SESUDAH menteri dalam negeri mengeluarkan keputusan 28 Januari, mungkim, tak akan muncul lagi pemborong, yang tidak mempunyai usaha utama di bidang perumahan, bertindak pula sebagai pembangun perumahan sederhana. Praktek perangkapan usaha seperti itu, yang diduga merupakan penyebab munculnya usaha spekulasi tanah dan penyalahgunaan fasilitas kredit Bank Tabungan Negara (BTN), bakal dihentikan dengan keputusan itu. Menurut ketentuan Menteri Soepardjo itu, hanya badan hukum atau koperasi yang benar-benar berusaha di bidang pembangunan perumahan saja yang kelak bisa diberi hak atas tanah untuk usaha itu. Ketentuan serupa sesungguhnya pernah pula dikemukakan Dirjen Agraria Mohammad Isa, dalam edaran 5 Februari 1983. Kendati direksi BTN, dua bulan kemudian, juga mengeluarkan edaran untuk mendukung edaran terdahulu itu, perangkapan usaha masih juga terjadi kenyataan di Iapangan ternyata cukup memprihatinkan. Menurut Haji Bisri, direktur PT Bhakti Pertiwi, Gresik, para developer (pembangun perumahan) yang berbentuk firma atau perusahaan perorangan pada umumnya bermodal lemah. Mereka im kemudian bekerja sama dengan mstansi yang menguasai tanah tapi tak bisa membangunnya. Berdasarkan ketentuan lama BTN, sesudah pembangun perumahan ini mendapat Surat Persetujuan Proyek (SPP), BTN lalu memberi mereka kredit untuk membangun. Tapi, nyatanya, kata Bisri, tak semua rencana itu lancar. Bahkan, menurut Junius Pangaribuan, direktur utama PT Antilope Maju, Jakarta, pelaksanaan pembangunan rumah oleh pemborong semacam itu sering macet di tengah jalan. Maklum, kata pembangun perumahan di Jatibening I dan II itu, selain modal mereka pas-pasan, kemampuan manajerial mereka tidak begitu baik. Lima tahun lalu, untuk melaksanakan pembangunan perumahan sederhana hanya perlu modal Rp 500 juta, tetapi kini dia menaksir dibutuhkan setidaknya Rp 1,5 milyar. "Jumlah rumah yang dibangun pun harus 500 sampai 600 rumah. Kalau jumlahnya di bawah itu, ya, pas-pasan saja untungnya," ujarnya. Sementara itu, M.S. Hidayat, direktur utama PT Puteraco Indah, Bandung, melihat ketentuan Menteri Soepardjo sebagai suatu usaha untuk menghindari kekacauan pembebasan dan penguasaan tanah. Ketentuan itu sendiri memang bakal mengatur pemberian Hak Guna Bangunan selama 20 tahun untuk tanah seluas maksimum 50.000 meter persegi hanya pada perusahaan pembangun perumahan, bukan pada instansi atau yayasan. Dengan ketentuan itu pula, pembangun perumahan ddorong untuk kelak jadi anggota Real Estate Indonesta (REI). Bahkan, menurut Siswono Judo Husodo, ketua REI, ada niat pula untuk mengurangi jumlah pengusaha real estate, demi menghindari persaingan tidak sehat. 'Jumlah mereka kini sudah terlalu banyak," katanya kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini