Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI tengah diuber polisi, bahkan disayembarakan Rp 1 miliar, Adrian Waworuntu tak merasa perlu mengubah penampilannya. Wajahnya masih tercukur rapi dengan rambut putih keperakan. Hanya saja, berbeda dengan dua pertemuan sebelumnya (Oktober 2003), kali ini Adrian lebih sering mengisap rokok.
Dua bungkus Marlboro Lights terkapar di atas meja?satu sudah tandas. Pada pertemuan sebelumnya, Adrian sama sekali tak merokok. Suaranya juga beberapa kali terdengar meninggi. Berikut petikan wawancara Thomas Hadiwinata dari Tempo dengan Adrian di suatu tempat, yang ia minta dirahasiakan, Rabu pekan lalu.
Mengapa Anda tidak memenuhi panggilan polisi?
Saya hanya tidak ingin diadili oleh pemerintahan yang lama. Saya merasa tidak akan mendapatkan pengadilan yang fair. Saya analisis, kasus saya sudah terlalu besar nuansa politisnya. Kasus saya dipakai untuk menghantam seseorang. Saya (menjadi) semacam jembatan untuk merangkai kasus ini.
Kok Anda bisa menyimpulkan adanya motif politik seperti itu?
Mengapa berkas saya harus disetor ke kejaksaan pada 17 September 2004? Anda tahu beda antara berkas yang pertama dan yang terakhir? Hanya satu. Di berkas terakhir, personal guarantee yang saya tanda tangani kembali dimasukkan. Padahal, soal ini sudah diperiksa polisi, sudah saya jelaskan, dan sudah dianggap selesai.
Kenyataan bahwa berkas saya bolak-balik sampai tujuh kali sudah menunjukkan bahwa secara materi kasus saya tidak layak diadili. Lalu mengapa akhirnya diterima oleh kejaksaan tanggal 17 September? Saya menduga ada poin yang ingin disampaikan pemerintahan yang lalu, bahwa mereka punya prestasi. Jangan lupa, pemilihan presiden tanggal 20 September.
Dengan menandatangani borgtocht (akta penjaminan utang), bukannya secara hitam di atas putih Anda mengakui bertanggung jawab atas utang Sagared?
Tanda tangan saya di akta itu memang bukti hitam di atas putih. Lantas mengapa? Apa yang Anda ketahui tentang borgtocht saya sehingga bisa menyatakan bahwa itu akan memberatkan saya?
Anda tidak menyadari dampak menandatangani akta itu?
Saya menandatangani akta itu tanggal 26 Agustus 2003. Saat itu tak ada lagi letter of credit (L/C) kelompok Sagared yang dinegoisasi (oleh BNI). Alasan saya tanda tangan sudah saya jelaskan ke polisi, juga ke pers. Capek saya bolak-balik. Waktu penandatanganan akta hanya ada tiga orang: Maria Pauline Lumowa (alias Erry), Heru Sarjono (Kepala Kantor Wilayah X BNI), dan saya. Heru minta saya tanda tangani karena Erry, yang semula diminta tanda tangannya, menyatakan ia warga negara Belanda.
Saya bersedia menandatangani karena saya anggap risikonya kecil. Waktu itu Heru bilang, ada usance ekspor L/C milik Gramarindo, perusahaan dagang Sagared, yang telah didiskonto oleh BNI Kebayoran Baru, padahal L/C itu bukan dari bank koresponden BNI. Saya bersedia membantu Erry karena Heru bilang akta penjaminan itu perlu agar direksi BNI tidak bertanya-tanya soal pembiayaan proyek jalan tol (Ciawi-Sukabumi) yang akan didapat Sagared.
Dengan cerita seperti itu, apa lantas posisi Anda di mata hukum jadi berbeda?
Belakangan saya baru tahu, tanda tangan saya itu pun sebenarnya tidak sah. Saya tanya ke orang yang mengerti hukum, tanda tangan saya itu tidak sah karena saya bukan pengurus atau pemegang saham perusahaan-perusahaan tersebut. Saya pun tidak mendapat gaji dari perusahaan-perusahaan itu.
Kalau Anda tidak bersalah, mengapa Anda menerima uang dari hasil pembobolan BNI?
Ini memang sempat dipermasalahkan dalam berkas saya yang bolak-balik. Uang itu saya terima karena saya ada menjual tanah ke mereka (Sagared), bukan karena saya yang mengutak-atik L/C. Karena Erry bilang mau membeli secara mencicil, saya sudah menyerahkan sertifikat tanah, meski baru dilunasi 20 persen. Sekarang tanah itu sudah diserahkan Sagared ke BNI.
Saat di luar tahanan, Anda pernah berkomunikasi dengan Erry?
Saya tidak pernah mengontak dia. Terakhir kami kontak, saat saya sudah ditahan di Mabes Polri sebelum Lebaran (2003). Saya marah kepada dia karena saya anggap dia tidak terus terang dalam banyak hal, seperti asal L/C BNI dan ke mana uang itu mengalir. Dia juga tak memenuhi janji untuk datang.
Apa benar Anda meminjam uang US$ 20 ribu dari Rudi Sutopo? (lihat wawancara dengan Rudi)
Itu betul. Waktu itu saya lagi sibuk diperiksa polisi, sementara dia baru datang di tahanan Mabes Polri. Dia yang menawarkan uang itu ke saya. Karena saat ditahan, saya dianggap seperti lurah oleh teman-teman. Sistem yang kami berlakukan waktu itu, tiap orang (tahanan) harus kontribusi. Dia bilang ke saya ingin ikut saweran. Saya jawab anggap saja saya yang mengutang, karena waktu itu Rudi janji akan membayar utang Mahesa (perusahaan milik Rudi) ke Aditya (perusahaan keuangan milik Adrian) US$ 5,4 juta.
Apa benar Anda mengatakan uang itu untuk Ismoko?
Tidak benar. Bagaimana dia (Rudi) bisa bicara seperti itu? Konfrontasikan saya dengan dia. Saya baca di koran, Rudi bicara bahwa dia memberikan uang itu ke saya di depan ruang Ismoko. Lalu dia melihat saya masuk ke ruang Ismoko bersama dengan Ishak (Rudi menyebut Ishak sebagai pengacara Adrian), lalu saat keluar kami tidak bawa apa-apa. Itu tidak benar.
Menurut Rudi, justru Anda yang mengatakan kalau uang itu diminta Ismoko?
Ngawur itu. Orang ini culas sekali. Saya pinjam uang, itu betul. Uang US$ 20 ribu itu diberikan oleh istrinya, tetapi tujuannya dipelintir oleh Rudi.
Uang itu digunakan untuk apa? Membuat ruang tahanan menjadi lebih nyaman?
Ya macam-macam, mulai dari masalah keluarga, seperti mengurus anak masuk sekolah, masalah legal. Waktu di tahanan, saya ini secara tak resmi ditugaskan mengurusi kebutuhan teman-teman yang tersangkut dalam kasus ini. Anda cek saja ke mereka.
Tetapi dengan posisi seperti itu, Anda juga punya keleluasaan mengatur, semacam "skenario" pembelaan, yang menguntungkan bagi Anda dan merugikan orang lain?
Siapa yang saya korbankan? Anda tanya saja sama orang yang disebut dikorbankan. Apa mereka merasa dikorbankan oleh saya? Tanya juga, mengapa mereka mau dikorbankan?
Belakangan beredar isu, para tersangka pembobol BNI mengeluarkan uang suap hingga Rp 22,5 miliar?
Kalau memang menyuap, lantas mengapa banyak yang menerima vonis berat? (Hingga kini, sembilan dari 12 tersangka pembobol BNI telah dijatuhi vonis yang berkisar delapan tahun hingga seumur hidup). Berarti kita goblok, dong. Menurut saya, tanpa membayar pun seharusnya saya mendapat SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dari kejaksaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo