Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lobi Pengusaha Ikan di Meja Istana

Para pengusaha perikanan bergerilya hendak mencabut sejumlah kebijakan Menteri Susi. Disebut ada iming-iming satu triliun rupiah.

1 Juni 2015 | 00.00 WIB

Lobi Pengusaha Ikan di Meja Istana
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SUSI Pudjiastuti tampak emosional. Wajahnya memerah. Matanya sibuk mengamati ke kanan dan ke kiri mencari siapa yang berbicara. Menteri Kelautan dan Perikanan itu baru mengucapkan beberapa kalimat, tapi para perwakilan nelayan bersahutan memangkas pembicaraannya.

Belasan nelayan yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu asal Jawa Tengah itu melampiaskan kekesalan mereka terhadap kebijakan Menteri Susi. Mereka datang mengadu kepada Presiden Joko Widodo di Istana, Jakarta, Rabu siang, 8 April lalu.

Koordinator nelayan, Bambang Wicaksana, menceritakan, pertemuan selama satu jam di ruang makan Istana Presiden itu berlangsung panas. "Teman-teman berbicara dengan nada tinggi sambil menunjuk-nunjuk ke arah Susi," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Jokowi menengahi. Ia meminta Susi meninggalkan ruangan. Menurut Bambang, Susi keluar dengan muka masam. Di luar gedung, puluhan wartawan menanyakan isi pertemuan. Tapi tak ada jawaban. "Tanya saja sama nelayannya," ujar Susi sambil bergegas masuk ke mobil.

Pertemuan antara Jokowi, Susi, dan para nelayan itu tidak masuk agenda resmi Presiden. Acara di Istana itu adalah buah lobi sejumlah pengusaha perikanan tangkap yang merasa terusik bisnisnya akibat larangan penggunaan alat tangkap cantrang.

Seorang pebisnis asal Batang, Jawa Tengah, Siswanto, meminta bantuan Isnaini untuk bisa bertemu dengan Jokowi. Isnaini, menurut Bambang, adalah anggota tim pemenangan Jokowi saat pemilihan kepala daerah di Solo. Mereka minta berdialog dengan Jokowi karena tak ada solusi dari pertemuan dengan Menteri Susi, awal Januari lalu.

Para nelayan asal Jawa Tengah itu memprotes kebijakan Menteri Kelautan yang melarang penggunaan alat tangkap cantrang. Cantrang adalah jaring ikan dengan diameter mata jaring rapat. Menurut Susi, cantrang yang digunakan sejumlah nelayan itu sudah banyak dimodifikasi, misalnya dengan pemberat, sehingga bisa mengeruk seluruh biota sampai dasar laut, termasuk terumbu karang. Panjangnya pun ada yang mencapai 3-4 kilometer, jadi tak lagi melayang di permukaan.

Penggunaan alat ini dikhawatirkan merusak lingkungan. Karena itu, pemerintah melarang pemakaiannya melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap pukat hela (trawl) dan pukat tarik (seine net).

Menurut Bambang, hampir 70 persen nelayan di Jawa Tengah menggunakan cantrang. Dengan berlakunya aturan itu, banyak nelayan di sana tidak dapat melaut. "Banyak kapal mangkrak di pelabuhan enam bulan terakhir," katanya. Karena itu, Bambang ingin Jokowi turun tangan.

Bambang bersama 15 nelayan asal Pati, Rembang, dan Brebes akhirnya diundang ke Istana. Mereka berangkat bersama dari rumah yang dulu dipakai tim transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla di Menteng, Jakarta Pusat.

Dalam pertemuan, nelayan menuntut supaya penerapan aturan cantrang ditunda hingga tiga tahun ke depan. Alasannya, aturan tersebut tidak disosialisasi lebih dulu oleh Kementerian Kelautan. "Kami butuh masa transisi. Perlu modal untuk mengganti peralatan," ujar Bambang.

Susi berkukuh tak mencabut aturan. Apalagi ketentuan itu, menurut dia, sama sekali bukan barang baru. Pada 1980, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 39 tentang Penghapusan Alat Tangkap Jenis Trawl (Pukat Harimau). Hanya, penerapannya nyaris diabaikan nelayan dan pelaku usaha.

Tidak ada titik temu dari pertemuan di Istana itu. Menurut Susi, Presiden memilih mengembalikan kebijakan cantrang ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Tapi hanya boleh dipakai oleh kapal berukuran maksimal 30 gross ton dan beroperasi di wilayah perairan Jawa Tengah hingga 12 mil. "Di luar itu, akan saya tangkap," ucap Susi.

* * * *

GERILYA "melawan" kebijakan Susi juga dilakukan pebisnis perikanan lain. Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo), misalnya, memilih merapat ke Kantor Staf Kepresidenan. Seorang pejabat bercerita, Sekretaris Jenderal Abilindo, Wajan Sudja, bertemu dengan Deputi Kepala Staf Kepresidenan Purbaya Yudhi Sadewa, Maret lalu. Mereka memberikan masukan terkait dengan penyusunan roadmap budi daya kerapu. Wajan tak membantah adanya pertemuan tersebut. "Sebagai asosiasi, kami hanya kasih masukan terkait dengan pengembangan budi daya. Diminta atau tidak, kami akan menyerahkan," ujar Wajan kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Kementerian Kelautan saat ini memang sedang menyusun rencana peta itu. Yang sudah rampung antara lain soal budi daya rumput laut dan udang. Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan Slamet Soebjakto menilai langkah Wajan yang langsung ke Kantor Kepresidenan itu berlebihan. "Mungkin ada kepentingan sendiri," tuturnya. Slamet menambahkan, Kementerian akan membuat roadmap ikan kerapu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.

Wajan adalah pembudi daya ikan kerapu. Dia menentang Peraturan Menteri Kelautan Nomor 57 Tahun 2014 tentang larangan bongkar-muat di tengah laut atau transshipment. Wajan juga menolak rencana pembatasan masuknya kapal pembeli asal Hong Kong, yang biasa kulakan langsung ke sentra-sentra budi daya.

Dalam aturan Susi, Kementerian Kelautan hanya memperbolehkan kapal tersebut masuk melalui sentra budi daya kerapu seperti di Anambas, Kepulauan Riau. Tujuannya memudahkan pengawasan. Sebab, kata dia, selama ini penjualan langsung ke kapal Hong Kong banyak tak tercatat dalam neraca ekspor Indonesia.

Penutupan akses transshipment itu menyebabkan Wajan kehilangan pembeli utama. "Enggak ada yang beli. Jadi enggak ada pemasukan," ujarnya. Ia juga keberatan karena, untuk membawa ke Anambas atau pintu lain yang diizinkan, biaya produksi dan angkutan akan membengkak. "Sentra budi daya itu ada di seluruh pelosok negeri. Bayangkan biayanya untuk ke Anambas. Belum lagi risiko kalau ikannya mati. Siapa yang akan tanggung?"

Para nelayan mengadu pula ke Ombudsman. Melalui lembaga yang dipimpin Danang Girindrawardana itu, nelayan cantrang Jawa Tengah bertemu kembali dengan Susi pada 17 April lalu. Ombudsman juga menerima pengaduan dari Wakil KetuaKomisi Perikanan Dewan Perwakilan RakyatFirman Subagyo atas dasar laporan nelayan cantrang yang sama.

Dalam pertemuan di kantor Ombudsman di Kuningan, Jakarta, Firman dan Bambang Wicaksana turut hadir. Adu mulut kembali terjadi antara nelayan dan Susi. Menteri Susi sempat memberi solusi agar nelayan Jawa Tengah menangkap ikan di Perairan Arafura dengan syarat menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, seperti pole and line. Namun para nelayan tidak menggubris tawaran yang disodorkan. Sebab, menurut mereka, menjual hasil tangkapan di Indonesia bagian timur lebih sulit ketimbang di wilayah barat.

Tak puas di sana, Bambang cs sempat datang ke Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo, yang dimediasi oleh Firman. Pertemuan berlangsung di rumah dinas menteri di Widya Candra, Jakarta, beberapa waktu lalu. "Iya, betul lewat Firman. Mereka (nelayan) juga saya ajak makan siang," ujar Indroyono.

Di sela pertemuan, Indroyono menelepon Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Gelwyn Jusuf. Ia menyampaikan tuntutan nelayan Jawa Tengah untuk mencabut larangan cantrang. "Teleponnya di-speaker, Pak Gelwyn bilang akan keluarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Tapi sampai sekarang belum ada," kata Bambang.

Keluhan juga dibawa oleh PT Ocean Mitramas ke mana-mana. Pemilik Ocean, Esther Satyono, gusar terhadap penghentian izin sementara (moratorium) kapal eks asing, yang kini diperpanjang enam bulan hingga Oktober mendatang. Aturan tersebut sebelumnya dikeluarkan Susi pada 3 November tahun lalu. Selama masa moratorium, Susi melakukan analisis dan evaluasi terkait dengan legalitas 1.132 kapal eks asing.

Akibat aturan itu, 14 kapal miliki Esther tak dapat beroperasi. Dia berharap Kementerian Kelautan segera mengumumkan analisis legalitas agar kapal-kapalnya tidak nganggur lagi. "Kami enggak tahu lolos atau tidak. Sudah enam bulan kami ngencengin perut," ucap Esther.

Perlawanan pengusaha tak hanya dilakukan melalui lobi kepada pejabat tinggi. Susi bercerita, iming-iming duit pun bahkan pernah diterimanya dari pebisnis asal Cina. Larangan cantrang dan trawl, misalnya, ditawar seharga Rp 1 triliun. "Ini yang main bukandomestic playerlagi. Asing juga ikut memprotes aturan ini," ujar Menteri Susi tanpa bersedia menyebut pebisnis Cina yang dimaksud.

Menurut Susi, banyak kapal eks asing yang disulap menjadi kapal lokal menggunakan alat tangkap cantrang dan trawl. "Kapal-kapal itu dicat ulang, diberi bendera Indonesia, dan menggunakan alat tangkap trawl," katanya. Larangan cantrang membuat pebisnis asing defisit ikan. Karena itu, mereka sangat ingin ketentuan tersebut dicabut. "Saya tidak bisa dibeli."

Susi bergeming atas berbagai lobi pengusaha. "Ada yang mencoba lewat Istana, pura-pura jadi teman, lewat bos Susi Air. Macem-macemlah." Bagi Susi, semua aturan dibuat untuk kedaulatan maritim dan sumber daya laut yang berkelanjutan. Ia yakin didukung Presiden. "Bos saya Pak Jokowi. Kalau Pak Jokowi bilang A, saya nurut ikut A."

Devy Ernis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus