Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARI sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato kenegaraan pada 16 Agustus lalu, bocoran isi perut anggaran negara tahun depan telah memercikkan panas di salah satu sudut Hotel Nikko, Jakarta Pusat, Senin malam pekan silam.
Bara itu muncul di seputar asumsi harga minyak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2006, yang hanya dipatok US$ 40 per barel. ”Anggaran ini paling tidak realistis sedunia,” kata salah satu orang dekat Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, membuka percakapan.
Malam itu, bos sang sumber memang tengah menghadiri acara tahunan pemberian penghargaan Achmad Bakrie yang digagas Freedom Institute, sebuah lembaga studi yang disokong Aburizal Bakrie.
Sejumlah kolega Aburizal di Partai Beringin pun tampak hadir memadati Ruang Diamond di hotel bintang lima itu. Sebut saja Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ginandjar Kartasasmita, hingga bos Grup Media Surya Paloh. ”Ini seperti ajang konsolidasi kekuatan kubu Kalla-Aburizal,” kata salah satu tamu undangan berseloroh.
Masih menurut orang dekat Aburizal tadi, usul US$ 40 per barel itu datang dari Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro. Dasar pertimbangannya, harga minyak dunia yang kini di atas US$ 60 per barel, tahun depan sedikitnya bakal turun US$ 10-15. Alasannya, problem geopolitik di Timur Tengah, yang jadi penyebab utama melambungnya harga minyak, diperkirakan sudah teratasi.
Pandangan berbeda muncul di kubu Aburizal. Harga minyak dunia yang pekan lalu bahkan sempat di atas US$ 65 per barel dipercaya tak mungkin turun ke level US$ 40 tahun depan. Ujung-ujungnya, dana subsidi BBM yang tahun depan hanya dijatah Rp 68,5 triliun bakal sulit menutup bolong itu.
Anehnya lagi, menurut dia, dalam pembicaraan antara pemerintah dan DPR sebetulnya disepakati rentang harga BBM US$ 40-45 per barel. ”Lha kok, yang dipilih malah yang rendah,” ujarnya.
Tapi apa mau dikata. Presiden Yudhoyono ternyata menerima usul Purnomo dan tim Menteri Keuangan. ”Tidak ada sidang kabinet membahas soal ini,” kata sumber tadi. Karena itu, harga minyak dalam RAPBN 2006 pun tetap dipatok US$ 40 per barel, meski dalam naskah pidato disebutkan asumsi itu sangat mungkin direvisi dalam pembahasan dengan DPR.
Juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, ketika dimintai konfirmasi tentang hal ini, tak bersedia menjawab. ”Silakan tanya ke menteri yang bersangkutan,” ujarnya singkat.
Anggito Abimanyu, Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional Departemen Keuangan, yang juga hadir dalam acara itu, malah terkesan menghindar saat Tempo menanyakan soal ini. Ia bahkan balik bertanya, ”Apa bedanya sih US$ 40 atau US$ 45?” Toh, kata dia enteng, ”Nanti masih bisa direvisi dengan DPR.”
Menurut penuturan sumber di lingkungan menteri ekonomi, kor sumbang di kabinet sesungguhnya bermula saat pembahasan kenaikan harga BBM, pertengahan Juli lalu. Namun, berbeda dengan kasus RAPBN 2006, dalam rapat itu Menteri Purnomo justru satu suara dengan tim Aburizal: pemerintah perlu segera menaikkan harga BBM.
Mendengar usul itu, menurut penuturan sumber tadi, sontak air muka Yudhoyono berubah. ”Presiden tak senang,” katanya. Baru ketika Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sri Mulyani Indrawati memberikan penjelasan, sikap Presiden mulai melunak.
Awal kerisauan Presiden, menurut sumber tadi, diduga bermula dari peristiwa tak mengenakkan di lapangan golf, beberapa hari sebelum rapat kabinet digelar. Saat itu sang jenderal purnawirawan bintang empat baru saja datang akan bermain golf bersama sejumlah menteri—termasuk dengan Purnomo—yang menjadi aktivitas rutinnya setiap minggu.
Seperti biasa, sesampainya di lapangan, Yudhoyono tak langsung mengayunkan stik golf. Suasana berbincang santai sambil menyeruput minuman segar pada pagi itu mengawali acara, namun tak sempat berlangsung lama. Tiba-tiba saja keadaan terusik oleh tayangan televisi lokal yang mengulas editorial sebuah surat kabar nasional.
Isinya membuat merah kuping Yudhoyono. Sebab, dalam editorial itu disebutkan, popularitas SBY bakal merosot jika pemerintah menaikkan harga BBM. ”Persoalannya,” kata isi editorial itu, ”apakah SBY berani (menaikkan harga BBM).” Pasalnya, unsur popularitaslah yang menjadi kunci kemenangannya dalam pemilu lalu.
Dalam perbincangan khusus dengan Tempo dua pekan lalu, Presiden Yudhoyono sebetulnya sudah mengisyaratkan adanya rencana menaikkan harga BBM. Menurut dia, ada lima solusi untuk mengatasi beban subsidi BBM yang membengkak. Salah satunya, menghitung harga BBM yang pas untuk dalam negeri.
Yang jadi pertanyaan, dalam pidato kenegaraan, Presiden tak menyentuh sama sekali soal rencana kenaikan harga BBM. Sikap ini berbeda jauh dengan suara kubu Kalla-Aburizal, yang jauh-jauh hari sudah meneriakkan perlunya langkah berani itu guna mengurangi beban subsidi. ”Paling lambat Januari 2006 (harus dinaikkan),” kata Kalla belum lama ini.
Ketidakjelasan itulah yang kini berbuah pada kekecewaan sejumlah pihak atas isi RAPBN 2006. Rancangan anggaran dinilai tidak realistis dan mengawang-awang. Karena itu, lembaga pengkajian ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menjulukinya sebagai ”usulan anggaran untuk sebuah negeri di atas awan”.
Kepala Indef Fadhil Hasan menyatakan, patokan harga minyak US$ 40 per barel sangat tidak realistis. Kalaupun angka itu yang dijadikan patokan pemerintah, sudah pasti kenaikan harga BBM tak mungkin dihindari.
Tapi, anehnya, kata Fadhil, persoalan ini tak disinggung dalam pidato Presiden. ”RAPBN 2006 sekali lagi membuktikan lemahnya kredibilitas Menteri Keuangan,” kata Iman Sugema, ekonom Indef lainnya.
Nada sumbang lain juga datang dari M.S. Hidayat, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Menurut rekan lama Aburizal ini, asumsi harga minyak harusnya disesuaikan dengan tren kenaikan harga minyak dunia yang sudah melewati US$ 60 per barel.
Atas dasar itu, anggota Komisi Keuangan DPR Dradjad Wibowo menyatakan, pemerintah harus menaikkan patokan harga minyak. ”Lebih aman kalau asumsinya US$ 50 per barel,” kata anggota Fraksi Partai Amanat Nasional ini.
Sikap berbeda justru muncul dari para analis swasta. Soal rendahnya patokan harga minyak di RAPBN, menurut ekonom Citigroup Anton Gunawan, harus dilihat dari sudut politik anggaran pemerintah, karena menyangkut dana alokasi umum (DAU) buat daerah. Atas dasar itu, ekonom Bank Mandiri Martin Panggabean pun menyarankan, jangan melihat RAPBN sebagai bentuk pernyataan ekonomi, ”Tapi lebih kepada statement politik.”
Pos DAU adalah bagian dari pengeluaran pemerintah pusat yang dialokasikan untuk daerah. Besarannya untuk tahun anggaran 2006 dipatok 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto atau sebesar Rp 126,2 triliun.
Salah satu pos DAU yang penting adalah penerimaan hasil ekspor minyak. Berapa besar porsi yang dibagikan berpatokan pada harga minyak rata-rata setahun dalam APBN.
Di sini masalahnya, kata Anton. Jika harga minyak di APBN telanjur dipatok tinggi padahal pada kenyataannya harga minyak dunia di bawah itu, otomatis pemerintah pusat tekor. Sebaliknya, jika harga minyak di atas patokan itu, Jakarta yang surplus. Itu sebabnya, pemerintah pusat mematok harga rendah pada masa awal penyusunan RAPBN, kemudian direvisi saat penyusunan APBN perubahan.
Dari sisi ini, menurut Anton, langkah konservatif Departemen Keuangan bisa dipahami. ”Di sini politik anggaran itu,” ujarnya. ”Tapi ini kan tidak bisa diomongkan terbuka, karena daerah bisa marah.”
Menurut Faisal Basri perlu adanya perubahan sistem penyusunan anggaran. Sejumlah asumsi, seperti patokan harga minyak, perlu dibuat dalam kisaran yang lebih fleksibel, sehingga tidak selalu butuh persetujuan DPR jika terjadi perubahan. Dengan begitu, ”Publik pun bisa membuat ekspektasi yang lebih konstruktif,” dan suara sumbang dalam kabinet menjadi ”nyaris tak terdengar”.
Metta Dharmasaputra, Setri Yasra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo