ANDA mau jadi penonton atau penuntun? Yang satu pasif, yang lain kreatif. Pertanyaan yang memancing ini dilontarkan majalah Hero edisi terbaru. Hero Supermarket, yang demi promosi menerbitkan dan membagi-bagikan majalah gratis sebanyak 75.000 eksemplar, belakangan ini memang gencar menguak pasar. Agustus ini Hero membuka cabang baru di kawasan Sunter. Menurut direktur pengelola Hero, Steve Sondakh, modal yang ditanamkan di sana sekitar Rp 7 milyar jumlah yang sebenarnya bisa diamankan sebagai deposito dengan bunga tiap tahun sekitar 18%. Tapi Hero condong mengembangkan usaha, paling maju dibanding barisan supermarket lainnya. Kendati bisnis supermarket diperkirakan hanya menguasai 12% dari seluruh konsumen Jakarta, gedung supermarket menjamur di banyak tempat menurut data Pemda DKI di Jakarta ada 78 buah. Dan kenyataan ini membuat kecut para pedagang di pasar-pasar biasa. Mereka merasa terancam. Padahal, bisnis supermarket tidak bisa mengharapkan laba yang lebih besar dari deposito. Ini kata Steve. Modal Rp 7 milyar itu hanya diharapkan kembali dalam tempo 8 tahun. Berarti, setiap tahun Hero hanya bisa untung Rp 875 juta atau return on equity (ROE) sekitar 12,5%. Dan itu pun tidak mudah. Sebab, profi margin (laba dibandingkan total penerimaan) dalam bisnis swalayan sangat tipis. "Kami hanya memungut profit sekitar 1% dari seluruh omset penjualan," ujar Steve. Dengan prospek setipis itu, Hero ternyata berkembang cepat. Di Jakarta saja ia memiliki 15 supermarket, di samping Bogor (1), Bandung (1), dan Surabaya (2). Hero telah menciptakan kesempatan kerja buat 3.000 karyawan, mulai dari tukang parkir sampai dengan para penjagal sapi dan ayam yang berada di Farm House Hero, yang kabarnya dipuji ahli daging kenamaan Prof. Robert Rust, dari Iowa State University, AS. Karyawan Hero diwajibkan melayani konsumen dengan baik, malah Steve menuntut agar suasana dibikin sedemikian rupa, hingga pembeli pasti kembali lagi. Kalau barang yang dicari konsumen tidak ada, harus diusahakan ada. Parkirnya mesti aman. Kalau tidak, pembeli akan lari. Karena itu pula tempat parkir Hero di Tomang baru-baru ini diperluas, dengan membeli tanah seharga Rp 400 ribu/m2. Kantor pusat akhirnya terpaksa pindah ke Jalan Gatot Subroto. Hero pun berusaha menyuguhkan sebanyak mungkin dagangan -- ada sekitar 13.000 jenis -- mulai dari kebutuhan dapur sampai BH tanpa tali. Hero juga terbilang royal dengan hadiah-hadiah. Juni lalu, misalnya, kepada para pembeli di atas Rp 10.000 diberikan kupon undian berhadiah rumah seharga Rp 20 juta. Dan sejak 11 Juli hingga 17 Agustus, Hero menawarkan kupon dengan hadiah pertama: tamasya ke Disneyland. Steve mengakui bahwa semua itu membutuhkan biaya besar. Tapi mereka cukup cerdik menekan biaya promosi, yakni dengan mengundang sponsor. Kupon berhadiah tiket ke Bali sampai Disneyland, misalnya, didukung biro perjalanan Musi Holiday dan Cathay Pacific. Untuk majalah dengan 40 halaman warna yang seluruhnya memakai kertas mahal art paper, Hero bisa memasang iklan dari berbagai pemasok, sehingga majalah yang menelan biaya sekitar Rp 750 per eksemplar bisa dibagi-bagikan gratis. Tim pengasuh majalah yang dipimpin Kadjat Adrai tampak cukup terampil mengelolanya. Isinya menyuguhkan serba-serbi informasi barang dan pelayanan Hero, berikut resep masakan, sampai dengan pedoman hidup yang bergaya penataran P-4, seperti tercantum di baris pertama tulisan ini. Namun, Hero, yang berlogo ketopong tentara Romawi itu, belum berani beroperasi 24 jam seperti toko Circle K. "Biayanya terlalu tinggi," ujar Steve. Hero juga belum terpancing untuk melakukan banting harga, seperti yang dilakukan supermarket kelompok Golden Truly. Bahkan Golden juga memberikan hadiah langsung. Setiap bon pembelanjaan bernilai Rp 6.000 sampai Rp 20 juta bisa langsung ditukarkan dengan barang hadiah. Kiat banting harga ini ditempuh, agaknya agar Golden bisa lebih cepat merebut langganan. Maklum, Golden Truly tergolong pendatang baru. "Kami 'kan masih bayi," ujar Elon Dachlan, direktur utama Golden Truly. Padahal, Golden, yang mulai beroperasi sejak 1981, mula-mula di Jalan Samanhudi, sebenarnya sudah mulai buka cabang sejak berusia 3 tahun. Tahun 1984, Golden membuka supermarket kedua di Jalan Thamrin. Tahun berikutnya di kawasan Harmoni (Jalan Suryopranolo), dan terakhir di depan Blok M, Kebayoran Baru. Musibah kebakaran yang menimpa Golden Truly Blok M telah menahan langkah maju perusahaan ini. "Mudah-mudahan, hanya sementara," kata Elon. Namun, diam-diam Golden sudah mulai membina manajemen Apollo Supermarket di Surabaya. Sejauh ini, Golden kurang terbuka, apakah menyangkut investasinya atau persentase keuntungan. Apalagi omset, "saya tidak memberitahukan, maaf," kata sang direktur. Bagaimana komentar Dick Gelael? Perintis bisnis supermarket sejak 1955 itu mengakui bahwa kompetisi kini sangat tajam. Tanpa malu-malu, ia mengakui omset 14 supermarket Gelael yang bertebaran di 7 kota telah merosot. "Hampir setiap plaza dipakai supermarket. Penampilannya modern, dilengkapi peranti-peranti yang canggih. Hal itu dimungkinkan karena banyak barang bisa dibeli dengan sistem leasing," katanya. Ia mengakui, peralatan Gelael sudah ketinggalan zaman. Namun, Gelael belum terpancing untuk melakukan renovasi, promosi berhadiah, dan banting harga. Dick yakin bahwa Gelael masih memiliki keunggulan tersendiri. Gelael, yang digandengkan dengan restoran Kentucky atau Swensen's, merupakan ciri khas. Selain itu, penggandengan itu menekan biaya, rata-rata investasi Gelael menelan Rp 2 milyar. Dick yakin, seleksi alamiah akan segera terjadi dan Gelael masih bisa bertahan. Menjamurnya bisnis swalayan itu, diakui Dick dan Steve, sangat menguntungkan. Tapi risikonya juga besar. "Pembunuh utama bisnis swalayan adalah tarif sewa gedung dan tarif listrik. Jika tarif itu naik saja, wah," kata Dick. MW, Muchsin Lubis, Agung Firmansyah, TBS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini