Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

"PLN Tak Mungkin Bangkrut"

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaikan pagar makan tanaman. Barangkali itulah pepatah bagi kontrak jual beli listrik swasta. Bayangkan, listrik yang dibeli Perusahaan Listrik Negara (PLN) dari pembangkit listrik swasta harganya US$ 5,8 sen sampai US$ 8,6 sen tiap KWH. Padahal pengelola setrum negara itu cuma bisa menjualnya Rp 230 per KWH—atau setara dengan US$ 2,3 sen per KWH. Jelas saja, kalau kontrak jual beli ini jalan terus, PLN akan terkobol-kobol. Persoalannya, bagaimana hingga PLN bisa terjebak pada jerat pagar nan rakus seperti itu? Biang kerok yang pertama tentu saja nilai tukar dolar yang begitu liar. Dulu, ketika kontrak diteken, harga dolar cuma Rp 2.500. Dengan kurs semurah itu, harga listrik yang harus dibayar PLN cuma antara Rp 145 dan Rp 215 per KWH. Jadi, PLN mestinya masih menyisakan sedikit keuntungan. Tapi harga dolar tiba-tiba naik tiga-empat kali lipat. Sejak itu, perhitungan PLN jadi kocar-kacir. Yang kedua—ini baru ketahuan belakangan—kontrak-kontrak itu ternyata diteken tanda berlandaskan asas bisnis yang sehat. Aneh bin ajaib, cuma satu dari 27 kontrak pembelian listrik swasta ini yang diputuskan melalui tender yang terbuka dan kompetitif. Sisanya, 26 lagi, harus diakui, digelar melalui kasak-kusuk. Akibatnya, harga kontrak itu terlalu tinggi. Djiteng Marsudi, mantan dirut PLN, bahkan pernah mengaku PLN tak pernah diajak berembuk soal kontrak-kontrak ini. "Direksi PLN cuma diundang untuk menandatangani perjanjian," katanya. Tampaknya, sulit disanggah, selama ini PLN tak berdaya dan harus menerima kontrak-kontrak itu tanpa protes. Kalau melihat daftar penyelenggara listrik swasta, kita segera tahu para pemain ini kuat koneksi politiknya. Betul, bukan cuma mereka yang menikmati rezeki ini. Banyak juga pemain asing yang terlibat. Keterlibatan para pemain internasional ini kabarnya juga tak lepas dari campur tangan kekuasaan. Kehadiran sembilan perusahaan listrik raksasa Amerika Serikat (AS) di Indonesia, misalnya, konon bermula dari perundingan antara Soeharto dan Presiden Bill Clinton di sela-sela konferensi APEC, 1994. Kini, zaman berubah, pemimpin berganti. Jika tak ingin tenggelam dalam lautan kerugian, tampaknya PLN tak punya pilihan lain. PLN mesti meninjau ulang kontrak. Ada yang bilang, jika 27 kontrak listrik swasta tetap diteruskan, PLN bisa tersengat kebangkrutan. Aba-aba ke arah keruntuhan PLN terlihat jelas. Tahun lalu, misalnya, PLN merugi Rp 5 miliar dan menanggung beban utang luar negeri Rp 21 triliun. Tahun ini, PLN memang masih berharap bisa mencapai titik impas. Syaratnya, kata Dirut PLN Adhy Satriya, tarif listrik dinaikkan (diharapkan Oktober mendatang) dan PLN "tak dibebani pembelian listrik swasta." Selain tarifnya terlalu tinggi, ada sebab lain yang membuat beban pembelian listrik swasta jadi amat berat. Yaitu: kelebihan pasokan. Menurut hitungan, pasokan setrum buatan PLN mestinya sudah mencukupi, bahkan berlebihan. Saat ini, kapasitas terpasang mencapai 16 ribu megawatt, sedangkan kebutuhan pada beban tertinggi cuma 14 ribu megawatt. Akhirnya, pilihannya jelas sudah: kontrak listrik swasta itu perlu ditinjau ulang. Tapi proses untuk peninjauan ulang ini rupanya tak gampang. Semua kontrak sah secara hukum. Jika PLN membatalkan kontrak secara sepihak, salah-salah malah bisa diadukan ke badan arbitrase internasional. Nah, guna menghindari berlipatnya kerumitan itu, mulai bulan depan PLN akan berunding ulang dengan ke-27 mitra swastanya. Untuk mengetahui bagaimana strategi PLN dalam perundingan itu dan kiatnya menghadapi masa depan, wartawan TEMPO, Prabandari, mewawancarai Adhy Satriya. Berikut petikannya:

Bagaimana strategi PLN dalam negosiasi nanti?

Kita sudah menyiapkan konsultan dari Amerika Serikat (AS). Kita akan mencari solusi supaya PLN bisa terus beroperasi. Sebab, jika tidak, kita akan sulit memenuhi kewajiban kepada pihak swasta. Solusinya harus adil untuk kedua pihak. Prinsipnya, kalau ingin kontrak tetap berlangsung,dua-duanya mesti hidup. Tak mungkin berjalan bila salah satu mati.

Apakah sudah ada pembicaraan informal antara PLN dan swasta?

Belum ada. Kita hanya mengadakan persiapan intern saja bersama konsultan. Beberapa perusahaan swasta ada yang menawarkan solusi, tetapi kita belum memutuskan. Ya, kita dengarkan saja.

Bagaimana perkembangan pengaduan CalEnergy, pemegang kontrak proyek Dieng Geothermal, ke badan arbitrase?

Sudah ada hearing di Jenewa, 19 November lalu. Sedang direncanakan untuk hearing berikutnya di Jakarta. Yang saya sesalkan, mengapa mereka langsung membawanya ke badan arbitrase internasional. Kenapa tak dirundingkan dulu dengan PLN.

Selain CalEnergy, adakah swasta lain yang berniat mengadukan PLN ke badan arbitrase?

Saya kira mereka menunggu sampai PLN melakukan renegosiasi.

Apakah renegosiasi lebih disebabkan oleh adanya kolusi dalam kontrak listrik swasta?

Masalah KKN terpisah dari masalah renegosiasi. Persoalan KKN tetap akan terus diteliti, sementara perundingan ulang tetap kita lanjutkan.

Selama perundingan berlangsung, apakah PLN tetap membeli listrik swasta sesuai kontrak?

Sesuai kesepakatan. Begini, karena kesulitan keuangan, kita tak mampu membayar. Kita hanya mampu dengan kurs Rp 2.400 per dolar. Itu dulu yang kita bayar. Selisihnya nanti dirundingkan, bagaimana cara membayarnya. Tentu disesuaikan dengan kemampuan kita.

Apakah ada kemungkinan PLN bangkrut dan tak bisa menyediakan listrik karena beban utang?

Tak mungkin. Kalau listrik padam, semua rugi. Listrik ini menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus diamankan, sebagaimana yang dilakukan pemerintah dengan subsidi listrik. Pendapatan PLN tak bisa menutup ongkos produksi, sementara kenaikan tarif tak bisa dilakukan begitu saja.

Dalam renegosiasi nanti, berapa toleransi harga listrik swasta yang diterima PLN?

Ada target finansial yang harus kita penuhi. Proyek listrik yang dibiayai bantuan Bank Dunia, misalnya, ensyaratkan rate of return, tingkat pengembalian, minimal delapan persen. Kalau persyaratan terpenuhi, kita bisa meminjam lagi. Jadi, perundingan tarif harus mencapai rate of return delapan persen.

Supaya PLN tidak merugi, berapa harga jual listrik yang layak?

Harus lebih tinggi dari harga pokok produksi yang kini mencapai US$ 6 sen per KWH. Padahal harga jual PLN Rp 230 tiap KWH cuma sekitar US$ 2,3 sen. Artinya, setiap KWH kita merugi US$ 3,7 sen. Meskipun ada subsidi silang di antara golongan tarif, praktis seluruh konsumen sudah disubsidi pemerintah saat ini. Ini membebani anggaran negara. Tahun lalu, subsidi mencapai p 5-8 triliun, tergantung fluktuasi kurs rupiah.

Semua disubsidi? Termasuk industri?

Ya. Perusahaan asing juga disubsidi pemerintah. Ini kurang pas. Seharusnya, PMA atau orang asing di Indonesia tak oleh menikmati subsidi listrik dari pemerintah. Industri ekspor yang pendapatannya dalam bentuk valas juga disubsidi pemerintah. Ini bagaimana? Itulah sebabnya harus dicari sistem penarifan yang punya tiga unsur: tak membebani masyarakat kurang mampu, tak membengkakkan subsidi pemerintah, dan sekaligus jalan keluar bagi kesulitan finansial PLN. Makin cepat sistem tarif baru diterapkan, makin cepat kondisi keuangan kita pulih.

Berapa tahun lagi PLN bisa tidak merugi?

Mengapa harus menunggu berapa tahun? Tidak ada pilihan lain: tahun depan kebijakan tarif baru harus dilaksanakan, sehingga subsidi bisa dikurangi dan PLN tak merugi.

Kenapa Anda hanya melihat kerugian PLN dari sisi sistem tarif? Bukankah ada kemungkinan PLN tidak efisien dan boros?

Ada poin penting restrukturisasi ketenagalistrikan yang sudah disepakati, yakni pemerintah hanya menyubsidi pengelolaan ketenagalistrikan yang efisien. Efisien dulu, baru subsidi bisa diberikan. Nah, pemerintah akan membuat sistem kompetisi dan transparansi bisnis penyediaan tenaga listrik. Di masa depan, bisnis listrik akan dibagi dalam empat fungsi: pembangkit, penyaluran, distribusi, dan penjualan listrik atau retail.

Bagaimana konkretnya?

Analoginya seperti bisnis telepon genggam. Kita bisamemilih operatornya, bisa Telkomsel atau Satelindo. Operator inilah yang nanti membayar ke Telkom dan Indosat. Nah, bisnis listrik nanti mirip seperti itu. Kita bisa memilih perusahaan retail (penjualan) yang mau kita pakai. Kita bayar ke perusahaan penjualan listrik. Dan, perusahaan penjualan membayar ongkos transportasi listrik ke perusahaan distribusi, penyaluran, dan pembangkit.

Jadi, swasta makin terlibat?

Bisa. Kompetisi nanti ada di fungsi pembangkitan dan penjualan. Di bagian pembangkitan, PLN akan berkompetisi dengan pembangkit swasta. Sekarang ini, kompetisi dan transparansi kurang berjalan karena di sana ada monopoli. Gabungan antara kompetisi dan transparansi ini diharapkan akan menghasilkan harga listrik di sisi konsumen yang efisien.

Apa dampak bagi PLN?

Kemungkinan, bentuk organisasi PLN seperti sekarang tidak bisa dipertahankan lagi. PLN akan dipecah menjadi eberapa perusahaan. Misalnya, akan diatur bahwa di Jawa PLN hanya boleh punya lima perusahaan pembangkitan dan empat perusahaan distribusi. Bisa jadi pula, kalau dianggap layak, PLN akan go public dan sebagian kepemilikannya dijual untuk publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus