Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa kanibalisme?

Rebutan rezeki antar-kontraktor kian tajam sehingga etika bisnis sering tak dihiraukan. disiapkan kebijaksanaan baru agar proyek merata ke daerah.

18 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NILAI proyek-proyek pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat. Anehnya, para pemborong yang bernaung di bawah payung Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (Gapensi) merasa dilanda paceklik. Kegersangan bisnis konstruksi sudah begitu mencengkeram sehingga antarkontraktor timbul praktek-praktek kanibalisme. Sabtu, 4 September lalu, Sekjen Gapensi, H.M. Malkan Amien, meminta perhatian Kepala Negara. Ia mengimbau agar Keputusan Presiden (Keppres) No. 29 Tahun 1984 ditinjau kembali demi menegakkan etika bisnis konstruksi. Keppres yang dimaksud adalah Keputusan Presiden tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Keppres setebal 96 pasal ini, antara lain, menentukan bagaimana proyek pembangunan harus dibagi kepada para pemborong. Nah, pembagian itu dirasakan sudah tak wajar. Sebab, di ujung Pelita V ini, proyek-proyek pemerintah sudah bernilai puluhan miliar rupiah dan biasa dinikmati kontraktor besar, sementara kontraktor di daerah cuma boleh menikmati proyek yang nilainya tak sampai sebesar harga sedan gubernur (kepala daerah). Masalahnya, kata Ketua Gapensi Ir. Agus Kartasasmita, penyebaran kontraktor tidak merata di tiap provinsi dan kabupaten. Sekitar 73% adalah kontraktor kecil (kelas C, yang menangani proyek sampai Rp 200 juta), 23% kontraktor menengah (kelas B, untuk tender Rp 100 jutaRp 500 juta), dan hanya 4% kontraktor besar (kualifikasi A, untuk tender Rp 500 juta ke atas). Soal lain, kata Agus, adalah begitu mudahnya izin diberikan untuk pendirian perusahaan kontraktor. ''Punya karyawan anak STM, datang ke notaris, sudah bisa bikin perusahaan. Sekarang sulit menyaring kontraktor golongan C, apakah punya insinyur, peralatan, dan sebagainya,'' ujar Agus. Akibatnya, banyak kontraktor yang tidak kebagian proyek dan hanya bisa menjadi subkontraktor. Nah, di sinilah pangkal praktek tak etis yang dimaksudkan oleh Gapensi. Agus memberi contoh proyek pembangunan jalan Rp 1 miliar. Kontraktor utama mengerjakan jalan utamanya, sedangkan pembuatan parit jalan, misalnya bernilai Rp 100 juta, diserahkan kepada subkontraktor. ''Katakanlah keuntungan proyek parit ini Rp 10 juta. Tapi, oleh kontraktor utama, proyek itu dinilai Rp 90 juta atau bahkan Rp 80 juta kepada subkontraktor. Ini kan tidak etis,'' kata Agus, berang. Satu contoh kasus dituturkan oleh Rumintarto M.S., Ketua Gapensi Cabang Yogyakarta. Ada proyek SMEA negeri di Bantul bernilai Rp 1,2 miliar yang dimenangkan kontraktor dari Jakarta. Si kontraktor mensubtenderkan lagi kepada kontraktor lokal. Tentu saja nilainya disunat lebih dulu. Sekolah akhirnya berdiri juga. Tapi kontraktor utama rupanya mengambil untung terlalu besar sehingga subkontraktornya kekeringan dana. ''Para leveransir yang tak dibayar lalu marah dan mencopot jendela dan pintu gedung,'' tutur Rumintarto. Kasus seperti itu tentu tak terjadi pada setiap kontraktor besar. Mereka yang bernaung di bawah Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI), misalnya, mendasarkan hubungan kerja kontraktor-subkontraktor dalam perjanjian hasil negosiasi bisnis murni. Ini diutarakan oleh Ketua AKI, Fatchur Rochman. Ditambahkannya, hubungan kerja itu bergantung pada perjanjian awalnya. ''Kontraktor utama, bagaimanapun, membutuhkan kontraktor kecil. Karena itu, kami biasa memelihara hubungan baik dengan subkontraktor langganan,'' kata Direktur Utama PT Bangun Tjipta Sarana itu. Wakil Ketua Gapensi Cabang Surabaya, Hadi Soewanto, membenarkan bahwa pembagian keuntungan kontraktor-subkontraktor ditentukan bersama. Namun, Hadi setuju Keppres 29/1984 ditinjau kembali. ''Ketentuan penjatahan untuk pemborong daerah sudah perlu dinaikkan,'' kata Hadi. ''Kontraktor kelas B kini sudah mampu mengerjakan proyek yang kini masih untuk kelas A,'' ujar Direktur PT Bukit Sarana Indah Jaya yang tengah mengerjakan bendungan lahar Gunung Semeru itu. Usul lain datang dari Gapensi DIY. ''Persepsi panitia tender terhadap Keppres oleh departemen masing-masing perlu diseragamkan,'' kata Rumintarto. Ia menunjuk istilah ''penawaran terendah dan bisa dipertanggungjawabkan''. ''Istilah itu bisa mengundang 'main mata' antara kontraktor dan panitia,'' katanya. Pemerintah ternyata siap meninjau Keppres yang dimaksud. Beberapa bulan berselang, Pemerintah telah membentuk Tim Penyempurnaan Keppres 29/1984. Tim ini terdiri dari unsur Bappenas, Departeman Keuangan, BPKP, dan lain-lain. Ketuanya adalah Mustopadidjaja A.R., Deputi Bidang Administrasi Pembangunan dari Bappenas. ''Tahun anggaran mendatang, hasil penyempurnaan itu sudah bisa diterapkan,'' katanya Jumat lalu. Menurut pejabat Bappenas ini, konsep yang sedang dibahas antara lain menyangkut pemberian wewenang keputusan proyek pemerintah kepada kepala daerah. Juga soal mekanisme pengadaan barang dan jasa, mekanisme tender, dan eskalasi harga. Daftar rekanan mampu (DRM) yang ditentukan Pemerintah kemungkinan juga diganti dengan daftar kualifikasi usaha (DKU) yang disusun swasta (Kadin atau Gapensi). Soal kode etik pengusaha? ''Itu urusan antarpengusaha, bukan urusan Bappenas,'' ujar Mustopadidjaja. Jika melihat proyek-proyek APBN tahun 1993-1994, anggota Gapensi yang dewasa ini tercatat 25.453 perusahaan itu mestinya bisa kebagian jatah. Untuk proyek pembangunan jalan saja, Pemerintah menganggarkan lebih dari Rp 3 triliun. Belum lagi proyek-proyek lain seperti irigasi, sekolah Inpres, rumah sakit, dan pembangkit listrik. Jumlahnya triliunan rupiah, terlalu ''makmur'' untuk disebut paceklik. Max Wangkar, Bambang Sudjatmoko (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya), dan M. Faried Cahyono (DIY)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus