Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai masuknya alat berat milik PT Tambang Mas Sangihe di Sangihe adalah bentuk pembangkangan perusahaan terhadap putusan pengadilan. Warga setempat sebelumnya menghadang masuknya alat berat berupa bor yang dikirim lewat Pelabuhan Pananaru, Kecamatan Tamak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alat berat itu diduga didatangkan untuk mendukung kegiatan pertambangan emas. “Semestinya seluruh aktivitas PT. TMS dihentikan," kata Divisi Hukum Jatam Nasional Muh Jamil pada siaran pers Rabu 15 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jamil mengatakan perusahaan tidak lagi memiliki dasar hukum untuk beroperasi. Musababnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado sebelumnya memenangkan gugatan atas keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara yang memberikan izin lingkungan kepada PT TMS. Gugatan dilayangkan oleh aliansi masyarakat dan tergistrasi dengan nomor perkara 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo.
Majelis hakim pun memerintahkan Dinas PMPTSP Provinsi Sulawesi Utara mencabut pemberian izin lingkungan penambangan emas kepada TMS. Selain itu, PTUN Manado mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan segala aktivitas perusahaan hingga putusan itu berkekuatan hukum tetap atau ada penetapan lain yang mencabutnya di kemudian hari.
Koordinator Save Sangihe Island, Jan Takasihaeng, bercerita alat berat untuk pertambangan dikirim ke Sangihe pada Senin, 13 Juli 2022. Warga yang menyaksikannya langsung menebang pohon kelapa untuk menghadang kendaraan pembawa alat berat di Desa Salurang.
"Kami biasa mendapat informasi dari Pelabuhan soal adanya pengiriman alat berat seperti ini. Namun Senin. kami tidak mendapat informasi dan tiba-tiba alat berat datang dari Pelabuhan Feri Pananaru," kata Jan.
Menurut Jan, pengiriman alat berat itu tidak disertai dengan dokumen pengiriman. Selain itu, ia menuding proses pengirimannya dikawal pihak kepolisian. Padahal dalam kesepakatan antara pemerintah setempat, perusahaan, dan aliansi masyarakat sebelumnya, Jan menuturkan TMS tidak diperkenankan lagi mengirim alat berat setelah putusan pengadilan.
"Polisi, yang mestinya bertindak atas nama putusan pengadilan, yakni memastikan TMS tidak boleh beroperasi, justru tampak menjadi centeng korporasi tambang," katanya.
Dihubungi terpisah, Kapolres Kepulauan Sangihe AKBP Denny Wely Wolter Tompunuh menampik bahwa kepolisian mengawal alat berat milik perusahaan. Personel kepolisian, kata dia, hanya membuka akses jalan yang ditutup oleh warga.
"Tidak ada masalah masuk barang, jangan tutup jalan umum itu untuk semua orang. Boleh menutup jalan asal ada izin," kata Denny.
Adapun sejak Selasa 14 Juni 2022, Tempo telah menghubungi Publik Relation PT TMS Cesylia Saroinsong. Namun sampai saat tulisan ini terbit, pihak TMS belum memberikan respons.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini