Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RACHID Mohamed Rachid, Menteri Industri dan Perdagangan Mesir, memilih berterus terang di depan publik. Di bawah ancaman krisis pangan yang melanda negerinya, pada Ahad dua pekan lalu, ketika sebagian besar penduduk negeri itu menikmati pelesir akhir minggu, Rachid menjelaskan cadangan gandum cuma cukup untuk empat bulan. ”Setelah itu, kita akan menghadapi krisis gandum akibat kekeringan dan kebakaran yang melibas Rusia,” katanya.
Padahal, sebagai importir terbesar dunia, setiap tahun Mesir membeli 6-7 juta ton gandum dari pasar internasional. Dari jumlah itu, setengahnya berasal dari Rusia. Namun gelombang panas yang diikuti kebakaran dan kekeringan di negeri itu memaksa Moskow membatalkan komitmennya. Demi melindungi kebutuhan domestik, Rusia melarang ekspor gandum. Akibatnya, Mesir batal menerima 540 ribu ton gandum yang dijadwalkan untuk pengiriman September mendatang.
Yang membuat cemas warga Mesir, bencana di Rusia itu bisa memicu naiknya harga produk gandum—antara lain roti—yang selama ini disubsidi. Padahal makanan bersubsidi menjadi andalan jutaan warga miskin Mesir. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperlima penduduk Mesir hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 per hari.
Itu sebabnya, dalam dua pekan terakhir, Mesir agresif membeli gandum dari pasar internasional. Dari Amerika Serikat, misalnya, Mesir memesan 594 ribu ton gandum. ”Sekarang negeri ini mesti merogoh ekstra lima miliar pound Mesir untuk mengatasi lonjakan harga gandum internasional,” kata Ali Sharaf Eddin, salah satu ketua kamar dagang negeri itu.
Kegelisahan Mesir dipicu oleh panas yang melanda Rusia, sejak Juli lalu. Akibat gelombang La Nina, kebakaran merusak 77 kota di Rusia. Ratusan orang meninggal. Rusia menyatakan keadaan darurat di 27 wilayah produksi pertanian. Setidaknya 10,3 juta hektare lahan pertanian rusak. Seperlima lahan gandum di Rusia lumat dilahap api. Inilah musim panas paling beringas yang melanda negara pengekspor gandum terbesar ketiga di dunia itu. Petaka ini menjadi rekor terburuk yang melanda Rusia sejak 1972.
Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin mengumumkan bahwa ekspor gandum dan barley—sejenis gandum untuk pakan ternak—akan disetop hingga akhir Desember. Larangan ekspor itu berlaku Ahad pekan lalu. Langkah ini diikuti Kazakhstan dan Belarusia.
Rusia merupakan eksportir barley terbesar di dunia. Menurut Putin, panen gandum tahun ini bisa menciut hingga 60 juta ton. Padahal, untuk menutup kebutuhan dalam negeri, Rusia membutuhkan 79 juta ton. Produksi gandum Rusia tahun lalu 97 juta ton. Sisa kekurangan gandum tahun ini akan ditutup antara lain dari sisa panen tahun lalu sekitar 20 juta ton.
Keputusan Rusia memicu fluktuasi harga gandum di pasar komoditas pertanian. Pelaku pasar panik. Krisis pangan seperti yang terjadi dua tahun lalu dikhawatirkan terulang. Harga gandum di sejumlah bursa melonjak 50 persen dibanding awal Juli lalu. Kenaikan itu menjadi yang tertinggi selama dua tahun terakhir.
Pada bursa komoditas berjangka, harga gandum naik 8,3 persen untuk pengiriman September. Bahkan untuk pengiriman Desember sudah naik 6,5 persen. Hal ini, kata Dong Shuangwei, analis di Capital Futures Co. Ltd., terjadi karena negara-negara lain mengikuti langkah Rusia demi melindungi hasil panen mereka.
Kenaikan harga barley mendongkrak harga daging sapi, daging ayam, hingga susu, karena barley digunakan sebagai pakan ternak. Di Inggris, konsumen terpaksa membeli daging dan roti dengan harga lebih mahal. Harga bir pun segera naik karena harga bahan bakunya juga melonjak. Harga bahan pangan di Eropa dan Timur Tengah berantakan.
Organisasi Makanan dan Pertanian Dunia (FAO) mengoreksi angka produksi gandum dunia. Dari hitung-hitungan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa itu, produksi gandum tahun ini diperkirakan 651 juta ton. Sebelumnya, FAO sempat memprediksi produksi gandum bisa mencapai 676 juta ton. Lembaga ini juga mengingatkan implikasi serius terhadap pasokan gandum hingga dua tahun depan.
Bukan tak mungkin krisis gandum Rusia akan berimbas ke Indonesia. Menurut Franciscus Welirang, Direktur Utama Bogasari Flour Mills—anak usaha Indofood—krisis gandum dari Rusia itu akan memukul para pedagang kaki lima di Tanah Air, misalnya penjual martabak, mi, dan gorengan. ”Dalam satu tahun ke depan, mereka akan sulit mencari tepung terigu murah,” kata Franciscus ketika dihubungi pekan lalu.
Tepung terigu murah itu diimpor dari Turki. Jumlahnya 40 ribu ton per tahun atau sekitar 60 persen total impor terigu Indonesia. Sedangkan gandum, yang menjadi bahan baku pembuatan tepung terigu tadi, diimpor Turki dari Rusia. Apa yang terjadi di Rusia, kata Franciscus, mau tidak mau membuat pasokan terbatas.
Akibatnya, pembeli dari Indonesia harus mencari pasokan dari Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Tentu saja harga yang ditawarkan ketiga negara itu jauh lebih mahal ketimbang gandum dari negara-negara yang dulu bergabung dalam Uni Soviet. Sebab, gandum dari Rusia, Ukraina, dan Kazakhstan memiliki konten protein lebih rendah.
Ditemui Rabu pekan lalu, Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian, mengatakan kenaikan harga gandum di pasar internasional biasanya akan menyeret kenaikan harga komoditas penggantinya. ”Seperti jagung dan kedelai,” katanya. Dua komoditas ini biasa dimanfaatkan juga sebagai bahan baku minyak nabati. Kenaikan harga minyak nabati otomatis akan mengerek harga minyak kelapa sawit. Buntutnya, harga minyak goreng ikut-ikutan naik.
Ucapan Bayu sudah terbukti. Kontrak pengiriman jagung pada September nanti naik 13,5 sen dolar atau 3,6 persen. Argentina, eksportir minyak kedelai terbesar dunia, memangkas produksi kedelai hingga 1,3 juta ton. Akibatnya, pengiriman kedelai untuk November naik 17 sen dolar menjadi US$ 10,05 per gantang.
Franciscus khawatir krisis pangan global bakal terjadi pada kuartal keempat tahun ini atau kuartal pertama tahun depan. Apalagi jagung dan gandum dapat dipakai bergantian untuk membuat pakan ternak.
Demi mengantisipasi dampak krisis pangan dunia, pemerintah mengalokasikan Rp 2 triliun. Dana itu, kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, terdiri atas dana cadangan beras dan dana stabilisasi harga, masing-masing Rp 1 triliun.
Ancaman krisis pangan tidak cuma datang dari Rusia. Australia, yang merupakan eksportir gandum keempat di dunia, mungkin akan mengalami kekeringan di wilayah barat. Sedangkan hasil produksi gandum Kanada dikhawatirkan tidak memuaskan menyusul cuaca basah pada musim tanam gandum. Akibat hujan deras, panen di Kanada diprediksi anjlok 36 persen.
Situasi ini diperburuk oleh perkembangan di Cina, Korea Utara, dan Pakistan. Akibat banjir di tiga negara itu, penurunan produksi beras menyebabkan krisis pangan bisa berkelanjutan. Apalagi harga beras sudah terkerek dari US$ 300 menjadi lebih dari US$ 1.100 per metrik ton.
Yandhrie Arvian (Bloomberg, AP, Xinhua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo