Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Segepok dokumen berisi salinan surat-menyurat internal PT Pindad mampir di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta. Isinya: fotokopi berbagai catatan dan tanda bukti pengeluaran setebal 200 halaman lebih. Teten Masduki perlu beberapa kali membolak-balik lembar-lembar itu sebelum sampai di ujung simpulnya. Ringkas saja: ada banyak dana keluar yang menimbulkan pertanyaan. ”Ada ongkos-ongkos yang aneh dan seharusnya tidak perlu,” kata Koordinator Badan Pekerja ICW itu di Jakarta, Kamis siang pekan lalu.
Lembaga nonpemerintah ini menemukan banyak pemborosan di perusahaan yang memproduksi peralatan militer itu. Selama 2001-2004, jumlahnya mencapai paling kurang sekitar Rp 60,79 miliar. Pemborosan terjadi melalui pos anggaran yang disebut sebagai biaya ma-najemen, pemasaran, retensi pasar, dan ”dana komando”.
Dokumen dan catatan yang telah da-pat dikumpulkan ICW itu memang tak dengan jelas menyebutkan siapa saja orang-orang yang menjadi penerima ak-hir berbagai dana itu. Tapi, setidak-nya berbagai catatan itu cukup memberi petunjuk mengenai tujuan dikeluarkannya uang dalam jumlah tertentu, termasuk kaitannya dengan kegiatan atau proyek yang te-ngah berjalan. Bisa berupa be-resnya sebuah kontrak pembeli-an, atau sekadar biaya untuk mentraktir makan dalam lobi-lobi terhadap para pejabat dari berbagai instansi.
Definisi lobi ini pun sangat luas. Dari menjamu kunjungan kerja para wakil rakyat, pemberian uang duka untuk rel-a-si, sampai sumbangan dalam ha-jat-an perkawinan pun masuk ke pos anggaran ini. Tapi, bukan sumbangan kematian atau hajatan, yang masing-masing ”cuma” sejuta rupiah itu, yang dipersoalkan Teten dan timnya di ICW.
Coba tengok contoh-contoh berikut. Pada 24 Mei tahun lalu, Direktur Produk Militer Penta-di Purboyono bersurat kepada Direktur Administrasi dan Keuang-an Kemas Hasani. Isinya permin-taan supaya mengeluarkan uang Rp 1,36 miliar sebagai ”dana komando”, dalam kaitannya de-ngan kontrak pengadaan senjata serbu SS1-M1 untuk TNI Angkatan Laut. Nilai kon-traknya sendiri Rp 19,5 miliar.
Kali lain, atas dasar surat dari seorang komandan latihan, Pentadi meminta uang sejumlah hampir Rp 20 juta u-n-tuk mem-beri bonus bagi petembak TNI Angkatan Darat yang berprestasi. Pe-ngeluaran yang terhitung kecil ini dimasuk-kan dalam pos anggaran biaya marketing.
Jumlah lebih besar biasanya dimasukkan dalam pos anggaran yang disebut biaya ”retensi pasar”. Yang dimaksud dengan biaya ini, menurut Keputusan Direksi Nomor 4 Tahun 2001, ialah bia-ya yang dikeluarkan berkaitan langsung dengan order yang telah diperoleh. Baik dalam rangka memenuhi komitmen bisnis dengan pembeli maupun untuk mempertahankan loyalitas pembeli.
Dana seperti ini, misalnya, dimi-nta oleh Pentadi pada 20 Februari tahun lalu sebanyak Rp 7,03 miliar untuk membayar ongkos pemasaran amunisi dalam program ABT TNI. Pada pertengahan September tahun yang sama, Pentadi kembali meminta Rp 5,5 miliar untuk dikeluarkan dari kantong PT Pindad. Kali ini biaya retensi pasar diberikan menyusul selesainya pembayaran atas kontrak dengan Detasemen Logistik Polri dalam pengadaan amunisi kaliber kecil dan 10 unit kendaraan taktis APC.
Setelah dihitung-hitung, selama 2001 setidaknya Pindad mengeluarkan berba-gai biaya semacam itu hingga Rp 14,11 miliar. Dua tahun kemudian uang yang dikeluarkan Rp 8,46 miliar, dan pada 2004 mencapai Rp 38,22 miliar. Ironisnya, selama itu Pindad tidak pernah membagikan dividen kepada peme-rintah, selain kontribusi berupa macam-macam pajak.
Biaya-biaya itu dianggap aneh, mengingat pembeli utama produk Pindad adalah TNI dan Polri. Kalaupun ada pembeli lain, kebanyakan adalah juga instansi pemerintah seperti Departemen Kehakiman dan HAM, untuk melengkapi persenjataan aparat lembaga pemasyarakatan. Atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang memerlukan senjata dalam patroli-patroli mereka.
Aneka pengeluaran semacam itu, kata Danang Widoyoko dari ICW, bisa dicuri-gai sebagai salah satu bentuk korupsi terselubung. Disebut korupsi karena uang itu diberikan kepada pegawai nege-ri sipil, kepolisian, atau anggota TNI.
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko-rupsi, mereka tidak diperkenan-kan menerima komisi atau fee dari produsen dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Sebagai badan usaha milik nega-ra (BUMN), Pindad juga terikat de-ngan Keputusan Menteri Negara BUMN yang melarang pemberian uang kepada pelanggan atau pejabat pemerintahan.
Tudingan miring ini kontan dibantah oleh Direktur Utama Pindad, Budi Santoso. Semua pengeluaran itu merupa-kan praktek bisnis normal. Sebab, ”Bisnis Pindad tidak beda dengan yang lain,” katanya (lihat, ”Kami Tidak Menyogok”).
Biaya pemasaran, kata Budi, ditujukan untuk membayar biaya perjalanan, operasional, pameran, dan iklan. Sedang-kan biaya retensi pasar mencakup layan-an purnajual, garansi, perbaikan, dan pengujian saat penerimaan barang.
Budi mengakui bahwa pihaknya harus keluar uang untuk membayar para agen yang membantunya dalam pemasaran. Uang yang disebutnya sebagai ”dana komando” untuk instansi seperti TNI dan Polri pun ia masukkan dalam kategori ini. ”Itu harus diberikan kalau mau dapat pekerjaan. Karena kami juga bersaing dengan perusahaan luar negeri,” ujarnya. Apalagi PT Pindad, menurut Budi, tak cuma memproduksi perangkat kebutuhan militer. ”Pengeluaran untuk produk komersial, seperti industri listrik dan transportasi, masih jauh lebih besar dari produk militer,” katanya.
Produk Pindad memang bukan ha-nya bedil dan mesiu untuk militer. Perusaha-an yang dulu pernah dikelola Angkatan Darat itu kini juga memproduksi b-a-rang-barang komersial seperti gene-rator, penambat rel kereta, dan kini mu-lai merakit mesin pengolahan sawit. Ta-pi, bisnis utamanya tetap saja industri senjata dan alat perang.
Di bidang ini Pindad tak punya pe-saing di dalam negeri. Karena itu, alokasi marketing cost yang begitu besar diperta-nya-kan kegunaannya. ”Apalagi Ketua De-wan Komisaris Pindad adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat,” kata Danang.
Teten pun rupanya juga tak hendak buru-buru menuduh telah terjadi korupsi. Tapi setidaknya, katanya, ”Soal ini bisa menjadi pintu masuk bagi Kementerian Negara BUMN untuk menginvestigasi lebih lanjut.”
Y. Tomi Aryanto, Edi Can, Rana Akbari F., dan Endang Purwanti (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo