Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Pertamina</B></font><BR />Bongkar-Pasang Wajah Pertamina

Jajaran direksi Pertamina dirombak. Karyawan ingin perubahan yang bisa membawa terobosan.

18 Januari 2010 | 00.00 WIB

<font face=arial size=1 color=brown><B>Pertamina</B></font><BR />Bongkar-Pasang Wajah Pertamina
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Seratus lima puluh karyawan PT Pertamina mendatangi Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara, Kamis pekan lalu. Kedatangan mereka dipicu beredarnya kabar manajemen perusahaan minyak itu bakal dirombak habis. Setelah PT PLN, kini giliran para petinggi Pertamina yang bakal dilengserkan. Banyak kalangan yang menilai kinerja Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan tak memuaskan. Pertamina masih saja jago kandang. Tahun lalu keuntungan Pertamina terpangkas separuh, dari Rp 30 triliun menjadi Rp 15 triliun.

Apalagi perombakan direksi Pertamina merupakan salah satu isi kontrak kerja Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tujuan pergantian direksi ini, katanya, untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi, meningkatkan profesionalitas, dan membentuk tim kerja yang padu. ”Itu kontrak saya dengan Presiden, untuk merestrukturisasi PLN dan Pertamina,” ujarnya. Padahal Karen belum dua tahun duduk di kursinya. Pada Maret 2006, ia didapuk menggantikan Ari W. Soemarno, yang dinilai gagal menjamin pasokan bahan bakar minyak dan gas.

Tapi rupanya Karen bukan termasuk yang diganti. Mustafa pekan lalu memastikan bahwa Karen tetap di posisinya. ”Menurut dewan komisaris, kinerjanya cukup baik,” katanya. Jaminan ini pula yang membuat Serikat Pekerja Pertamina tenang. Dalam unjuk rasa di kantor Kementerian BUMN pun mereka datang tanpa orasi, tanpa yel dan seruan perjuangan. Ketika diterima Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi Sahala Lumban Gaol, mereka menyatakan datang untuk memberikan masukan.

Ugan Gandar, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), membuka pembicaraan. Setelah itu, Faisal Yusra, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja, mempresentasikan aspirasi organisasinya. Selama setengah jam, mereka memaparkan masukan mengenai proses bisnis, pengelolaan organisasi, hubungan industrial Pertamina, dan visi Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia. Sahala pun memberikan respons positif atas masukan serikat pekerja. ”Tak ada yang diributkan,” kata Sahala.

Mustafa menjelaskan, perombakan akan dilakukan di jajaran direksi. Bahkan anggota direksi akan ditambah dari lima jadi tujuh, tapi posisi Wakil Direktur Utama dihapus. Restrukturisasi ini berkaitan dengan program reformasi Pertamina untuk menjadi perusahaan migas nomor satu di Indonesia pada 2013. Target lima tahun kedua lebih berat lagi. Pada 2018, Pertamina harus menjadi nomor satu di kawasan Asia Tenggara atau bahkan Asia Pasifik. Setidaknya Pertamina harus sudah melampaui pencapaian Petronas Malaysia atau PTT Thailand.

Jabatan baru akan dimunculkan, yakni Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko. Sedangkan Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia akan dipecah menjadi Direktur Umum dan Direktur Sumber Daya Manusia. Posisi direksi yang lain adalah Direktur Hulu, Direktur Pengolahan, Direktur Pemasaran dan Niaga, serta Direktur Keuangan. Sumber Tempo mengungkapkan, hanya Ferederick Siahaan dan Waluyo yang akan dipertahankan. Yang lain akan diganti, termasuk Direktur Pemasaran dan Niaga Ahmad Faisal.

Saat ini 25 nama telah mengikuti uji kepatutan dan kelayakan untuk posisi tersebut. Tiap posisi mempunyai tiga kandidat. Nama-nama ini telah diproses oleh tim asesmen, lalu diserahkan ke tim evaluasi. Tahap selanjutnya dirapatkan di kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Kemudian diserahkan ke tim penilai akhir, yang terdiri atas Presiden, Wakil Presiden, Menteri Perekonomian, Menteri BUMN, dan Sekretaris Kabinet. Mustofa enggan membocorkan nama para kandidat itu.

Namun sumber di Pertamina menyebutkan beberapa yang mengikuti proses seleksi calon direksi itu. Mereka antara lain Iqbal Hasan (Vice President Aviasi), Bagus Setijardja (Direktur Pertamina Hulu Energi), Bagus Sudarjanto (Direktur Operasi Pertamina EP), Djaelani (Direktur Utama PT Pertamina Tongkang), Walujo (Direktur Sumber Daya Manusia), Hanung Budya (Wakil Direktur Niaga dan Pemasaran), Agus Harijanto (Direktur Utama PT Badak NGL Bontang), Afdal Bahaudin (Presiden Direktur PT Tugu Pratama), Evita Tagor (Senior Vice President Keuangan Pertamina).

Mustafa menolak berkomentar mengenai spekulasi nama dan susunan direksi yang beredar itu. ”Pada akhir Januari nanti akan ditetapkan,” katanya. Serikat Pekerja mendukung perubahan ini karena tim yang sekarang dinilai kurang bisa bekerja sama dengan baik. Akibatnya, program-program Pertamina tak berjalan lancar. Kosongnya posisi Direktur Hulu juga fatal. Program peningkatan produksi minyak dan gas tak berjalan lancar. ”Saya setuju, ini saatnya pemerintah melakukan perombakan. Tapi jangan jadi bancakan kelompok tertentu,” tutur Ugan.

Dalam tujuh tahun terakhir, katanya lagi, lima kali terjadi pergantian direksi atau tujuh kali sejak 1998. Toh, berbagai pergantian itu tak membawa dampak yang menguntungkan sekaligus bisa mendorong Pertamina melakukan reformasi menjadi perusahaan kelas dunia. Ada pula piutang dengan TNI, Garuda, dan PLN yang totalnya mencapai Rp 34,5 triliun yang masih jadi pekerjaan rumah. Produksi minyak juga tetap loyo. Karena itu, kata Ugan, posisi teknis sebaiknya dijabat kalangan internal, yang tahu seluk-beluk masalah Pertamina di lapangan. ”Harus profesional. Jangan jadi ajang marjan, makelar jabatan,” katanya.

Pengamat perminyakan Rudi Rubiandini mengatakan Pertamina saat ini memiliki wilayah kerja paling luas dibanding kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di Indonesia, 140 ribu kilometer persegi yang tersebar di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera bagian utara, Sumatera bagian selatan, Jawa bagian timur dan barat, Kalimantan, dan Papua. Tapi perusahaan minyak dan gas pelat merah ini hanya menjadi nomor dua di negeri sendiri. ”Untuk minyak dikalahkan Chevron di Sumatera, sedangkan gas dikalahkan Total EP di Kalimantan,” kata Rudi.

Kalau ingin menjadi nomor satu, Rudi berharap kepentingan politis disingkirkan dalam restrukturisasi. Kesempatan menjadi sang juara sangat mungkin. Ia melihat banyak lapangan yang belum tersentuh dan sumur tua pun belum tergarap. Cara lain menambah cadangan minyak Pertamina adalah memberikan wilayah kerja KKKS lain yang kontraknya habis kepada Pertamina. ”Produksi turun karena Pertamina kegiatan eksplorasi cadangan kurang,” katanya.

Dari sisi manajemen, Rudi membandingkan Petronas yang dulu berguru pada Pertamina, kini sang guru ketinggalan jauh. Tahun lalu, misalnya, keuntungan Petronas mencapai Rp 150 triliun—sepuluh kali laba bersih Pertamina. Perusahaan migas Malaysia itu maju salah satunya karena pengelolaan manajemen keuangan yang seperti swasta. Hasil jual-beli masuk ke perusahaan, hanya dividen yang disetor ke negara. Pertamina tidak. Badan usaha milik negara ini menyerahkan seluruh uangnya ke pemerintah. Nanti pemerintah yang menyediakan alokasi untuk Pertamina, baik untuk modal maupun yang lain.

Dalam pengembangan proyek, misalnya. Dia berpendapat, seharusnya Pertamina fokus pada satu lapangan terbaik yang dipilih tiap tahun. Sebagian besar dana harus dialokasikan untuk lapangan tersebut. Kalau dana dipecah-pecah, pengembangan lapangan minyak dan gas hanya terjadi sedikit-sedikit. Setelah mengembangkan lapangan itu dalam setahun, dana tersebut dialihkan ke lapangan potensial lain. ”Ini juga diterapkan perusahaan migas kelas dunia,” tuturnya.

Rudi menambahkan, pergantian direksi yang terlalu sering dan bercampur kepentingan politis juga menyebabkan program-programnya tak fokus. Sektor hulu merupakan ujung tombak Pertamina, karena berkaitan dengan produksi migas dan penghasilan negara. Karena itu, posisi ini tak bisa diisi orang yang mempunyai kepentingan politis. Rudi tak menampik kehadiran pihak luar di posisi itu asal mempunyai pengalaman teknis, bisnis migas, dan manajemen untuk meningkatkan produksi.

Faisal Yusra menambahkan, pengembangan sektor hulu dan hilir Pertamina tidak seimbang. Dia membandingkan, produksi hilir Pertamina mencapai 1,3 juta barel minyak per hari. Sedangkan di hulu, hanya 150 ribu barel per hari. Padahal, perusahaan migas internasional selalu menyeimbangkan kedua sektor ini. ”Harus ada akselerasi di hulu,” ujarnya. Tak hanya menguntungkan Pertamina, peningkatan produksi minyak dan gas ini juga bakal menggelembungkan pendapatan negara.

MTQ, Nieke Indrietta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus