Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bursa saham dunia tampak menggeliat kembali di peng-hujung pekan lalu. Mengendurnya harga minyak mentah sekitar US$ 3 per barel—setelah melonjak hingga US$ 68 per barel sejak awal pekan—agaknya memberi sedikit jeda untuk bernapas.
Bahkan ada yang beranggapan geliat ini akan terus berlangsung. “Kami belum sepenuhnya percaya pasar minyak dunia telah yakin betul bahwa harga akan bertahan di atas US$ 60 dan terus naik,” kata Paul Horsnell, Kepala Kajian Energi di Barclays Capital, London, Inggris.
Pendapat seperti ini punya pendukung lumayan banyak. Masih ada yang percaya bahwa gejolak harga minyak bakal mereda. Contohnya, Indonesia. Di tengah kegelisahan akan membengkaknya subsidi, pemerintah akhirnya cuma berani mematok asumsi harga minyak dalam RAPBN 2006 US$ 40 per barel. Lho, kok bisa?
Sumber Tempo membisikkan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro merujuk prediksi Centre for Global Energy Studies (CGES) pada pertengahan Juli lalu. ”Kajian lembaga itu menunjukkan harga minyak 2006 nanti sekitar US$ 43,5 per barel,” ujar sumber tersebut.
Dalam siaran pers, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yakin posisi stok dunia akan lebih aman tahun depan. Saat ini, permintaan minyak Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) 29 juta barel per hari, padahal produksinya mencapai 30 juta barel. Itu berarti akan ada penambahan stok 1 juta barel per hari.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia juga akan menekan laju konsumsi minyak dunia sekitar 1,5 juta barel menjadi 82,5 juta barel per hari. Tingkat konsumsi ini bakal dipenuhi dengan mudah karena produksi negara-negara di luar OPEC mencapai 56,2 juta barel per hari, plus produksi OPEC 29 juta barel per hari. Bahkan, kalau perlu, OPEC masih dapat menggenjot lagi produksinya menjadi 33,4 juta barel per hari.
Optimisme seperti ini pernah diluncurkan CGES akhir tahun lalu ketika meramalkan harga minyak untuk 2005. Harga diperkirakan bakal bertengger di level US$ 40,8 hingga US$ 43 per barel, atau bermain di level US$ 39 per barel menurut keranjang harga OPEC. Penyebabnya, laju permintaan minyak dunia hanya sekitar 1,4 juta barel, produksi meningkat, dan permintaan dunia diperkirakan 83,7 juta barel per hari.
Nyatanya, asumsi lembaga itu meleset jauh karena sejak permulaan tahun, harga minyak telah jauh menembus level US$ 40 per barel. Lembaga lain, seperti International Energy Agency (IEA), justru merevisi perkiraan mengenai konsumsi minyak dunia pada Maret lalu. Ketika itu harga mi-nyak sudah berada pada level US$ 52 per barel.
Peningkatan terbesar, menurut IEA, terjadi di Cina, yakni sekitar 500 ribu barel per hari, kendati pertumbuhan ekonominya melambat 1,5 persen—tahun lalu mencapai 9,5 persen. Karena musim dingin juga belum berakhir, konsumsi minyak dunia diprediksi mencapai 84,3 juta barel per hari, dengan laju permintaan sekitar 1,8 juta barel per hari.
Ramalan itu sempat berubah pada Juli lalu. IEA memangkas prakiraan permintaan dunia sekitar 200 ribu barel per hari—sehingga ramalannya tak beda jauh dengan CGES. Ketika itu harga minyak memang bertahan di kisaran US$ 50-an per barel, sehingga puncak harga disangka sudah terlewati pada permulaan April.
Tak ayal, ramalan keliru ini dikecam para pengamat perminyakan. Perdana Menteri Luxemburg Jean-Claude Juncker—sebagai pemimpin Uni Eropa—mengingatkan tentang kemungkinan ha-rga minyak terus naik karena menguatnya permintaan di Eropa dan dunia. ”Kita terlalu meremehkan harga minyak yang tumbuh 40 persen sejak permulaan tahun,” katanya.
Energy Information Administration (EIA)—lembaga kajian energi pemerintah Amerika Serikat—bulan ini justru hakul yakin harga tetap di atas US$ 60 per barel sepanjang tahun ini, bahkan hingga tahun depan.
Alasannya, permintaan akan terus naik menjadi 86,4 juta barel per hari pada akhir tahun nanti. Bahkan laju permintaan di Amerika yang 160 ribu barel per hari bakal meningkat menjadi 390 ribu barel pada tahun depan. Padahal, pasokan total dunia cuma sekitar 85,4 juta barel hingga pertengahan 2006. Penyebabnya, pertumbuhan produksi negara non-OPEC tak sebesar periode 2002-2004, hanya 700 ribu barel per hari selama 2005-2006. Kapasitas cadang-an minyak dunia juga menipis, sektor hilir mengetat karena keterbatasan kemampuan kilang, serta situasi geopolitik di Irak, Venezuela, dan Nigeria tak kunjung stabil.
Analis tampaknya lebih sepakat dengan ramalan itu. Mereka memperkirakan harga akan terus mengarah pada level US$ 70 per barel, atau bahkan melampauinya pada tahun depan. Tak mengherankan, pengamat perminyakan Indonesia Kurtubi menilai pemerintah terlalu naif. ”Mengu-tip angka US$ 40 per barel itu keliru besar,” katanya.
Dara Meutia Uning/AFP, AP, Bloomberg
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo