadikan latar konflik, tapi tidak dalam film ini. Dalam hal inilah misalnya YMYB berada dalam tradisi realisme --kecuali bahwa ia masih kurang hemat dengan kata-kata. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus