Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Indonesia agak dilematis untuk menurunkan suku bunga acuannya dari tingkat 7,5 persen saat ini. Tekanan agar bunga bisa lebih rendah makin terasa sebagai jalan keluar untuk merangsang pertumbuhan ekonomi kita yang terus lesu. Tapi, dengan rupiah yang masih menderita akibat dolar Amerika Serikat yang terus menguat, inflasi yang relatif tinggi, neraca perdagangan yang hanya sedikit membaik, dan antisipasi kenaikan suku bunga Amerika pada kuartal ketiga tahun ini, tak aneh kalau BI tetap mempertahankan tingkat BI Rate.
Tugas utama BI adalah menjaga kestabilan nilai rupiah. Ini dilakukan dengan menekan inflasi yang saat ini ditargetkan 4-5 persen dan menjaga nilai wajar rupiah terhadap mata uang dunia lainnya. Nyatanya, inflasi saat ini masih di tingkat 6,8 persen. Menjelang Ramadan, diperkirakan angka ini tetap tinggi. Masalahnya, tingkat inflasi yang tinggi menurunkan daya beli masyarakat sehingga tingkat konsumsi dan pertumbuhan ekonomi turut lemah. Sebaliknya, pertumbuhan menjadi target pemerintah. Di sinilah independensi BI penting dijaga, agar keseimbangan terjaga.
Menimbang pencapaian pada kuartal I, BI menurunkan perkiraan pertumbuhan 2015 dari 5,4 persen menjadi 5,1 persen. Tapi pertumbuhan pada kuartal II dan selanjutnya, oleh banyak pihak, diperkirakan lebih baik. Inflasi yang meningkat pada bulan puasa adalah karena aktivitas ekonomi yang biasanya meningkat, sehingga permintaan dan konsumsi naik. Kebanyakan proyek infrastruktur pemerintah pun sudah selesai ditenderkan dan akan memasuki tahap awal pembangunan pada kuartal II.
Hanya, angka impor April masih jauh di bawah tahun lalu. Ini mencerminkan masih lesunya pertumbuhan pada awal kuartal II.
Meski rinciannya belum diumumkan, BI punya rencana merangsang pertumbuhan kredit perbankan dengan mengurangi tingkat kewajiban pembayaran di muka atas pinjaman otomotif dan perumahan. Masalahnya, tingkat kredit bermasalah bank saat ini sedang meningkat akibat kelesuan pertumbuhan. Akibatnya, perbankan akan lebih sibuk membenahi portfolio pinjaman dan mengurangi biaya operasinya dibanding mengembangkan kredit mereka.
Sementara itu, harga bahan bakar minyak dalam negeri, meskipun disebut tak lagi disubsidi, belum sepenuhnya bergerak sejalan dengan harga minyak dunia. Pemerintah memang tidak menutup subsidi ini dengan anggarannya, tapi dengan dana Pertamina. Langkah semacam ini jelas tidak dapat dipertahankan untuk jangka panjang. Agar tak timbul gejolak, sekarang pemerintah sedang memikirkan melakukan revisi harga setiap tiga bulan.
Untungnya, tak semua data ekonomi membawa awan mendung. Pertumbuhan ekonomi kita yang rata-rata hanya 4,7 persen pada kuartal pertama tahun ini tak seragam di semua provinsi. Daerah yang berorientasi ekspor sumber alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua Barat, menunjukkan pertumbuhan negatif, masing-masing -1,9 persen, -0,2 persen, -1,3 persen, dan -1,5 persen.
Sedangkan provinsi yang lebih mengandalkan pasar dalam negeri dan sektor pertanian, seperti Jawa dan Sulawesi, serta pulau-pulau wisata, seperti Bali dan Nusa Tenggara Barat, menunjukkan pertumbuhan cukup tinggi. Ini menunjukkan pentingnya mendorong sektor wisata dan sedapat mungkin menggenjot pertumbuhan dengan meningkatkan belanja negara pada sisa tahun ini.
Ekonom, Komisaris Bank Danamon
KURS Rp per US$
Pekan lalu 13.158
13.215 Penutupan 29 Mei 2015
IHSG Pekan lalu 5.315
5.227 Penutupan 29 Mei 2015
INFLASI Bulan sebelumnya 6,4%
6,8% April 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7,5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
30 Maret 2015 US$ 111,6 miliar
US$ miliar 110,9 30 April 2015
PERTUMBUHAN PDB 2014 5,0%
5,7% Target APBN 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo