Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF0000>Bahan Bakar Minyak</font><br />Bisnis Gurih Bensin Murah

Belasan perusahaan swasta antusias ikut tender pemasaran bahan bakar minyak bersubsidi. Pasti untung?

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AULA gedung Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) di Jalan Kapten P. Tendean, Jakarta Selatan, terlihat ramai. Kamis pagi pekan lalu, 14 bos perusahaan minyak meriung bersama para pejabat regulator pendistribusian dan pemasaran bahan bakar minyak itu. Mereka membahas topik pen ting: tata cara tender pendistribusian bensin dan solar.

Wali Saleh terlihat sangat aktif bertanya. Wakil Presiden Komunikasi Shell Indonesia itu meminta BPH Migas menjelaskan mekanisme pembayaran klaim atau reimburse, aturan main, pembagian kuota, biaya distribusi, dan kepastian distribusi bahan bakar minyak bersubsidi. ”Ada beberapa bagian yang belum kami pahami,” katanya. Anggota komite badan itu, Adi Subagyo, dengan tangkas memberikan penjelasan panjang-lebar. Wali pun manggut-manggut.

Sesuai dengan Undang-Undang Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001, pendistribusian bahan bakar minyak bersubsidi tak hanya dilakukan oleh PT Pertamina. Perusahaan minyak swasta nasional boleh ikut memasarkannya melalui tender.

BPH Migas pertama kali menggelar tender distribusi bahan bakar minyak bersubsidi pada 2008. Syaratnya ketat: calon peserta harus punya jaringan distribusi luas di luar Jawa. Alhasil, tak ada operator minyak swasta yang sanggup, dan Pertamina tetap penyalur tunggal premium dan solar di seluruh Indonesia. Operator swasta, seperti Shell dan Petronas, hanya ”main” di bahan bakar minyak nonsubsidi, sekelas Pertamax.

Tahun lalu, tender kembali digelar dengan syarat lebih longgar. Wilayah pendistribusiannya di luar Jawa dipersempit. Dari 10 peserta yang ikut, pemenangnya tiga perusahaan, yakni PT Aneka Kimia Raya Corporindo, PT Petronas Niaga Indonesia, dan Shell Indonesia. AKR Corporindo mendapat jatah menjual solar bersubsidi di wilayah Sumatera Utara, Lampung, Pontianak, dan Banjarmasin. Petronas dan Shell ketiban jatah menjual bensin bersubsidi di Medan. Tapi Shell batal menang lantaran terlambat mengembalikan pernyataan kesanggupan.

Menurut sumber Tempo, dalam sejumlah rapat internal di BPH Migas, sebenarnya ada usul agar perusahaan swasta boleh menjual bensin dan solar bersubsidi di Jawa dan Bali dalam tender tahun ini. Tapi usul itu ditolak dan harus disimpan rapat-rapat di dalam laci. Alasan resminya, pasar di kedua daerah itu sudah terlalu jenuh. ”Ya, tahu sendirilah, jika hal itu diizinkan, pasti ada yang terganggu,” ujarnya. Maksud sumber ini tak lain Pertamina.

Dalam pertemuan pendahuluan awal Juni lalu, swasta meminta alfa—biaya distribusi ditambah margin keuntung an atau upah melayani kepentingan publik (public service obligation)—ditentukan BPH Migas secara langsung. Mereka juga ingin mendapat perlakuan sama seperti Pertamina, yakni penggantian klaimnya berdasarkan data penjualan kepada penyalur atau pompa bensin—bukan atas dasar data penjualan kepada konsumen, para pemilik kendaraan bermotor. Namun usul itu mentok. ”Klaim tetap berdasarkan penjualan ke konsumen,” bisiknya.

Toh, banyak perusahaan swasta tetap tertarik ikut tender. Shell paling antusias. Tiga belas perusahaan minyak swasta lain juga ikut, di antaranya AKR Corporindo, Petronas, PT Patra Niaga, PT Elnusa Petrofin, PT Pe tro Andalan Nusantara, PT Trans Paci fic Petrochemical Indonesia, PT Medco Sarana Kalibaru, dan PT Tuban Petrochemical Industries. Keempat belas perusahaan itu telah mengembalikan dokumen persyaratan lelang Senin pekan lalu. Pemenang tender akan diumumkan Agustus nanti. ”Pesertanya lebih banyak dibanding tahun lalu,” kata Direktur BPH Migas Erie Soedarmo kepada Tempo di kantornya, Kamis pekan lalu.

Ngebet-nya operator minyak swasta menjual bahan bakar bersubsidi tak lepas dari gurihnya bisnis tersebut. Kendati harga jualnya ditetapkan pemerintah, yakni bensin dan solar masing-masing Rp 4.500 seliter, perusahaan swasta akan mendapat alfa yang sama dengan Pertamina, Rp 556 per liter. Presiden Direktur Tuban Petrochemical Industries Amir Sambodo tak menampiknya. ”Menarik dan harganya kompetitif,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Pengamat minyak dan gas, Pri Agung Rakhmanto, tak kaget melihat banyaknya operator swasta ikut tender. Konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi, kata dia, masih besar. Dengan alfa Rp 556 per liter dan kuota bensin dan solar nasional 36,5 juta kiloliter, ada potensi pendapatan sekitar Rp 20,3 triliun. ”Pa sarnya jelas, dan siapa pun yang menjual akan mendapat untung,” ujarnya.

Nieke Indrietta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus