Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font color=#FF0000>Awas, </font> Efek Domino dari Rusia

Harga pangan dunia terancam melambung akibat bencana dan kekeringan di Negeri Beruang Merah. Dampaknya terasa seusai Lebaran. Menteri Mari Pangestu pasrah?

23 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia Franciscus Welirang dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia Natsir Mansyur bergegas menuju lantai 4 Gedung A.A. Maramis, Kementerian Koordinator Perekonomian, Rabu siang dua pekan lalu. Mereka hendak menghadiri rapat bersama Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan sejumlah pejabat pemerintah lainnya. Setelah satu jam berlalu, kedua pengusaha tersebut meninggalkan kementerian di bilangan Lapangan Banteng itu. "Saya diajak rapat membahas dampak perubahan iklim," ujar Franciscus kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Perubahan iklim tak bisa dipandang remeh. Dampaknya sudah dirasakan oleh sejumlah negara. Di Rusia, misalnya, fenomena La Nina telah membuat cuaca menjadi panas ekstrem, yang mengakibatkan kekeringan dan kebakaran di lahan-lahan pertanian, khususnya ladang gandum dan barley-sejenis tanaman untuk pakan ternak. Produksi dua komoditas pangan Negeri Beruang Merah itu menurun drastis. Terpaksa Rusia menghentikan ekspornya ke sejumlah negara karena mesti memenuhi kebutuhan dalam negerinya dulu. Tiga negara lain, Turki, Pakistan, dan India, juga telah menutup keras ekspor gandum. "Pemerintah ingin tahu sikap kami atas masalah pangan itu," kata Natsir.

Bencana di Utara itu membuat dunia khawatir krisis pangan global akan terulang lagi. Terlebih lagi wilayah barat Australia, eksportir gandum nomor empat di dunia, juga terancam kekeringan. Tiga tahun silam, pasokan komoditas pangan dunia seret. Akibatnya, penduduk di sejumlah negara kesulitan mendapatkan bahan makanan lantaran harganya terbang tinggi. Kini kekhawatiran bukan tanpa alasan karena efek Rusia membuat harga gandum di sejumlah bursa berjangka komoditas melambung. Di bursa komoditas Chicago, harga gandum naik dari 500 sen dolar Amerika Serikat per bushel (gantang) pada akhir Juli menjadi 750 sen dolar Amerika pekan lalu. (Lihat "Dari Rusia ke Kaki Lima".)

Kenaikan harga gandum telah memicu lonjakan harga serealia lainnya, seperti jagung dan kedelai. Harga minyak kelapa sawit, substitusi dua komoditas ini, ikut-ikutan terkerek. Harga beras di pasar dunia juga terancam terbang gara-gara bencana banjir di Cina, Korea Utara, dan Pakistan. Banjir di Negeri Tirai Bambu telah menaikkan harga beras sekitar sembilan persen, tertinggi sejak Oktober tahun lalu.

Munculnya ancaman krisis pangan global membuat pemerintah Indonesia waswas. Karena begitu gentingnya masalah pangan dunia, pemerintah intensif menggelar rapat koordinasi. Sumber Tempo di Kementerian Perekonomian mengungkapkan biasanya rapat koordinasi pangan dilakukan setiap bulan. Tapi, sejak ada ancaman krisis pangan global, rapat koordinasi digelar setiap Rabu, sepekan sekali. "Dua bulan terakhir rapat intensif," ujar sang sumber.

Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi kepada Tempo di Jakarta pekan lalu membenarkan hal tersebut. Dulu, kata Bayu, rapat koordinasi digelar setiap bulan dan hanya dihadiri pejabat lintas departemen selevel direktur jenderal. Sekarang, rapat koordinasi pangan dilakukan setiap pekan dan dihadiri langsung oleh sejumlah menteri. "Itu karena ancaman krisis pangan dunia serius," ujarnya. Stok dan produksi pangan, terutama beras nasional, kata Bayu, memang aman dan mencukupi. Tapi Indonesia tak bisa menganggap sepele potensi krisis pangan dunia itu.

Dua pekan lalu, setelah bertemu dengan Franciscus dan Natsir, Menteri Mari langsung memimpin rapat koordinasi pangan. Rapat yang sama kembali digelar Rabu pagi pekan lalu. Kali ini Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang memimpin rapat. Hadir sejumlah menteri, seperti Mari, Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar, Menteri Pertanian Suswono, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, dan Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya. Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan dan Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso juga hadir.

Menurut Bayu, dalam rapat koordinasi tersebut, pemerintah secara umum membahas kondisi terbaru pangan global. Rapat juga menyinggung cara mengantisipasi efek domino lonjakan harga pangan dunia terhadap harga beras dan komoditas lain di Indonesia. Pemerintah menyiapkan sejumlah jurus mengantisipasi lonjakan harga pangan di Tanah Air, antara lain operasi pasar dan kemungkinan menggunakan dana stabilisasi pangan dan dana kontingensi masing-masing senilai Rp 1 triliun.

Sutarto menambahkan, dalam rapat koordinasi pangan, Bulog menyampaikan usul percepatan tanam padi awal September ini agar awal Januari tahun depan stok beras nasional terus meningkat. "Mumpung sedang kemarau basah," ujarnya.

l l l

KANTOR Kementerian Koordinator Perekonomian, pertengahan 2008. Bayu Krisnamurthi-ketika itu menjabat Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan-bertemu dengan Pejabat Pelaksana Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani. Bayu, sebagai ketua tim koordinator pangan, mengusulkan pemerintah menganggarkan dana stabilisasi pangan periode 2009.

Dana khusus ini perlu disiapkan berkaca pada pengalaman krisis pangan global sebelumnya. Pada September 2007, harga minyak kelapa sawit dunia melonjak. Pasokan di dalam negeri seret. Empat bulan berikutnya, harga kedelai impor melonjak tajam. Ribuan perajin tahu dan tempe, konsumen kedelai, menggelar unjuk rasa besar di depan Istana Presiden. Pemerintah terpaksa memberikan subsidi kepada perajin yang membeli kedelai lewat koperasi.

Sri Mulyani, yang juga Menteri Keuangan ketika itu, merespons usul tersebut. Dia menanyakan tujuan penggunaan dananya. "Dulu kedelai dan minyak goreng, nanti dana itu untuk menstabilkan apa lagi?" kata Bayu mengutip Sri Mulyani. "Saya jawab belum tahu," kata Bayu. Sri Mulyani mengomeli Bayu karena tak bisa menjelaskan penggunaan yang rinci. Tapi belakangan Bu Menteri setuju setelah dijelaskan komoditas pangan yang bisa krisis memang sulit diprediksi dan tak menentu. Dulu minyak kelapa sawit, lalu kedelai, dan sekarang gandum. Akhirnya, dana stabilisasi pangan dianggarkan pada pos 99 Kementerian Keuangan.

Pada 2009, dana stabilisasi pangan tak banyak terpakai karena relatif tak ada lonjakan harga pangan. Tahun ini, menurut Bayu, pemerintah bisa menggunakannya bila krisis pangan global memicu lonjakan harga-harga pangan di Tanah Air. Tapi, sampai sekarang, mekanisme dan target penggunaan dana khusus itu belum diputuskan karena harga komoditas utama nasional masih bisa dikendalikan dengan operasi pasar biasa dengan bujet yang ada.

Antisipasi dini pemerintah tersebut bisa dimaklumi. Maklum saja, krisis pangan global bisa mendorong lonjakan harga bahan makanan di dalam negeri dan memicu inflasi. Apalagi pada Ramadan ini harga-harga pangan sudah melejit naik. "Kenaikan harga bahan makanan memang perlu diwaspadai karena salah satu pemicu tingginya inflasi di Indonesia," ujar Ekonom Kepala Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa. Dalam anggaran 2010, pemerintah mematok target inflasi 5,3 persen. Saat ini inflasi tahun berjalan Januari-Juli sudah mencapai 4,02 persen.

Lonjakan harga tersebut juga menjadi perhatian Menteri Mari saat bertemu dengan Franky-sapaan akrab Franciscus-juga Natsir. "Kalau bisa, harga barang-barang jangan naik dulu," kata Natsir menirukan permintaan Mari. Sejatinya, upaya meredam lonjakan harga pangan sudah dilakukan pemerintah sebelum bulan puasa. Pada Juli lalu, Kementerian Perdagangan mengundang sejumlah asosiasi pengusaha. Dalam pertemuan itu, Kementerian Perdagangan meminta para pengusaha tak menaikkan harga saat bulan puasa. Para pengusaha menyanggupinya, tapi tidak bisa menjamin tak ada kenaikan harga seusai Lebaran. "Saya ikut hadir di sana," kata Franciscus.

Direktur Utama Bogasari Floor Mills itu mengatakan, sejak Rusia terkena bencana, harga gandum dunia melonjak, termasuk gandum yang diimpor sejumlah produsen tepung seperti Bogasari. "Sekarang harga terigu di produsen belum naik, tapi bulan depan harganya sulit dipertahankan lagi karena biaya produksinya sudah lain," ujar Franciscus. Segendang sepenarian dengan koleganya, Natsir mengatakan para pengusaha masih bisa mengerem kenaikan harga di bulan puasa. "Tapi, kalau setelah Lebaran atau September, mana tahan," katanya.

Menteri Mari pasrah. Kepada wartawan, belum lama ini, dia mengatakan harga setelah Lebaran nantinya masih bergantung pada harga gandum internasional. "Jika harga gandum dunia terus naik, terbuka kemungkinan harga tepung terigu juga meningkat." Menurut Bayu, lonjakan harga pangan pasti memicu inflasi. Tapi, lebih dari itu, bisa menimbulkan kemiskinan baru dan mempengaruhi stabilitas nasional.

Padjar Iswara, Retno Sulistyowati, Agoeng Wijaya

Perkembangan Harga Pangan (Rp/Kg)
 20 Juli20 Agustus
Beras IR646.0006.250
Gula pasir11.00011.000
Minyak goreng curah10.0009.935
Daging ayam broiler28.00028.000
Telur ayam ras15.00016.750
Daging sapi murni65.00068.215
Terigu7.0007.520
SUMBER: PENGAMATAN TEMPO DI BOGOR DAN JAKARTA, KEMENTERIAN PERDAGANGAN, DAN KEMENTERIAN PERTANIAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus