Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Energi</B></font><BR />Pakta Versus Pasar

ASEAN sepakat mengamankan pasokan minyak bersama. Bantuan bersifat sukarela, tapi komersial.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH menteri luar negeri se-Asia Tenggara meneken pakta di bidang energi: ASEAN Petroleum Security Agreement alias APSA. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menorehkan tanda tangan mewakili pemerintah Indonesia. Inilah puncak Konferensi Tingkat Tinggi Ke-14 ASEAN yang berlangsung dua hari, di Hotel Dusit Thani, Cha-am, Provinsi Petchaburi, Thailand, dua pekan lalu.

Menteri Energi Thailand Wannarat Charnnukoon optimistis anggota ASEAN akan mendapatkan keuntungan dari kesepakatan itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono termasuk yang menyerukan perlunya ketahanan energi. ”Harga minyak memang sedang turun, tapi tidak ada jaminan hal ini akan terus sampai nanti,” kata Yudhoyono kepada pers di Hotel Grand Hyatt, Thailand, pada hari pertama sidang. Traktat itu memperbarui perjanjian serupa yang dideklarasikan di Manila, Filipina, pada 24 Juni 1986.

Kerja sama itu dilakukan untuk mengamankan pasokan minyak regional. Pasang-surut harga dan suplai minyak dunia memang membuat kelompok negara berkembang ini ketar-ketir. Dari 10 anggota ASEAN saat ini, hanya Malaysia dan Brunei yang bisa memenuhi sendiri kebutuhan minyaknya. ”Defisit ASEAN 2 juta barel lebih pada tahun lalu,” kata Maizar Rahman, mantan Penjabat Sekretaris Jenderal Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Dalam BP Statistical Review 2008 tercatat produksi minyak mentah Malaysia 748 ribu barel per hari pada 2006, meningkat menjadi 755 ribu barel tahun berikutnya. Sedangkan kebutuhannya 496 ribu barel per hari pada 2006 dan 514 ribu barel pada 2007. Produksi Indonesia sebenarnya lebih besar ketimbang Malaysia, yakni 1,017 juta barel per hari pada 2006, lantas turun menjadi 969 ribu barel pada 2007. Namun kebutuhannya lebih besar lagi, 1,139 juta barel pada 2006, naik menjadi 1,157 juta pada 2007.

Prinsip kesepakatan ASEAN ini adalah negara yang memiliki minyak berlebih memasok ke negara yang kekurangan. Konsep APSA di-update pada pertemuan menteri energi di Bangkok, Juli 1999. Salah satu hasilnya adalah pembuatan pipa gas trans-ASEAN. Pertemuan menteri energi di Langkawi, 3 Juli 2003, menghasilkan skema koordinasi tanggap darurat. Suatu negara dikategorikan gawat bila kekurangan pasokan 10 persen atau lebih dari kebutuhan, yang berlangsung terus-menerus, setidaknya selama 30 hari.

Pakta Cha-am kali ini lebih mendetail. Anggota ASEAN akan membantu negara yang krisis sebesar 10 persen dari kebutuhan normal negara yang kekurangan. Bantuan diberikan atas dasar sukarela dan komersial. Juga ada kesepakatan membikin stok minyak bersama.

Maizar mengatakan konsep APSA seperti Petrosure di Amerika Latin, NAFTA di Amerika Utara, atau Uni Eropa. Organisasi serupa yang juga berkibar adalah kelompok kerja sama ekonomi negara-negara maju (OECD), yang membikin forum energi IEA. Indonesia sebagai net importer, kata Maizar, berkepentingan terhadap lembaga ini, apalagi kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.

Namun, di balik perjanjian tersebut, menurut sumber Tempo yang pernah terlibat dalam pembahasan APSA, Filipinalah yang paling berkepentingan. Dalam berbagai forum ASEAN, kata dia, negara ini ngotot soal itu. Sebab, secara geografis, Filipina berada ”di luar” jangkauan negara-negara produsen minyak. Jauh dari Timur Tengah, jauh dari Amerika. ”Dia yang paling khawatir.” Itu yang mendorong Filipina pernah menawarkan Teluk Subic sebagai lokasi penyimpanan cadangan minyak asal Libya untuk Asia Timur.

Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Legowo, pada dasarnya pakta ini adalah kerja sama sharing informasi. Misalnya, saat ini Indonesia kelebihan stok kerosin, yang bisa ditawarkan ke grup ASEAN. Nantinya, negara yang membutuhkannya akan menindaklanjuti secara bisnis. ”Ini B to B, bukan proyek sosial,” katanya.

Justru karena bersifat komersial, kata pengamat perminyakan Kurtubi, pakta itu menjadi tidak dibutuhkan. ”Negara yang kekurangan bisa beli di pasar dengan harga yang berlaku.” Berbeda bila kerja sama itu bersifat G to G, yang memungkinkan pemberian diskon dan prioritas. Kerja sama itu juga dinilai tidak akan efektif karena dilakukan antarnegara konsumen. Mestinya yang bisa membantu adalah negara yang kelebihan stok.

Retno Sulistyowati, Agung Sedayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus