Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Perdagangan</B></font><BR />Tak Semudah Membalik Daging

Perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dan Australia-Selandia Baru diteken. Indonesia masih defisit.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUPAKAN golf, karaoke, atau bahkan durian. Jika Perdana Menteri Kamboja Hun Sen sempat menyebut tiga item itu hal terbaik dalam pertemuan ASEAN tersebut, nuansa lain muncul pada Jumat dua pekan lalu. Salah satu agenda pertemuan kelompok negara di Asia Tenggara itu adalah upaya pemulihan ekonomi dari bencana global. Satu isu yang menonjol adalah kerangka perdagangan bebas antara ASEAN dan Australia serta Selandia Baru.

Setelah negosiasi sejak 2005 lewat 15 putaran perundingan, Hotel Dusit Thani Hua Hin, Cha-am, Thailand, jadi saksi penandatanganan pakta ini. Targetnya: nilai perdagangan setiap tahun naik hingga US$ 12 miliar, dan investasi datang segera. Tahun lalu, nilai perdagangan negara anggota ASEAN dengan Australia-Selandia Baru US$ 50 miliar, tumbuh 16 persen. Nilai investasi kedua negara di blok regional itu baru US$ 1,1 miliar.

Sayang, Indonesia kemungkinan besar tidak akan bisa segera menikmati manfaat perjanjian itu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, perdagangan produk nonmigas Indonesia dengan kedua negara selalu defisit. Selama Januari-November 2008, Indonesia mencatat defisit perdagangan dengan Australia US$ 1,7 miliar, sedangkan defisit dengan Selandia Baru US$ 400 juta (lihat tabel).

Namun Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu masih optimistis. Produk unggulan yang tadinya sulit masuk ke Australia dan Selandia Baru karena tingginya bea masuk sekitar 5-17,5 persen, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan otomotif, nantinya justru akan menolong ekspor Indonesia secara keseluruhan. Paling tidak, defisit bisa dikurangi. Bahkan, 10 tahun mendatang, Indonesia bakal mencatat surplus.

Lewat perjanjian itu, pemerintah juga mengklaim telah melindungi industri dalam negeri karena bea masuk produk sensitif seperti daging dan susu akan dihapus bertahap mulai 2017. Mari pun menargetkan, saat itu Indonesia akan menjadi basis produksi daging dan susu di ASEAN.

Berbeda dengan pemerintah, para pengusaha justru ragu bisa memetik keuntungan dari pembukaan pasar ke Australia dan Selandia Baru. Selain jumlah penduduk kedua negara kecil, pos-pos tarif yang dihapuskan tidak sesuai dengan kebutuhan eksportir.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno menilai, meski bea masuk ke Australia dan Selandia Baru cukup tinggi, 5-19 persen, populasi di Australia hanya 20-an juta jiwa, jauh dari pasar potensial. Lagi pula, data menunjukkan impor kapas tahun lalu US$ 92,8 juta, lebih tinggi dari ekspor tekstil Indonesia US$ 89,7 juta. ”Pangsa pasar kita di Australia dan Selandia Baru kecil, hanya 0,91 dan 0,14 persen.”

Di bidang otomotif, nada miring juga muncul. Menurut Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Bambang Trisulo, pembebasan tarif sulit memompa ekspor. Daya saing Indonesia juga kalah dari Thailand, yang meneken perjanjian bilateral dengan Australia sejak 2005. ”Kerangka perjanjian bilateral mungkin bisa lebih efektif mendorong ekspor,” katanya.

Pengusaha di sektor peternakan pun menyambut dingin antusiasme pemerintah. Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Budiyana menyangsikan karena sampai kini cetak biru pemerintah untuk memajukan industri itu belum jelas. Selain itu, tentu tak mudah membalik kondisi sekarang. Saat ini, kata Thomas Sembiring, Ketua Umum Asosiasi Importir Daging Indonesia, 85-90 persen dari 80 ribu ton kebutuhan daging sapi Indonesia dipasok kedua negara itu.

Toh, menurut para petinggi Departemen Perdagangan, pada zaman susah seperti sekarang, potensi pasar semini apa pun sangat berarti, ketimbang terus bergantung pada pasar ekspor tradisional seperti Amerika Serikat—yang malah kolaps belakangan ini. ”Bila bisa menembus pasar Australia yang standar produknya tinggi, kita akan lebih mudah memasuki pasar-pasar ekspor lain yang lebih sulit,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Muchtar.

Bisa jadi Muchtar benar. Dalam jangka pendek, mungkin pasar ekspor ke Australia dan Selandia Baru tidak terlalu menarik karena ukuran pasar yang kecil. Tapi, jangka panjang, pasar kedua negara yang ketat dalam standar produk akan mendidik eksportir untuk tahan banting menjelajah pasar yang lebih besar dan lebih kuat.

R.R. Ariyani (Asia Times Online, BBC)

Neraca Perdagangan Nonmigas Januari-November (US$ Juta)

RI-Australia

2007
Ekspor 1.716
Impor 2.575
Defisit 859

RI-Selandia Baru
Ekspor 240
Impor 450
Defisit 210

RI-Australia 2008
Ekspor 1.959
Impor 3.694
Defisit 1.735

RI-Selandia Baru
Ekspor 275
Impor 676
Defisit 401

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus