Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pagar Baik, Tetangga pun Baik

Gesekan antara petugas RI dan Malaysia terjadi di perairan Bintan. Komisi Perbatasan Bersama tidak berjalan.

23 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGAR baik membuat tetangga baik. Ungkapan baheula yang dipopulerkan oleh penyair Albert Frost itu agaknya layak dicermati pejabat keamanan republik ini, terutama setelah insiden saling tangkap di lepas pantai Pulau Bintan, dua pekan lalu.

Sebermula adalah ketika petugas patroli Dinas Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia menangkap lima perahu nelayan Malaysia yang diduga mencuri ikan di perairan Indonesia, Selasa dua pekan lalu. Tak lama setelah itu, kapal patroli Polisi Diraja Malaysia yang lebih besar datang memaksa membebaskan semua perahu dengan menodongkan senapan.

Mereka berdalih, para nelayan Malaysia itu mencari ikan di wilayah mereka sendiri. Perbedaan pandangan kedua petugas patroli ini terjadi karena masing-masing berpedoman pada peta berbeda, yang menunjukkan garis batas negara laut antara Johor dan Bintan itu di tempat yang tak sama pula.

Maklum, dalam hal garis batas ini, kedua negara memang belum bersepakat. Walhasil, kedua pihak pun bersikeras mempertahankan pendapat masing-masing. Itu pula yang membuat suasana cepat jadi panas. Untunglah, suasana meriang yang sempat dihiasi dentuman tembakan peringatan polisi negeri jiran itu tak sampai berakibat fatal. Kapal Dinas Kelautan dan Perikanan kembali ke Bintan membawa tujuh nelayan tangkapan, dan patroli Diraja Malaysia pulang kampung mengawal lima perahu yang sempat ditangkap, dengan tiga petugas DKP di dalamnya. Hanya setelah melalui perundingan empat hari, kedua pihak sepakat melepaskan tahanan masing-masing.

Tak kurang dari Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak yang turun tangan menelepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membantu menyelesaikan kasus yang sempat menghebohkan pemberitaan di kedua negara itu. Para pemimpin puncak kedua negara serumpun kelihatannya menganggap persoalan telah selesai.

Tapi anggapan itu tampaknya hanya kuat di lingkungan Istana. Masyarakat yang geram melampiaskan amarahnya di Senayan, di media massa, ataupun di tempat publik lainnya. Mereka yang marah itu merasa martabat kebangsaannya dilecehkan oleh polisi Malaysia. Berbagai cara protes dilakukan. Ada yang mendemo kedutaan besar Malaysia di Jakarta, ada yang mengamuk di jaringan sosial Twitter dan Facebook, ada pula yang mengajak memboikot produk Malaysia, bahkan segelintir orang mengajak perang.

Gemuruh protes ini harus ditanggapi dengan cekatan. Pemerintah perlu memberikan informasi yang terperinci tentang insiden ini, termasuk menjelaskan mengapa mekanisme yang telah disusun Komisi Perbatasan Bersama RI-Malaysia tak berjalan di lapangan. Padahal protokol yang dibuat lembaga yang berada di bawah kementerian pertahanan masing-masing ini sudah mengantisipasi kemungkinan berbagai gesekan di perbatasan, sehingga tak perlu melebar menjadi persoalan besar.

Namun, ibarat membangun pagar, protokol ini hanyalah rancang bangunnya. Hasil perundingan itu sama sekali tak bermakna bila tidak diterapkan oleh para petugas di perbatasan kedua negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus