Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan bahwa ancaman resesi 2023 bukan isu kaleng-kaleng. Menurut Bhima, beberapa riset menunjukkan negara berkembang dengan skenario resesi, pertumbuhannya hanya 1,8 persen tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi kita bisa mengalami fase pertumbuhan lambat dalam jangka panjang,” ujar dia melalui sambungan telepon pada Sabtu, 29 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bhima menilai resesi ekonomi tahun depan disebabkan oleh faktor yang cukup kompleks. Mulai dari adanya geopolitik, krisis pangan, krisis energi, dan krisis lingkungan itu bisa menyebabkan model pertumbuhan ekonominya rendah dalam jangka panjang. “Dan fase recovery-nya akan lama sekali.”
Sejauh ini, Bhima menerangkan, Indonesia masih dibantu oleh krisis energi yang berpengaruh terhadap booming-nya harga komoditas. Hal itu menyumbang surplus perdagangan dan cadangan devisa.
Namun, jika terjadi resesi, permintaan bahan baku industri akan turun. “Di dalam titik itulah kita perlu waspada, karena motor utama dari komoditas yang selama ini menyumbang pertumbuhan ekonomi itu bisa terkoreksi signifikan,” ucap Bhima.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan resesi bisa terjadi karena pelbagai faktor, mulai perubahan iklim hingga meningkatnya tensi geopolitik. Bendahara negara pun mengatakan APBN akan terus menjadi instrumen untuk menjaga stabilisasi perekonomian, tapi jika ancaman-ancaman tidak diantisipasi, APBN akan bocor.
“Tantangan-tantangan masyarakat dan ekonomi yang continuously di bawah tekanan dan shock ini bukan kaleng-kaleng, istilahnya shock-nya sangat besar, yang memang kemudian jika APBN sendiri tidak tahan, APBN-nya jebol duluan, kalau APBN jebol duluan, ekonomi ikut jebol,” katanya di Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2022.
APBN, kata Sri Mulyani, akan tetap berperan sebagai shock absorber. APBN selalu menjadi instrumen penahan tekanan gejolak krisis, sama halnya seperti pada masa pandemi Covid-19.
Dia pun berharap APBN tetap mampu merespons gejolak global sehingga ketahanan ekonomi di dalam negeri terjaga. Mantan Diektur Bank Dunia itu pun menyampaikan tata-kelola APBN perlu terus dijaga. Sebab jika salah pengelolaan, keberadaannya bukan hanya merugikan perekonomian, tapi bisa memicu krisis global.
Kondisi itu sebelumnya menimpa Inggris dan Sri Lanka. Inggris mengalami inflasi tertinggi dalam 40 tahun, sedangkan Sri Lanka bangkrut dan produk domestik brutonya minus hingga 8,4 persen.
Sri Mulyani menyebut tantangan yang masih perlu diwaspadai tahun depan adalah ancaman akibat perubahan iklim dan ketegangan geopolitik yang terus berlangsung. Sehingga menyebabkan disrupsi pasokan global yang memicu lonjakan inflasi.
“Lonjakan inflasi secara global pun memicu bank sentral di banyak negara mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga secara agresif,” kata dia.
KHORY ALFARIZI | ARRIJAL RACHMAN
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.