Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

'Cangkem Mungil' di Bank Bali?

Nasib Bank Bali makin ruwet. Pengadilan membatalkan pengambilalihan Bank Bali oleh pemerintah. Gubernur bank sentral mengancam menutupnya. Ada pula ''Cangkem Mungil", investor ''Jerman" yang tak peduli rugi, terus menyosor sahamnya.

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bank Bali, seperti namanya, agaknya mengesankan sebuah perjalanan atau satu petualangan. Barangkali karena sawab itulah Bank Bali menuju pada nasibnya saat ini: tanpa alasan jelas, berpindah tangan dari satu pemilik ke pemilik yang lain. Sejak krisis meletup dua tahun lalu, Bank Bali sedikitnya sudah empat kali ganti pemilik. Dari tangan pendirinya, keluarga Ramli, Bank Bali diambil oper Standard Chartered, sebuah bank bereputasi internasional dari Inggris, setahun lalu. Tapi itu tak lama. Gara-gara ''pencaplokan" Standchart melahirkan banyak konflik dan keganjilan, bank berlogo jempol ini diambil alih pemerintah. Terakhir, pekan lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memutuskan pengambilalihan oleh pemerintah merupakan tindakan ilegal. Untuk itu, Bank Bali harus dikembalikan kepada pemiliknya. Siapa? Jika merujuk daftar pemegang saham yang ada saat ini, Bali mestinya bukan kembali ke tangan Rudy Ramli (pewaris keluarga Ramli), tapi ke pangkuan Deutsche Boerse Clearing Ag (DBC). Menurut catatan, sejak awal Maret lalu, lembaga kliring dari Jerman itu kini menguasai hampir 50 persen saham Bank Bali. Tapi, kepemilikan DBC, menurut seorang analis perbankan di bursa Jakarta, ''Juga tak akan langgeng." Bukan cuma karena Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Bank Indonesia naik banding atas keputusan PTUN. Lebih dari itu, peluang lembaga keuangan Jerman yang mewakili ribuan investor itu untuk menguasai Bali akan terganjal Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Otoritas pasar modal Indonesia ini telah melarang DBC menambahkan modal ke Bali, jika mereka ngotot tak mau membuka diri. Seperti diketahui, agar tetap hidup, Bank Bali harus disuntik kapital triliunan rupiah. Jadi, sepanjang DBC menutup diri (dan tampaknya akan demikian), Bank Bali akan kembali berpindah tangan—dan juga nasib. Apa arti pusaran nasib Bank Bali bagi publik? Tak banyak, kecuali pergantian pemilik itu menghambat penyehatan Bank Bali. Pendapatan bunga yang negatif akan terus merongrong permodalannya sehingga Bank Bali perlu kapital lebih besar. Berdasarkan audit tahun lalu, kebutuhan modal untuk mempertahankan kehidupan Bank Bali cuma Rp 1,8 triliun. Sembilan bulan kemudian, kebutuhan itu melambung menjadi Rp 4,1 triliun. Dan kini, berdasarkan taksiran laporan keuangan akhir tahun 1999, kebutuhan itu sudah berlipat menjadi Rp 4,6 triliun lebih. Dengan aksi banding BPPN, jelas bahwa proses rekapitalisasi itu akan tertunda lagi. Menurut penasihat hukum BPPN, untuk mencapai satu keputusan yang berkekuatan hukum, kasus Bank Bali diperkirakan bakal makan waktu sampai satu tahun. Bisa dibayangkan berapa besar tambahan biayanya. Itu berarti beban rakyat makin bertumpuk karena pemerintah sudah kadung menyanggupi, 80 persen injeksi modal itu akan ditanggung anggaran negara. Barangkali karena itulah Gubernur Bank Sentral, Syahril Sabirin, membuka pintu lain bagi Bank Bali. Bank yang terkenal berhati-hati menyalurkan kredit dan memiliki ratusan ribu rekening nasabah itu bukan tak mungkin akan ditutup. ''Kalau kinerjanya makin jelek, mengapa tidak," kata Direktur Direktorat Hukum BI, Sys Abadi. Tapi, penutupan Bank Bali juga bukan tanpa ongkos. Pemerintah harus membayar (atau tepatnya menalangi) semua kewajiban bank seperti dana masyarakat, pinjaman ke pasar uang antarbank, dan pinjaman ke Bank Indonesia. Boleh jadi, biaya penutupan Bali jauh lebih besar ketimbang biaya untuk mempertahankannya. Lagi pula, jika Bank Bali ditutup saat ini, itu berarti pemerintah sudah pilih kasih: tak konsisten atas beleidnya sendiri. Setahun lalu, tujuh bank bobrok yang sudah diemohi pemiliknya bukannya ditutup, tapi malah dipelihara terus sampai sekarang. Alasannya, jumlah nasabahnya sudah lebih dari 80 ribu rekening. Penutupan bank-bank padat nasabah seperti ini, kata Menteri Keuangan, ''Akan mengganggu proses transaksi masyarakat." Sulit dibantah, Bank Bali merupakan cermin retak perbankan kita. Apa yang terjadi saat ini, perdebatan di PTUN, tarik ulur di Bapepam yang terus menunda rencana penambahan modal Bank Bali, hanya buntut dari sesuatu yang lebih besar: pertarungan tingkat tinggi untuk menyelamatkan muka orang-orang penting. Menurut seorang analis saham perbankan, pertarungan memperebutkan saham Bank Bali terus memanas sejak skandal pengalihan tagihan (cessie) terbongkar tahun lalu. Tak lama setelah itu, tiba-tiba ada investor ''Jerman" yang tergabung dalam DBC yang terus memborong saham Bank Bali—tak peduli apa pun yang terjadi. Ketika harga saham Bank Bali jatuh terbanting ke selokan gara-gara pemerintah mengambil oper kepemilikannya setahun lalu, DBC juga tak berhenti memborong. Pendek kata, di saat semua orang tak melihat adanya alasan untuk membeli saham Bank Bali, DBC terus menyerbu tanpa peduli berapa pun harganya, betapapun besar risikonya. Sikap main borong ini tentu saja menimbulkan tanda tanya. Banyak spekulasi. Ada yang menyatakan investor ''Jerman" di balik DBC cuma topeng sejumlah penguasa Indonesia yang punya akses informasi kelas satu sehingga tahu betul nasib dan masa depan Bank Bali. Mereka memang ingin menguasai Bali demi prospeknya di masa depan. Tapi spekulasi ini sekarang terbantahkan: setelah prospek Bank Bali makin terpuruk, sang ''Jerman" tak juga melepas sahamnya. Tanpa pernah terbongkar motifnya, DBC terus memborong. Kian lama, jumlah sahamnya kian besar. Awal Maret lalu, kumpulan investor Jerman ini sudah menguasai hampir 50 persen saham Bank Bali. Keruan saja, Bapepam sebagai otoritas pasar modal langsung memasang teropong. ''Terus terang," kata Ketua Bapepam Herwidayatmo, ''kami curiga dengan sikap main borong tanpa disertai alasan yang masuk akal." Tapi, Herwid tak ingin berpusing-pusing. Ia cuma memasang syarat: Bapepam melarang DBC menambah modal Bank Bali, kecuali jika mereka membuka diri. Secara resmi DBC memang telah mengirimkan jawaban. Katanya ada sekitar 100 bank yang ikut membeli saham Bali. Di antara mereka ada lima investor terbesar, tapi tak satu pun yang secara langsung ataupun tidak memiliki lebih dari 5 persen saham. Karena itu, tak ada kewajiban untuk melaporkan siapa yang berada di belakangnya. Jawaban itu tentu tak memuaskan Bapepam. ''Kami tak percaya (bahwa tak ada sesuatu di balik DBC)," kata Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyelidikan Bapepam, M. Noor Rachman. Penelitian Bapepam ke Jerman kepentok aturan kerahasiaan bank: siapa yang berada di balik bank-bank pembeli saham Bank Bali ini tak boleh diungkap. DBC tetap menjadi misteri bagi Bapepam. Dan bukan cuma Bapepam, para analis di pasar modal juga mencium sesuatu di balik sepak terjang sang Jerman. ''Adalah mustahil ada penasihat investasi di luar negeri yang saat ini memberikan rekomendasi beli untuk Bank Bali," kata Lin Che Wei, Kepala Riset SocGen Global Equity. Seorang analis bank ternama yang punya jaringan internasional juga menyatakan hal senada. Katanya, orang Indonesia yang paham keadaan saja tak ada yang mau beli. ''Mana mungkin ada begitu banyak orang Jerman yang punya keinginan yang sama tentang Bank Bali." Bisik-bisik di kalangan analis pasar modal memunculkan spekulasi terbaru yang saat ini diyakini paling tepat. DBC disebut-sebut merupakan topeng seorang investor hebat yang sering disebut sebagai si ''Cangkem Mungil". Pemodal yang punya akses khusus dengan Jerman ini kabarnya ingin menguasai Bali bukan demi keuntungan, tapi nama baik. Dengan beking satu konglomerasi besar, begitu menurut yang empunya cerita, Cangkem Mungil berharap bisa menyetir Bank Bali. Dengan cara ini, apa yang pernah terjadi di Bali bisa ditutup rapat. Tapi ternyata skenario mereka meleset 180 derajat. Bapepam terus mengejar identitas mereka, jika DBC ingin tampil sebagai si mayoritas. Lalu, mengapa perubahan skenario ini tak membuat DBC melepaskan saham untuk mengurangi kerugian? ''Sekarang sudah telanjur basah," kata seorang analis, ''Daripada ketahuan, lebih baik merugi ratusan miliar rupiah." Kalau betul begitu, betapa besar nama baik yang dipertaruhkan si Cangkem Mungil. Tapi, betapapun besarnya, Bapepam tak perlu merisaukannya agar kerugian publik atas biaya penyehatan Bank Bali tidak makin besar…. Dwi Setyo, Lea Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus