GUS Dur bukan Soeharto. Paling tidak, ini bedanya: Soeharto mengikuti tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) menaikkan harga bahan bakar minyak, Gus Dur tidak.
Dua tahun lalu, Soeharto tak berani menolak permintaan IMF memotong subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kendati rakyat memprotes dan mahasiswa berdemo, Soeharto tetap menaikkan harga BBM. Harga bensin, misalnya, naik hampir 50 persen, dari Rp 700 menjadi Rp 1.000. Akibatnya, pemerintahan yang sudah bertahan lebih dari 30 tahun itu tumbang.
Sebaliknya kini Gus Dur, begitu Presiden Abdurrahman Wahid biasa dipanggil. Ia langsung menunda rencana kenaikan harga BBM begitu mahasiswa terlihat mulai berdemo dan para sopir angkutan kota mengancam mogok. Gus Dur seperti tak peduli apakah IMF setuju atau tidak, apakah IMF mau mencairkan pinjaman atau tidak.
Tantangan yang dihadapi Gus Dur saat ini dengan persoalan Soeharto dua tahun lalu sebenarnya berbeda. Dengan cerdas, pemerintahan Gus Dur kali ini merencanakan kenaikan harga minyak secara selektif, tidak pukul rata. Penduduk miskin dan angkutan umum akan diberi subsidi khusus sehingga kenaikan harga bensin dan minyak tanah tidak menghantam seluruh sendi perekonomian dengan telak. Meskipun demikian, para wakil rakyat di DPR berpendapat, pemerintah belum siap menggelar subsidi bertarget ini. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi Gus Dur kecuali menunda kenaikan BBM.
Namun, penundaan ini harus dibayar mahal. Sepanjang harga BBM belum bisa dinaikkan, pemerintah harus membayar subsidinya. Menurut Ketua Tim Kelompok Kerja BBM di Bappenas, Bemby Uripto, pada tahun anggaran 2000, pemerintah menganggarkan subsidi untuk bahan bakar minyak Rp 22,4 triliun, atau Rp 2,48 triliun tiap bulan. Makin lama pemerintah menunda kenaikan BBM, subsidi yang harus dibayar juga makin besar. Padahal, menurut perhitungan Deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Sumber Daya Alam, Herman Haeruman, jika harga BBM dinaikkan sesuai dengan jadwal (dengan subsidi bertarget seperti direncanakan), pemerintah hanya akan membelanjakan tak sampai setengah triliun rupiah sampai akhir tahun ini.
Gus Dur sendiri belum memberikan ancar-ancar sampai kapan kenaikan harga ini ditunda. "Kita akan meninjaunya setiap minggu," katanya. Jika dipandang sudah siap, pemerintah akan menaikkan harga BBM. Namun, Herman memberi tenggat: penundaan ini tak boleh lebih dari tiga bulan. Soalnya, tiga bulan saja, dana untuk menambal subsidi BBM akan mendekati Rp 7,5 triliun. Ini bukan jumlah yang sedikit di tengah upaya pemerintah mengetatkan anggaran.
Untuk mengurangi beban anggaran, biaya subsidi selama masa penundaan ini bisa juga dikompensasikan pada kenaikan harga BBM kelak. Gampangnya, biaya penundaan ini dibebankan pada rakyat pembeli bahan bakar minyak. Jadi, untuk "mengganti" biaya subsidi, kenaikan harga BBM kelak harus naik lebih besar dari yang direncanakan, yaitu 12 persen. Kompensasi seperti ini tentu saja membuat rakyat makin berat menanggung dampak penundaan kenaikan harga BBM.
Semua skenario ini agaknya buah dari pemerintahan yang lamban, santai, dan barangkali juga kebanyakan canda. Bahwa subsidi harus dikurangi, bahwa subsidi hanya akan diberikan kepada mereka yang berhak bukanlah rencana baru. Ini semua sudah dirancang jauh-jauh hari. Persoalannya, mengapa pada hari yang telah ditetapkan, pemerintah tak juga siap menggelar teknis pelaksanaannya?
Subsidi bertarget adalah jurus cerdas untuk mengatasi anggaran yang terbatas. Bayangkan, jika dilaksanakan secara efektif, dengan anggaran cuma Rp 490 miliar, pemerintah bisa mengisolasi dampak kenaikan harga BBM agar tak meluas. Anggaran yang cuma seupil ini jelas jauh lebih hemat ketimbang subsidi BBM dan energi yang tahun lalu, misalnya, memakan ongkos sampai Rp 40 triliun.
Dengan menunda kenaikan harga minyak, Gus Dur akan menghadapi dua pilihan: beban anggaran membengkak atau harga BBM harus dinaikkan lebih tinggi lagi. Gampang dipahami jika kedua pilihan ini bisa menyebabkan tekanan politik yang tak kalah kencangnya dengan menaikkan harga BBM saat ini juga. Artinya, risiko politik yang harus dihadapi Gus Dur tidak akan berkurang.
Tapi, nasi telah jadi bubur, Gus. Keputusan sudah kadung diambil. Kita tunggu saja apakah kemampuan Gus Dur mengatasi masalah memang berbeda dengan Soeharto.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini