Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM lebar tersungging di bibir Komisaris Jenderal Susno Duadji seusai salat Jumat di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pekan lalu. Mengenakan peci hitam dan baju koko kuning, kepada wartawan, ia berkata santai, ”Saya ngantor saja. Tidak ada masalah.” Di belakangnya menyusul Inspektur Jenderal Saleh Saaf, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Markas Besar Polri.
Setelah bersaksi Kamis dua pekan lalu—dalam sidang pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan—Susno seolah ”menghilang” dari Markas Besar. Kesaksian itu membuat marah petinggi Polri. Tapi Jumat siang itu Susno merasa persoalannya sudah selesai. ”Sudah saya ceritakan semuanya kepada Kapolri,” ujarnya ringan. Saleh membenarkan. ”Pak Susno tidak ada masalah lagi. Dia berangkat ke persidangan sebagai orang yang diundang untuk menjadi saksi,” kata Saleh.
Atas perintah Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri, kasus Susno sebenarnya tengah diselidiki tim dari Inspektorat Pengawasan Umum, Badan Pembinaan Hukum, dan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Dengan bersaksi tanpa izin dari Kepala Polri, jenderal bintang tiga itu dianggap tidak berdisiplin dan melanggar kode etik. Tim ini sudah memeriksa banyak saksi dan rencananya akan memeriksa Susno pekan ini. Setelah itu, Susno akan dihadapkan ke sidang Dewan Etik. Tapi siang itu Saleh menegaskan aktivitas tim ini harus dihentikan.
”Seperti pada penyelidikan perkara, jika tak ditemukan bukti awal, penyelidikan harus dihentikan,” kata Saleh. Mengaku ditunjuk menjadi ketua tim klarifikasi oleh Kepala Polri, Saleh mengatakan dia dan empat jenderal anggota timnya sudah bertemu dengan Susno tiga kali dan tidak menemukan bukti Susno melanggar disiplin Polri.
ADALAH tim pembela tersangka mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar yang mengawali cerita ini. Bermaksud menghadirkan dua saksi dalam lanjutan sidang Nasrudin pada Kamis itu, tim ini ternyata hanya mendapat satu karena seorang saksi masih di luar negeri. ”Maka muncullah ide memanggil Pak Susno sebagai saksi meringankan atau a de charge,” kata Juniver Girsang, salah seorang pengacara Antasari. ”Soalnya, dalam sidang, nama Pak Susno sering disebut.”
Susno setuju meski, menurut Juniver, sebetulnya saksi a de charge boleh menolak bersaksi. Dalam surat elektronik kepada Tempo, Susno menjelaskan dia memilih hadir untuk memberikan klarifikasi. ”Ini tidak lepas dari keterangan saksi lain, Nyonya Wiliardi, Hadiatmoko, Wiliardi, dan Iwan Bule, yang dalam kesaksiannya menyebut nama saya,” katanya.
Duduk di kursi saksi, Susno membantah ikut menyidik kasus Nasrudin. Tapi dia membenarkan Komisaris Besar Wiliardi Wizar—terdakwa lain kasus pembunuhan Nasrudin—berada di bawah tekanan saat disidik.
Dia juga mengatakan kepergiannya ke Singapura menemui Anggoro Widjojo atas perintah Kepala Polri. Anggoro adalah pemilik PT Masaro Radiokom yang kini buron setelah dituding Komisi Pemberantasan Korupsi menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kesaksian Susno ini membuat para perwira polisi berang.
Markas Besar menganggap dia membangkang karena memberikan kesaksian tanpa melapor atau meminta izin kepada Kepala Polri. Padahal dia hadir dengan seragam lengkap sebagai komisaris jenderal polisi. ”Itu menyalahi aturan yang berlaku dalam organisasi, melanggar disiplin atau kode etik profesi. Organisasi akan melakukan tindakan tegas,” kata Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang dalam jumpa pers sore harinya.
Esoknya, Kepala Polri memerintahkan Susno segera diperiksa. Menurut Bambang Hendarso, sebagai perwira tinggi aktif Susno harusnya tunduk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara. ”Segera ambil tindakan tepat dan cepat sesuai ketentuan yang berlaku,” katanya kepada Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani.
Susno membantah. Menurut dia, memberikan kesaksian di pengadilan adalah kewajiban warga negara. ”Tidak ada ketentuan untuk minta izin. Tapi saya sudah lapor,” katanya. Laporan itu dia sampaikan melalui pesan pendek ke telepon seluler ajudan Kepala Polri, Komisaris Besar Arif Sulistyanto.
Pesan pendek Susno memang masuk ke telepon Arif. Cuma, kata Arif, pesan itu dikirim ke nomor pribadinya pada telepon seluler yang kebetulan hari itu ditinggalkan di rumah. Pesan masuk sekitar pukul 10 pagi. Ketika itu, menurut Arif, Susno telah berada di ruang sidang.
Kepolisian segera bertindak. Kamis itu juga semua sopir, ajudan, dan pengawal Susno ditarik. Tengah malamnya, menurut Susno, rumahnya didatangi truk berisi anggota pasukan antiteror Detasemen Khusus 88. Puncaknya, Minggu sore pekan lalu, dia mulai mendapat teror melalui pesan pendek. Seperti yang ditunjukkan Husni, kakak sepupu Susno, kepada wartawan, pesan itu antara lain berbunyi: ”Susno. Sekali lagi kau tampil di media atau koran, kami tau cara menghabisi kau.” Istri, anak, serta cucunya juga diancam. Merasa tak aman, Susno memindahkan mereka ke tempat lain.
Pengacara Henry Yosodiningrat, yang bertemu dengan Susno Duadji di rumahnya Senin malam pekan lalu, bercerita bahwa Susno hari itu tampak sangat kusut. Hanya mengenakan kaus oblong dan sarung, Susno menerima Henry di ruang keluarga rumahnya di Perumahan Puri Cinere, Jakarta Selatan. ”Kesan saya, dia tegang dan capek meski ditutupi,” kata Henry.
Malam itu sedianya Susno dan Henry akan bertamu ke rumah Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. untuk membicarakan sejumlah soal. Kebetulan Henry dan Mahfud berteman baik ketika kuliah di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Entah kenapa Susno mendadak membatalkan rencana bertemu dengan Mahfud. Henry pun memutuskan mengunjungi Susno di Puri Cinere.
Di rumah Susno, kurang-lebih sejam dua sahabat itu membahas Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara. ”Pak Susno ingin tahu bagian etika atau disiplin mana yang dia langgar,” kata Henry.
SEANDAINYA nanti diperiksa, Susno merupakan jenderal polisi bintang tiga pertama dalam sejarah Polri yang diperiksa tim etik. Tapi banyak yang tak yakin itu akan terjadi. Ketua Presidium Indonesian Police Watch Neta S. Pane, misalnya, pesimistis Susno bakal diperiksa mengingat ia bukan tak punya pendukung di kepolisian. Susno juga diyakini menyimpan data rekening 15 pejabat Polri yang oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dicurigai tak halal. ”Kami yakin dia memiliki data itu,” kata Neta. ”Kalau terdesak, itu bisa dia buka.” Isu rekening mencurigakan milik 15 perwira aktif Polri pertama kali muncul lima tahun lalu. Akun jumbo itu dianggap mencurigakan karena menyimpan uang hingga miliaran rupiah.
Adalah Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein yang mula-mula menggulirkan kabar ini dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, September 2005. Menurut Yunus, 15 rekening itu dimiliki empat pejabat Markas Besar Polri; masing-masing seorang pejabat di Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Polda Jawa Tengah, Polda Bali, Polda Sulawesi Utara, dan Polda Papua; dan masing-masing dua pejabat dari Polda Metro Jaya, Polda Jawa Timur, dan Polda Maluku. Masih menurut Yunus, jumlah setoran ke rekening-rekening itu dari puluhan juta hingga Rp 3 miliar.
Kepala Polri kala itu, Jenderal Sutanto, berjanji akan memeriksa perwira-perwira pemilik akun gajah tersebut. Namun, hingga dia pensiun dan digantikan Bambang Hendarso, informasi dari Pusat Pelaporan itu tak pernah ditindaklanjuti. Kecurigaan bahwa Susno menyimpan kartu truf itu diyakini karena saat kasus tersebut meledak ia adalah Wakil Ketua Pusat Pelaporan. Tak aneh kalau banyak perwira polisi ketar-ketir.
Tapi Susno tak pernah secara terbuka menyinggung soal rekening perwira polisi itu. Namun ia bukan tak pernah ”mengancam”. Dalam wawancara dengan Tempo Ahad dua pekan lalu, Susno meminta Kepala Polri tak menunjuk orang bermasalah menjadi anggota Dewan Etik yang memeriksa dirinya. ”Misalnya bekas kapolda yang diduga korupsi dan memakan anggaran, atau kapolda yang gagal karena ketika bertugas ada orang mati (di daerahnya),” katanya.
Menurut sumber Tempo, perwira tinggi di Markas Besar Polri kini terbelah. Sebagian ingin disiplin ditegakkan, yang lainnya menghubungi para senior Polri agar mendamaikan Susno dengan Kepala Polri. Tujuannya: agar Susno tak buka-bukaan. Ada kabar beberapa perwira telah meminta para sesepuh—di antaranya beberapa mantan Kepala Polri—turun gunung ”mengurus” perdamaian itu. ”Lihat saja, dalam satu-dua hari ini orangnya akan bertemu Susno,” kata sumber itu.
Selasa pekan lalu yang muncul di rumah Susno adalah Saleh Saaf. Setelah Saleh berkunjung, esoknya ganti Susno yang datang ke ruang kerja Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Markas Besar Polri itu.
Saleh membantah menemui Susno untuk menawarkan islah. Kepada Eni Saeni dari Tempo, Saleh mengatakan Susno tak akan menggunakan data rahasia para perwira tinggi polisi untuk tawar-menawar. ”Dia jenderal bintang tiga, enggak mungkin ngomong aneh-aneh,” katanya. Pertemuannya dengan Susno, menurut dia, dilakukan untuk menyelidiki ancaman melalui pesan pendek.
Seusai salat Jumat pekan lalu, keterangan Saleh berubah. Dia mengaku sebagai ketua tim klarifikasi yang dibentuk Kepala Polri dan mengatakan kasus Susno selesai. Karena itu, menurut Saleh, segala pemeriksaan terhadap Susno harus dihentikan.
Pernyataan Saleh mengejutkan sejumlah perwira Polri. ”Saya tahunya dari running text di televisi,” kata Kepala Divisi Humas Edward Aritonang. Dia mengaku akan menanyakan hal ini kepada tim klarifikasi. Namun, hingga Jumat pekan lalu, tak jelas apakah Edward mendapat keterangan yang memuaskan.
Yang juga kaget adalah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Oegroseno. Dia mengaku heran kenapa Kepala Polri membentuk tim klarifikasi—sesuatu yang tidak lazim dalam penanganan kasus pelanggaran kode etik dan profesi. ”Dalam undang-undang dan peraturan pemerintah, itu tidak ada,” katanya. ”Tapi, kalau ada pola lain, saya tidak tahu.”
Meski demikian, Oegroseno menegaskan pernyataan Saleh tak menghentikan kerja mereka. Selama belum ada perintah stop dari Kepala Polri, menurut dia, proses pemeriksaan akan terus berjalan. Saat ini mereka sudah hampir selesai memeriksa saksi. Pekan ini rencananya mereka akan memanggil Susno. Harusnya, menurut Oegroseno, setelah pemeriksaan selesai, Susno diajukan ke sidang kode etik. ”Tapi itu kembali kepada Kepala Polri,” katanya. Sayang, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri belum mau buka mulut. Hingga akhir pekan lalu, permohonan wawancara yang diajukan Tempo kepadanya belum digubris.
Philipus Parera, Anton Aprianto, Dwidjo U. Maksum, Cornila Desyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo