Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
--untuk Haidar Bagir.
Cinta: sebuah pengertian yang menggetarkan hati dan membingungkan selama berabad-abad, sepatah kata yang dengan mudah jadi banal tapi juga bisa membuat orang merelakan dirinya sendiri. Kita tak bisa merumuskannya. Ia bukan bagian dari yang secara konseptual kita ketahui.
"Cinta tak punya definisi", konon demikianlah kata Ibnu Arabi, sufi dan pemikir kelahiran Spanyol dari abad ke-12 itu dalam risalahnya, Futuhat. "Ia yang mendefinisikan cinta berarti tak mengenalnya...sebab cinta adalah minum tanpa hilang haus".
Cinta: kita hanya menangkapnya sebagai proses. Ia tak pernah bisa dipotret utuh. Seabad kemudian, Jalaluddin Rumi, sufi yang paling mashur mengungkapkan pengertian itu, menyebutnya Ishq, Cinta adalah "laut ke-Tak-Ada-an," kata Rumi. Tabir kerahasiaan selalu mengerudunginya. "Apapun yang kau katakan atau lakukan untuk menanggalkan tabir itu, kau akan menambahkan selapis tabir lagi di atasnya". Menemui Cinta,"intelek lumpuh kakinya".
Agaknya karena itu, dalam ribuan baris masnawi dan diwannya, Rumi hanya mengemukakannya dalam kiasan, dalam alegori dan dalam bentuk negasi -- dengan sederet kata bukan: Cinta adalah "sebuah pohon yang tegak bukan di atas tanah bukan di atas pokok, bahkan bukan di mahkota Surga".
Mungkin Cinta hanya jelas sebagai antithesis. Dalam renungan Rumi, Cinta sering nampak sebagai kekuatan di kubu yang berlawanan dengan nalar.: sementara intelek atau nalar sibuk menerangi ruang dan meraih dunia, Cinta punya hidup dan aktivitasnya sendiri:
Nalar menegakkan pasar
dan mulai berdagang
Cinta menyimpan kerja
dalam persembunyian
Orang yang mencintai, kata Rumi pula, "menemukan tempat-tempat rahasia di dunia yang penuh kekerasan ini". Di sanalah mereka "melakukan transaksi dengan keindahan".
Tapi tempat seperti itulah yang tak diakui "Nalar".
Omong kosong, ujar Nalar.
Aku telah berkeliling dan mengukur dinding
dan tak kujumpai tempat seperti itu.
Kontradiksi antara Cinta dan Nalar -- atau semacam sikap anti-nalar -- bukan cuma disuarakan para Sufi Islam di zaman Ibnu Arabi dan Rumi. Di abad ke-20, terutama di Eropa, sejak berkecamuk krisis kepercayaan kepada rasionalisme, beberapa pemikir juga menegaskan pertentangan atau ketidak-cocokan itu.
Di tahun 1930-an di Prancis, Bergson mengumandangkan pengertian élan vital, dorongan hidup yang terus menerus mengalir dan tumbuh, bukan kehadiran yang statis. Ilmu, yang disusun intelek/nalar, tak akan mampu menerjemahkannya. Nalar mampu menganalisa, menganalisa berarti mengurai, tapi untuk itu kita harus memandang sebuah proses yang bergerak terus seakan-akan mandeg. Sebuah lagu menghanyutkan atau menggugah perasaan kita: intelek bisa mengurai lagu itu jadi deretan not, dan dengan cara itu kita menghitung tinggi-rendahnya nada. Tapi dengan demikian lagu itu seakan-akan benda yang "berhenti"; kita tak mendengarkan lagi merdunya.
Baru lagu itu bisa hadir sebagai alun yang bergerak, menggetarkan, jika kita berangkat dengan intuisi. Hanya dengan intuisi, kata Bergson, kita bersua dan menangkap élan vital yang menggerakkan kehidupan.
Saya pikir élan vital itulah yang dalam peristilahan Rumi disebut Ishq dan dalam istilah yang lebih lazim disebut Cinta.
Ishq anti-mandeg. Ia lawan kebekuan. Ia menampik ide yang jadi dogma dan hidup yang diterjemahkan dalam bilangan hari. Ia menolak akal yang membuat kalkulasi untuk mencapai satu tujuan. Ia tak patuh kepada "akal instrumental" yang efektif buat menaklukkan alam, menjadikan dunia sebagai obyek, menghimpun modal, ("menegakkan pasar", dalam kata-kata Rumi di atas), dan menguasai sesama.
Maka Cinta tak akan bisa hidup bersama perhitungan untung rugi, tak bisa dipakai dalam siasat politik. Juga tak bisa menerima doktrin yang membekukan pikiran dan perasaan -- doktrin yang ampuh untuk mengukuhkan kekuasaan. Cinta berani lepas dari itu semua. Ia mengembara, mencari terus menerus, mencoba memasuki misteri yang dihadirkan Tuhan.
Agaknya bukan kebetulan jika Cinta -- yang bergetar di dasar hidup para sufi -- terasa intens sebagai perlawanan ketika kekuasaan jadi tujuan hidup orang-orang yang seharusnya dekat dengan Tuhan.
Di abad ke 11 dan 12, dari Baghdad sampai dengan Kairo, para qazi yang jadi hakim agung agama tak jarang menggunakan kekuasaan mereka untuk hidup nyaman. Di masa itulah, Sanai, penyair sufi kelahiran Afghanistan, menulis Hadiqat al-haqiqat (Kebun Kebenaran) dan mencerca hakim agama yang "menuliskan fatwa menyerukan pertumpahan darah, digerakkan niat keji, kebodohan dan sifat tamak". Ia caci mereka sebagai para ulama yang seraya "menerima suap, menggariskan aturan".
Perlawanan terhadap kebusukan itu juga yang mendorong Sanai menjauh dari godaan kekuasan. Ia bertemu dengan seorang sufi, dan sejak itu ia melepaskan jabatannya di Istana Ghaznavid Bahram-shah.
Kisah yang lebih terkenal adalah bagian dari otobiografi Al Ghazzali, al-Munqidh min al-Dalal ("Selamat dari Sesat"). Dalam Rumi: Past and Present, East and West, Franklin D. Lewis menguraikan dilema yang dialami ulama besar pada abad ke-12 itu: Al Ghazzali menikmati posisi yang makmur sebagai tokoh agama yang jadi pengajar utama Perguruan Nazimiyah di Baghdad, tapi ia juga tahu integritas dirinya pelan-pelan rusak. Selama hampir enam bulan ia terombang-ambing "antara daya tarik duniawai dan dorongan ke kehidupan yang kekal". Akhirnya ia meninggalkan kota besar yang gemerlap itu, Baghdad; ia pergi mengembara.
Ia mungkin bukan digerakkan Cinta seperti Rumi. Tapi ia tahu Tuhan tak ada di dekat kursi tempat orang pamer kepandaian dan memajang kealiman. Ia tahu Tuhan tak dapat dijangkau dengan nalar laba-rugi; sang sufi memilih Cinta dan sunyi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo