Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rini dan Dorys di Agrakom

Bekas Presiden Direktur Astra International, Rini M.S. Soewandi, ternyata tertarik pada dunia maya. Bersama koleganya, Dorys Herlambang, sebelumnya Direktur Keuangan Astra, Rini masuk ke PT Agrakom. Dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) Agrakom yang dilaksanakan Rabu pekan lalu, kedua eksekutif Astra ini masuk ke dewan komisaris bersama Dirut PT Timah, Erry Riyana Hardjapamekas, dan kolumnis Wimar Witoelar. Erry ditunjuk menjadi komisaris utama. Rini sendiri selain menjadi komisaris juga menjadi ketua komite eksekutif, lembaga gabungan antara komisaris dan direksi.

Agrakom, yang didirikan pada 1995, kini punya bisnis internet terbesar di Indonesia. Sebelum masuknya para eksekutif papan atas tersebut, Agrakom berhasil menjual 20 persen sahamnya kepada Techpacific.com (Hong Kong). Saat ini, Agrakom juga menyiapkan diri untuk masuk bursa (initial public offering). Namun, Rini masih belum bersedia mengungkapkan kapan itu akan dilakukan.

DPR Tolak Calon Dirut Telkom

Komisi IV DPR RI menolak paket direksi Telkom yang akan diajukan pemerintah dalam RUPS Telkom, Jumat pekan depan. Menurut Ketua Komisi IV, Sadjarwo Sukardiman, pemerintah tidak terbuka dalam memilih direksi Telkom. Karena itu, Sadjarwo minta agar RUPS Telkom ditunda sampai pemerintah kembali melakukan uji kepantasan (fit-and-proper test) yang transparan terhadap calon-calon anggota direksi Telkom. Salah satu calonnya adalah Muhammad Nazief, yang kini adalah Pembantu Rektor II Universitas Indonesia, yang akan dicalonkan menjadi dirut Telkom.

Repotnya, tak cuma transparansi itu yang dipertanyakan anggota DPR. Sejumlah anggota malah mempertanyakan kredibilitas dan kemampuan salah satu calon pemerintah. Wakil Ketua Komisi IV, Rosyid Hidayat, mengatakan bahwa Telkom seharusnya dipimpin dirut yang berpengalaman. ’’Bukan oleh pembantu rektor yang juga bekas direksi bank yang kinerjanya juga bisa dipertanyakan,” katanya. Nah.

OPEC Menambah Produksi

Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) akhirnya menyerah terhadap keinginan Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Dalam rapatnya di Wina, Rabu pekan lalu, OPEC bersedia menaikkan produksinya tujuh persen (1,45 juta barel), menjadi 21,07 juta barel per hari. Presiden AS, Bill Clinton, sangat gembira mendengar keputusan itu. ’’Keputusan ini akan membantu pertumbuhan ekonomi dunia yang berkesinambungan dan menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan,” kata Clinton seperti dikutip Reuters.

Namun, itu bukanlah kesepakatan bulat. Dari 11 negara anggota OPEC, Iran tak mau meneken kesepakatan penambahan produksi ini, sedangkan Irak masih terkena pembatasan produksi. Menurut produsen minyak terbesar kedua di OPEC ini, keputusan lahir semata-mata karena intervensi AS. Padahal, keputusan itu bisa menjatuhkan harga minyak di pasar internasional. Saat ini, harga minyak Brent (Laut Utara) US$ 25-US$ 32 per barel. Dengan keputusan tersebut, harga Brent diperkirakan akan turun sampai US$ 20-US$ 25. Meskipun menolak, Iran sendiri juga akan menaikkan produksinya karena tak ingin jatahnya hilang.

Marubeni Vs BPPN di Chandra Asri

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dikabarkan akan menolak proposal restrukturisasi utang PT Chandra Asri Petrochemical Company (CAPC) yang diajukan salah satu pemegang sahamnya, Marubeni. Chandra Asri, yang didirikan Bambang Trihatmodjo, Prajogo Pangestu, dan Henry Pribadi, punya utang macet Rp 3 triliun, yang kini ditangani BPPN. Dalam proposal tersebut, Marubeni mengusulkan seluruh utang Chandra Asri, yang mencapai Rp 3 triliun, ditukar dengan saham (debt-to-equity swap).

Jika pemerintah menyetujui usulan ini berarti akan ikut menanggung utang-utang Chandra Asri, termasuk terhadap Marubeni, yang nilainya mencapai US$ 700 juta, yang seharusnya dibereskan akhir pekan lalu. Pemerintah mestinya tak mau buntung untuk kedua kalinya. Sebelumnya, utang Chandra Asri ke dua bank pemerintah senilai US$ 350 juta ditukar dengan saham melalui pembentukan perusahaan investasi. Celakanya, kedua bank itu tak punya hak suara di Chandra Asri.

Selain itu, solusi tukar utang-saham ini juga tak ada prospek untungnya. Soalnya, nilai pasar Chandra Asri sekarang diperkirakan tak lebih dari US$ 700 juta. Karena itu, jika pemerintah bersedia menukar utang dengan saham, artinya pemerintah sama saja harus menanggung penggelembungan (mark-up) investasi yang dilakukan para pemegang sahamnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum