Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

'Herr Deutsche' yang Jadi Korban

Saham Bank Bali ramai diburu investor asing. Yang paling banyak adalah Deutsche Bourse Clearing AG. Benarkah perusahaan dari Jerman ini sekadar korban?

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI cerita sinetron, skandal Bank Bali berjalan semakin ruwet, kisruh, dan penuh misteri. Banyak yang percaya, sesungguhnya kunci paten untuk membuka lebar kasus yang menyeret nama Presiden Habibie ini ada di Bank Indonesia. Bila BI bersedia membedah aliran rekening dari PT Era Giat Prima—perusahaan yang menagih piutang Bank Bali senilai Rp 904 miliar—pasti benang ruwet bakal terurai. Dan aktor-aktor yang menikmati uang komisi Rp 546 miliar bisa gamblang diungkapkan. Tapi, jika BI belum juga bertindak, alasannya segudang—walau ada saja yang menduga, jangan-jangan ada pejabat BI yang kecipratan ''duit panas" skandal itu. Satu misteri yang belum ketahuan jelas ujung pangkalnya adalah tentang Deutsche Bourse Clearing (DBC) AG. Perusahaan Jerman itu telah memborong 39,27 persen saham Bank Bali. Anehnya, ''juragan" di balik aksi borong ini masih enggan unjuk gigi. Di sisi lain, saham yang dimiliki keluarga Ramli, melalui PT Sarijaya Wirasentosa, merosot dari 30 persen sampai tinggal separuh. Spekulasi pun merebak, terutama tentang siapa yang mengail untung di balik perburuan saham Bank Bali. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) mencium kemungkinan adanya insider trading alias pembocoran informasi oleh orang dalam. Sebagai sanksi, perdagangan saham Bank Bali dihentikan (suspended) sejak tiga pekan lalu. Namun, sejauh ini kisah insider trading masih gelap dan sulit dilacak. ''Polanya rumit," kata Freddy Rickson Saragih, Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan di Bapepam. Dugaan sementara, dalang insider trading tak lain adalah Rudy Ramli, mantan Dirut Bank Bali. Maklumlah, Rudylah yang sangat tahu isi perut bank miliknya yang berlogo si Jempol itu. Rudy Ramli diduga meminjam tangan DBC untuk bisa kembali menguasai mayoritas saham Bank Bali. Dugaan ini tak punya dasar kuat. Buktinya, DBC masih memburu saham meskipun Bank Bali sudah diambil oper pemerintah pada 26 Juli lalu. Padahal, Rudy tahu persis bahwa Bank Bali akan melempar saham baru (right issue). Dengan right issue, Bank Bali berharap menggaet Rp 4,3 triliun untuk mendongkrak nilai CAR (rasio kecukupan modal) dari minus 32 persen menjadi empat persen. Rencananya, 672 juta lembar saham akan dilipatgandakan 99 kali lipat. Kalau skenario ini betul, para analis memperkirakan, saham Bank Bali akan terpangkas sampai tinggal Rp 65 per lembar. Nah, kalau memang Rudy ingin come back, mestinya dia menunggu sampai ada right issue. ''Kenapa repot-repot beli mahal?" ujar Freddy. Spekulasi berikutnya, DBC adalah kepanjangan tangan Rudy Ramli untuk menggaet untung besar. Skenario ini pun punya banyak kelemahan. Sebab, investor yang menjadi klien DBC sudah berburu saham Bank Bali sejak Mei lalu. Kala itu, televisi Jerman menayangkan program konsultasi investasi yang kerap menganjurkan membeli saham murah di kawasan Asia Tenggara. Menurut siaran itu, tak lama lagi ekonomi kawasan ini akan pulih. ''Bank Bali termasuk yang direkomendasikan," cerita seorang broker yang berpraktek di Munich. Alasannya, Standard Chartered Bank akan bergabung dan memoles kinerja Bank Bali. Anjuran program televisi ini cukup mujarab. Di kota-kota Jerman—Munich, Stuttgart, dan Berlin—rata-rata 10 juta saham Bank Bali diperdagangkan tiap hari. Alhasil, antara Mei dan Juli, saham si Jempol meroket dari Rp 300 menjadi Rp 1.750. Kenaikan yang hampir enam kali lipat dalam dua bulan membuat demam saham Bank Bali melanda Jerman. Tenyata investor DBC kurang mengikuti perkembangan Bank Bali. Perkembangan mutakhir seperti skandal cessie dan status BTO Bank Bali tidak termonitor. Padahal, dua peristiwa besar ini membuat pamor saham Bank Bali anjlok sampai tinggal Rp 725. Pada titik itu pun, DBC belum juga melepas saham ke pasar. Sekarang, menjelang right issue, saham Bank Bali semakin kehilangan pesona. Tak ada yang mau beli. Akibatnya, ''Banyak investor kami yang rugi besar," kata broker Jerman tadi. Kesimpulannya, menurut broker ini, Rudy tidak ada kaitan dengan DBC. Sebab, jika benar Rudy di belakang DBC, tidak mungkin DBC tidak mengetahui yang terjadi atas Bank Bali. Lalu, mengapa DBC nekat membeli saham Bank Bali? Lin Che Wei, Kepala Riset Socgen Global Equities, yakin DBC justru menjadi korban permainan saham. Dalangnya, lagi-lagi diduganya adalah Rudy Ramli karena Rudy sudah tak ingin mempertahankan kepemilikan Bank Bali. Sejak Standard Charter meminang Bank Bali, April lalu, Rudy merasa pasti tak bakal lagi memegang kendali bank. Itulah sebabnya putra Djaja Ramli ini mulai memilih menggembungkan kantong pribadi. Salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan ''menggoreng" saham Bank Bali. Istilah ini, di kalangan broker, berarti sengaja memprovokasi pasar agar membeli saham. Begitu harga naik di posisi paling tinggi, si penggoreng segera melepas saham. Gejala ''penggorengan" terlacak pada transaksi saham tiga bulan terakhir. Beberapa perusahaan sekuritas memborong puluhan juta saham Bank Bali. Tapi, saat harga mulai naik, mereka menjual saham dengan volume yang hampir sama dengan yang dibeli. Salah satu sekuritas yang terlacak melakukan praktek ini, menurut data Bloomberg, adalah Sarijaya Permana Sekuritas. Mau tahu siapa di balik Permana? Anak perusahaan Sarijaya Wirasentosa ini dimiliki Herman Ramli, adik kandung Rudy Ramli. Bersamaan dengan itu, investor lainnya tertarik dan ikut-ikutan membeli saham Bank Bali. Otomatis harga terdongkrak. Celakanya, investor yang sekadar ikut-ikutan ini tidak tahu kapan harus melepas saham. Selagi mereka menggenggam saham Bali, aktor utama sudah meninggalkan gelanggang dan harga jatuh, yang mengakibatkan investor yang ikut-ikutan itu rugi. ''Sekarang ini, dijual Rp 100 pun belum tentu ada yang mau beli (Bank Bali)," kata Che Wei. Posisi tuan-tuan Deutsche, menurut Che Wei, tak jauh beda dengan investor yang merugi gara-gara ikut-ikutan. Sebaliknya, Rudy Ramli—kalau benar dia yang main di penggorengan—dari aktivitas ini diduga menggaet untung lebih dari Rp 100 miliar. Bila betul terjadi penggorengan, Ramli bersaudara adalah kunci utama informasi. Sayang, Rudy tak mau berkomentar soal ini. Rudy juga menantang pers untuk mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya. ''Silakan selidiki," katanya. Seharusnya, Bapepam yang paling awal meladeni tantangan Rudy Ramli itu. Mardiyah Chamim dan Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus